Iklan

BSU 2022 yang Tidak Sesuai Janji

warta pembaruan
02 September 2022 | 10:23 AM WIB Last Updated 2022-09-02T03:24:27Z


Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi dengan alasan subsidi BBM sudah membebani APBN dan subsidi tidak tepat sasaran. Sebagai upaya untuk memuluskan rencana tersebut Pemerintah akan menggulirkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk menjaga daya beli masyarakat.

Dalam rilisnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, menyatakan bahwa pihaknya terus menyiapkan berbagai langkah percepatan penyaluran Bantuan Pemerintah Berupa BSU tahun 2022. Langkah-langkah untuk penyaluran BSU, di antaranya penyelesaian administrasi keuangan dan anggaran untuk pengalokasian dana BSU; memfinalkan regulasi berupa Permenaker tentang Penyaluran BSU; serta berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait pemadanan data, di antaranya berkoordinasi dengan BKN, TNI, dan Polri agar BSU ini tidak tersalurkan ke ASN, anggota TNI, maupun anggota Polri.

Langkah lainnya adalah melakukan koordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan terkait data calon penerima BSU. Koordinasi dengan Bank Himbara dan Pos Indonesia juga dijalin terkait teknis penyaluran BSU.

BSU 2022 dimaksudkan untuk membantu 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan. Total anggaran BSU tahun 2022 sebesar Rp 9,6 Triliun. Melalui BSU ini, masing-masing penerima akan mendapat bantuan sebesar Rp 600.000.

Atas rencana pemberian BSU di 2022 ini yang mengkaitkan dengan kenaikan harga BBM, Pengamat Ketebanakerjaan, Timboel Siregar, memberikan beberapa catatan yang diharapkan menjadi perhatian Pemerintah, yaitu, pertama, sebenarnya UU APBN 2022 sudah mengalokasikan anggaran BSU 2022 yaitu sebesar Rp. 8,8 Triliun untuk 8,8 juta pekerja formal yang terdaftar aktif di BPJS Ketenagakerjaan. Jadi masing-masing peserta akan mendapatkan bantuan sebesar Rp. 1 juta rupiah.

BSU 2022 tersebut sudah pernah dijanjikan untuk direalisasikan menjelang Iedul Fitri 2022 lalu, namun tidak direalisasikan. Lalu pernah dijanjikan lagi, namun gagal direalisasikan lagi, padahal inflasi sudah menggerus daya beli buruh. Kenaikan upah minimum 2022 rata-rata 1,09 persen tergerus inflasi yang per Juli 2022 sudah mencapai 4,94 persen (YoY).

"Seharusnya BSU 2022 segera direalisasi tanpa mengkaitkan dengan kenaikan harga BBM, karena faktanya inflasi jauh lebih tinggi dari kenaikan Upah minimum 2022," kata Timboel Siregar

Untuk itu, bla saat ini Menaker akan merealisasikan BSU 2022 senilai Rp. 600 ribu per orang dan mengkaitkan dengan kenaikan harga BBM, Menaker telah melakukan kebohongan publik. Menaker harus menjelaskan kenapa UU APBN 2022 yang sudah menetapkan BSU 2022 sebesar Rp. 1 juta hanya direalisasi Rp. 600 ribu, dan itu pun dikaitkan dengan kenaikan harga BBM.

"Saya berharap DPR mengkritisi ketidakpatuhan Menaker terhadap UU APBN terkait BSU 2022 serta mempertanyakan pengalihan anggaran BSU 2022 yang sudah ditetapkan di UU APBN 2022 menjadi kompensasi kenaikan harga BBM, ucap Timboel.

Kedua, dari rilis Kemnaker, data calon penerima BSU berasal dari data BPJS Ketenagakerjaan. Ini artinya penerima BSU 2022 adalah pekerja formal yang bergaji maksimal Rp. 3,5 juta per bulan. Bukankah sejak BSU 2020 public sudah mengkritisi kriteria dan sumber data penerima BSU yang hanya diberikan kepada pekerja formal dan masih menjadi peserta aktif di BPJS Ketenagakerjaan.

"Seharusnya Menaker membuka akses kepesertaan bagi pekerja penerima upah yang belum didaftarkan pengusahanya ke BPJS Ketenagakerjaan, pekerja ojol, pekerja yang dirumahkan tanpa upah atau pekerja yang baru diPHK, pekerja migran yang pulang karena selesai bekerja, dan pekerja bukan penerima upah yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Ini dapat dilakukan bila Kemnaker membuka pendaftaran dari pekerja-pekera tersebut, dan nanti diverifikasi," jelas Timboel.

Dengan peningkatan jumlah peserta penerima BSU 2022 menjadi 16 juta pekerja, bila hanya berdasarkan data aktif di BPJS Ketenagakerjaan maka alokasi Rp. 9,6 Triliun akan banyak yang menjadi sisa lebih penggunaan anggaran. Untuk meminimalisir kecemburuan dan memastikan semakin banyak pekerja yang menerima BSU 2022 maka Kemenaker harus membuka pendaftaran dari pekerja di luar data pekerja di BPJS Ketenagakerjaan.

Ketiga, kenaikan harga BBM akan menggerakan kenaikan harga-harga lainnya sehingga menyebabkan inflasi lebih tinggi lagi. Inflasi tinggi akan masih berdampak hingga 2023. Sementara perhitungan kenaikan upah minimum 2023 masih menggunakan Pasal 26 PP No. 36 tahun 2021, seperti yang disampaikan Menaker pada saat rapat kerja di Komisi IX DPR beberapa hari lalu, ini artinya kenaikan upah minimum 2023 masih sekitar 1 persen, mirip dengan kenaikan upah minimum 2022.


Dengan kenaikan upah minimum 2023 sekitar 1 persen sementara inflasi sekitar 3,3 persen (asumsi inflasi oleh Pemerintah di 2023) dan bisa lebih tinggi lagi, maka  dipastikan daya beli pekerja di 2023 pun akan semakin terpuruk, seperti daya beli buruh yang terpuruk di 2022 ini.


Hingga saat ini Pemerintah belum punya niat untuk menegosiasi ulang UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya seperti PP No. 36 tahun 2021 sesegera mungkin sebelum penetapan upah minimum 2023, sehingga perhitungan kenaikan upah minimum 2023 tidak didasari pada Pasal 26 PP No. 36 tersebut. Padahal Putusan MK dengan sangat jelas memerintahkan Pemerintah membicarakan ulang UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya dengan masyarakat seperti serikat pekerja.


Seharusnya dengan kondisi daya beli pekerja yang terpuruk ini, Menaker mengeluarkan kebijakan tentang penentuan upah minimum 2023, seperti yang direkomendasikan Kadin dan Serikat pekerja yaitu melakukan survey pasar terhadap 64 item Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai indikator penetapan upah minimum 2023.


"Saya nilai penetapan upah minimum 2023 berdasarkan survey pasar lebih sangat obyektif dibandingkan penetapan upah minimum berdasarkan Pasal 26 PP no. 36. Penetapan upah minimum berdasarkan survey pasar 64 item KHL akan menjamin daya beli pekerja tidak terpuruk karena kenaikan upah minimum di atas inflasi. Daya beli pekerja yang meningkat tentunya akan mendukung konsumsi agregat, yang akan menjadi factor pendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 52 persen," pungkas Timboel Siregar. (Azwar)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • BSU 2022 yang Tidak Sesuai Janji

Trending Now

Iklan