Iklan

Negara Kekuasaan, Bukan Negara Hukum

warta pembaruan
31 Desember 2022 | 3:13 PM WIB Last Updated 2022-12-31T08:13:44Z


Oleh: Timboel Siregar (Pengamat Ketenagakerjaan/Sekjen OPSI)


Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Presiden telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tertanggal 30 Desember 2022 terkait UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Pemerintah mengklaim perppu ini sudah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.

Kehadiran perppu ini menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan beberapa alasan mendesak yang melatarbelakangi Perppu Cipta Kerja adalah dampak perang Ukraina-Rusia, selain itu, ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia.

Menurut saya kehadiran Perppu No. 2 Tahun 2022 merupakan produk hukum yang tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, ketentuan yuridis dan kondisi obyektif di masyarakat.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kalimat “…tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final…” dikebiri oleh Perppu No. 2 ini.  Tidak ada lagi makna kata-kata “tingkat pertama dan terakhir” serta kata “final”. Amanat UUD 1945 dengan mudah dan sengaja dikacaukan oleh Pemerintah.

Mengacu pada Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan undangan, diamanatkan materi muatan Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang. Merujuk Pasal 10-nya, materi muatan Undang-undang, salah satunya, adalah tindaklanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.

Mengacu pada Pasal 11, seharusnya muatan Perppu no. 2 tahun 2022 memuat dan merujuk pada Putusan MK, namun Perppu No. 2 ini malah menganulir Putusan MK. Pemerintah tidak membangun budaya hukum yang baik, malah menggunakan kekuasaan untuk menihilkan Putusan MK.

Montesqiue dalam teori Trias politica-nya membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu Legislatif (DPR, DPD, MPR), Eksekutif (Presiden), dan Yudikatif (MA, MK, MY), dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan dan mencegah jangan sampai ada kekuasaan salah satu lembaga yang terlampau besar. Perppu no. 2 ini menciptakan ketidakseimbangan diantara ketiga kekuasaan tersebut, dan kekuasaan Pemerintah melebihi kekuasaan Yudikatif.

Memang kewenangan Presiden menetapkan Perppu, yang didasarkan pada hal ihwal kegentingan yang memaksa, namun klaim kegentingan yang memaksa yang menjadi dasar lahirnya Perppu No. 2 tahun 2022 tidak didasari pada nilai obyektifitas.

Penilaian subjektif Presiden atas Perppu No. 2 harus didasarkan pada keadaan yang objektif. Standar objektif penerbitan Perppu dirumuskan dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yaitu ada tiga syarat yang menjadi parameter dalam menetapkan suatu keadaan yang genting, salah satunya adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Bukankah UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya masih terus berlaku dan beroperasi hingga saat ini. Putusan MK tidak membatalkan isi UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya. Putusan MK yang memutus inkonstitusional bersyarat, hanya memasuki sisi formil saja, belum ke materi UU Cipta Kerja. Jadi kebutuhan mendesak apa untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, ketika UU Cipta Kerja tetap berlaku dan beroperasi hingga saat ini. Bukankah Pemerintah juga meyakini UU Cipta Kerja dibuat untuk bisa mengatasi masalah krisis.

Seharusnya Pemerintah menjalankan saja putusan MK bukan malah buat Perppu No. 2. Setelah Pemerintah dan DPR merevisi UU 12 tahun 2011 dengan memasukkan metode omnibus law dalam UU No. 13 tahun 2022, seharusnya Pemerintah menindaklanjuti juga proses pembahasan UU Cipta Kerja dengan melibatkan masyarakat.

Untuk klaster Ketenagakerjaan, libatkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/B) dalam penyempurnakan UU Cipta Kerja dan PP No. 34 Tahun 2021 Tentang TKA; PP No. 35 Tahun 2021 tentang Alih Daya, PKWT, PHK dan kompensasinya, Jam Kerja; PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan PP No. 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Lahirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Kenaikan Upah Minimum (UM) tahun 2023, merupakan kesadaran penuh Pemerintah bahwa Pasal 26 PP No. 36 Tahun 2021 terkait formula kenaikan UM tidak mampu mendukung daya beli pekerja dan keluarganya, seperti yang terjadi di 2022 ini. Kenaikan rata-rata UM 2022 sebesar 1,09 persen tergerus inflasi yang mencapai 5,42 (year on year). Daya beli pekerja menurun secara signifikan, dan ini akan mempengaruhi konsumsi agregat masyarakat yang mengkontribusi 52 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Oleh karenanya Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan merilis Permenakaer No. 18 Tahun 2022 sehingga kenaikan UM bisa melebihi nilai inflasi yang terjadi. Dan tentunya muatan Permenaker no. 18 ini harus dijadikan muatan dalam revisi PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sehingga kenaikan UM tiap tahunnya akan bisa mengatasi nilai inflasi.

Walaupun tidak disebut secara spesifik, revisi PP No. 36 Tahun 2021 ini merupakan salah satu amanat Putusan MK yang mengamanatkan pelibatan SP/SB, dan seharusnya Pemerintah melaksanakan Putusan MK sesegera mungkin sebelum bulan Nopember 2023 sebagai tenggat waktu inkonstitusional bersyarat.

Hadirnya Perppu No 2 tahun 2022 menyumbat semangat pembahasan ulang UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya, dengan melibatkan SP/SB untuk klaster ketenagakerjaan. Masyarakat dan SP/SB tidak dianggap sebagai subyek hukum yang diamanatkan Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011. Semangat melakukan Judicial Review UU Cipta Kerja ke MK kembali akan dilakukan, walaupun Pemerintah kemungkinan akan melakukan Perppu lagi bila kalah di MK.

Kehadiran Perppu No. 2 tahun 2022 adalah wujud negara kekuasaan. Dan ini bisa menjadi preseden buruk ke depan. Semoga Pemerintah tidak menerbitkan Perppu untuk menunda Pemilu dengan alasan kegentingan yang memaksa, untuk melanggengkan kekuasaanya. (Azwar)

Pinang Ranti, 31 Desember 2022
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Negara Kekuasaan, Bukan Negara Hukum

Trending Now

Iklan