Iklan

Negara Asal Kelompok Radikalisme Kagumi Moderatisme Kaum Muslim Indonesia

warta pembaruan
24 Januari 2021 | 2:35 PM WIB Last Updated 2021-01-24T07:35:15Z




Oleh: KH Busyrol Karim Abdul Mughni (Rois Syuriyah PCNU Kab Kediri, Jawa Timur) 



Wartapembaruan.co.id - Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat dunia dan sebagai negara muslim  terbesar di dunia. Dari 260 juta jiwa lebih, sekitar 85 persen adalah penduduk muslim. Sudah barang tentu, ini merupakan kebanggaan bagi umat Islam di negeri ini.

Namun, betapapun besar dan megah kelihatan dari luar, jika tubuh umat sulit menyatu, lantaran seringnya terjadi konflik intern didalamnya, sehingga keropos dari dalam, 

maka tidsk akan dapat diandalkan untuk bergerak mencapai tujuan.

Sebagaimana diketahui, sesudah meraih kemerdekaan pada 1945, negeri kita ini

sering dilanda konflik antar umat Islam sendiri yang tak mudah dipersatukan. Penyebabnya sangat klasik, yakni perbedaan dalam memahami masalah-masalah keagamaan yang mereka anut. Diantara mereka selain ada yang elastis, ada pula yang kaku dalam memahami syariat agamanya.

Sikap keras dan kaku sebagian kelompok muslim memang sudah ada sejak zaman sahabat Nabi pada masa-masa akhir era Khulafaur Rasyidin. Tetapi golongan Islam keras sekarang ini pada umumnya merupakan penganut tokoh2 pembaharu Islam abad 18 - 19, dari Timur Tengah, utamanya yang dipengaruhi oleh doktrin 10 pembatal keIslaman (Nawaqidh Al 'Asyrah) yang dibuat oleh Ibnu Taimiyah.

Kelompok ekstrim atau radikalis yang mengatasnamakan Islam, awal mula muncul di tanah air pada era 1950 an yang menyebut kelompoknya dgn DI/TII. Meskipun secara politis pemerintah telah berhasil menumpasnya pada 1960 an, tetapi gerakan-gerakan yang mengarah pada ekstrimsme dan radikalisme tak pernah benar-benar padam. Gerakan semacam itu isunya sering muncul lagi secara tiba-tiba, namun tak lama kemudian tenggelam sebelum ada penyelesaian.

Pada tahun 1980 an misalnya, isu radikalisme mengemuka kembali dan sempat dikait-kaitkan dengan sejumlah kampus meskipun tak jelas kelanjutannya. Pada tahun-tahun itu ada berita besar tentang seorang mantan DI/TII yang ditangkap disekitar wilayah Jawa Barat. Lalu muncul kasus  Salman Hafidz dan kawan-kawannya di Cicendo Bandung 1981 yang menghebohkan, disusul kasus pembajakan pesawat udara oleh Imron dan kawan-kawannya ditahun yg sama yang ketika itu dikenal dengan peristiwa "Woyla".

Kemudian pada era Reformasi, ada gerakan bom Bali 2002 dan 2005. Gerakan kelompok radikalis dari berbagai golongan terus berlanjut sampai kini. Gerakan-gerakan semacam ini sedemikian masifnya, sehingga tak jarang memancing emosi kalangan muda Islam moderat yang menjadi mayoritas di negeri ini. Untunglah, para kaum muda itu senantiasa bisa menahan diri, sehingga tidak pernah terjadi kasus gesekan fisik yg begitu serius antar sesama anak bangsa. Berkelahi dengan kelompok garis keras memang serba salah. Menang tudakk dianggap jagoan, sementara kalah, juga memalukan. Negara pun sering kewalahan dalamm mengatasi gerakan seperti itu.

Tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrim terutama dalam dua dekade terakhir ini justru menghidupkan kembali stigma lama yang dikumandangkan oleh kalangan fanatik negara-negara Barat, yaitu bahwasanya Islam tersebar dengan kekerasan pedang.

Ciri khas yang paling menonjol pada kaum radikalis ialah mereka hanya mengenal kebenaran tunggal. Pemahaman keagamaan selain dari lelompoknya, dianggapnya salah. Padahal bagi orang-orang yang mendalami ajaran Islam, akan menemukan kebenaran bahwa Islam disampaikan kepada umatnya itu sebagai bentuk rasa kasih sayang Allah SWT kepada makhluknya dialam semesta ini, sebagaina difirmankan Allah alamlm Kitab suciNya, karena mereka yang melakukan pendalaman agama Islam tentu akan mendapatkan kenyataan bahwa ajaran Syari'at Islam itu sanggup mengakomodir dunia Islam secara keseluruhan dengan wilayah yang saling berjauhan, suku yang heterogen, budaya dan kondisi sosial yang berbeda serta persoalan temporer yang selalu berganti. Lebih dari itu, syariat Islam juga menekankan keseimbangan, mempertimbangkan prinsip akal dan fitrah manusia, merealisasikan segala kebaikan dan menolak segala keburukan.

Selain itu, ruang kosong yang ditinggalkan oleh syariat Islam, sangat luas, karena sebagian besar nash-nash atau ketentuan-keyentuan syariat itu disampaikan kepada umatnya dalam bentuk prinsip-prinsip dasar yang sifatnya universal serta ketetapan-ketetapan hukum yang sifatnya umum dan sangat sedikit yang membahas bagian-bagian kecil, rincian-rincian dan tata cara mendetail. Juga banyak masalah-masalah yang penerapan hukumnya bisa berubah menurut perubahan waktu, tempat, kondisi dan bahkan mengakomodir adat istiadat selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga dengan demikian, Islam menjadi elastis, tidak kaku, juga tidak keras dan sampai kapan pun sanggup menampung dan menyelesaikan berbagai persoalan baru dan memungkinkan gerak bagi ulama utuk mengisinya dengan sesuatu yang paling baik bagi umat dan paling sesuai dengan zamannya berdasarkan pertimbangan tujuan-tujuan syari'at.
       
Akan tetapi sering kali kita jumpai di kalangan umat Islam, suatu istilah atau pemahaman tertentu di dalam Al Quran maupun Hadis Nabi SAW dipertentangkan dengan sengit oleh kedua pihak. Padahal kalau istilah tersebut dijelaskan secara detail, akan memungkinkan keduanya bertemu pada garis tengah. Seringkali pula terjadi perbedaan yang kemudian setelah didalami, ternyata itu hanyalah perbedaan terminologis dan tidak memberikan hasil yang bersifat prinsip.

Kaum Khawarij d imasa dahulu yang mengkafirkan kelompok kaum muslim lain, bahkan sampai membunuh Ali bin Abi Thalib r.a. yang awalnya adalah mantan pemimpin kesayangan mereka sendir, sekaligus adalah menantu dan saudara sepupu Nabi. Mereka ternyata tergelincir kedalam lubang kesalahan ini hanya karena mereka tidak membingkai beberapa pengertian dan istilah yang terdapat dalamm nash-nash Syari'at. Mereka keliru dalam memahaminya dan membuat pengertian dan rumusan yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh nash itu, seperti istilah-istilah Iman, Kafir, Syirik, Jahiliyah dan lain sebagainya dengan segala persoalannya. Mereka tidak membedakan pengertian istilah-istilah dalam beraneka macam konteks. Padahal istilah-istilah tersebut kadang-kadang dipakai untuk arti sebenarnya dan kadang-kadang dipakai pula untuk arti kiasan (majaz) dan lain sebagainya.

Itulah sebabnya, untuk memahami dengan benar apa yang terkandung dalam ayat Al Quran dan Sunnah Nabi SAW, seserorang harus menguasai berbagai macam ilmu yang diperuntukkan untuk memahami teks-teks ayat Al Quran dan hadishadis Nabi SAW mulai dari ilmu Nahwu Sharaf sebagai ilmu tata bahasa Arab dari segi gramernya dan ilmu "Manthiq" atau logika yang membahas tentang alat dan formula berfikir untuk menghindar dari cara berfikir yang salah dalam memahami teks, juga Tafsir Al Quran dan ilmu Asbabun Nuzulnya ayat Al Quran dan Asbabul Wurud nya hadis-hadis Nabi yang dipergunakan untuk mengetahui konteks ayat dan Hadis dalam berbagai kasus serta bidang-bidang ilmu lainnya yang berkaitan dengan keperluan memahami dengan benar kedua sumber syari'at Islam tersebut.

Semenjak didirikannya hampir 100 tahun lalu, NU tidak pernah terlibat dalam gerakan radikal, karena para tokoh muslim di lingkungan ormas Tadisional ini, dalam pendidikan agama mereka selalu ditempa berbagai macam ilmu seperti yang disebutkan di atas dgn kitab-kitab kuningnya di pesantren sebagai bekal mereka dalam memahami dan mendalami syari'at Islam. Denga perlengkapan berbagai macam ilmu seperti itu, mereka menjadi kelompok Islam yang jauh dari kekakuan dalam beragama dan terhindar dari tindak kekerasan, sehingga NU sebagai ormas kaum santri kemudian dikenal sebagai kelompok Islam moderat. Maka tak heran jika calon Kapolri baru pada saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR 20 Januari 2021 lalu, melontarkan wacana akan memerintah anggota Polri mempelajari kitab kuning. Tetapi bisa juga pernyataannya itu hanya sekedar manifestasi dari ketertarikannya pada kitab-kitan yang menjadi referensi kaum muslim moderat itu.

Dan yang lebih menarik lagi, sebagaimana telah disebutkan, bahwa ajaran dan gerakan Islam radikal itu berasal dari hasil adopsi kultural keagamaan yang datang dari negeri kawasan Timur Tengah. Tetapi ironisnya, sikap moderat ala mayoritas kaum muslim Indonesia, kini justru dimport oleh negara-negara dibkawasan itu. Dibkalangan para tokoh dipusat kekuasaan negara-negara di Timur Tengah yang dikenal sebagai negara-negara tempat muncul dan pusatnya kelompok radikal tersebut, kini mulai banyak yang ingin meniru Indonesia dalam memelihara kerukunan dan kedamaian hidup bernegara. Bahkan kerajaan Arab Saudi yang menjadi negara tempat lahir dan bercokolnya kelompok yang sedemikian ekstrimnya itu, lewat Menteri Kebudayaannya pernah menyampaikan kekagumannya terhadap masyarakat Indonesia yang disebutnya sebagai "Smiling muslim". Muslim yang senantiasa tersenyum atau ramah. Ia ingin mempromosikan citra Islam yang moderat melalui pertukaran budaya. Itulah yang menjadi misi Raja Arab Saudi ya g selama beberapa hari pernah berkunjung dan berlibur di negeri kita pada 2017 lalu (Azwar).
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Negara Asal Kelompok Radikalisme Kagumi Moderatisme Kaum Muslim Indonesia

Trending Now

Iklan