Oleh: PRANA RIFSANA (Pemerhati Dunia Perbankan/Ketua Umum Serikat Pekerja Jasa dan Keuangan serta pendiri Serikat Pekerja Bank Permata/Indonesian Banking Union dan Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Pasca dilakukan Pemilihan Kepala Daerah serentak pada November tahun 2024, lalu dilantik pula secara serentak pada tanggal 20 Februari 2025 para kepala daerah sudah menjalankan masa jabatan hampir 3 bulan, beberapa hari lagi menjelang 100 hari kerja mereka.
Berbagai media pun sudah memuat beberapa komentar terkait kinerja 100 hari kerja para kepala daerah tersebut, baik itu komentar dari akademisi, tokoh dan aktivis masyarakat maupun anggota dewan di daerahnya masing-masing. Dari berbagai komentar ada yang memberikan apresiasi ada pula yang sinis dan memberikan kritikan kepada kinerja kepala daerah.
Lalu apakah kinerja 100 hari kerja kepala daerah menjadi ukuran kinerja mutlak bagi para kepala daerah itu yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun kedepan, dari tahun 2025 hingga tahun 2030 ?
Muhammad Ridha, seorang Doktor Ilmu Politik menyampaikan bahwa budaya 100 hari kerja lahir dari tradisi demokrasi electoral modern saat ini, Sejarah berawal dari Amerika Serikat dimana publik yang memilih saat itu memiliki ekspektasi kemampuan pemerintahan terpilih dalam merealisasikan janji-janji politiknya semasa kampanye, namun menurutnya itu tidak mutlak menjadi ukuran kinerja, hanya menjadi indikator awal saja suatu pemerintahan.
Seorang Ibu Rumah Tangga, Devi Willianti Rudiansyah juga menilai bahwa 100 hari kerja itu tidak mutlak menjadi ukuran kinerja, hanya masyarakat ingin mengetahui saja bukti nyata kinerja dalam membenahi permasalahan yang ada di wilayahnya dalam kurun waktu 100 hari.
Tidak mutlaknya ukuran kinerja 100 hari kerja disampaikan pula oleh Cahya Kurniawan, seorang karyawan bank swasta, Kinerja pemimpin tidak bisa diukur dari 100 hari pertama kerja, perlu ada penyesuaian terhadap lingkungan atau situasi kerjanya, justru di 100 hari pertama tersebut seorang pemimpin dapat kembali menyampaikan gagasan-gagasannya kembali kepada tim kerjanya untuk mewujudkan visi misi kedepan setelah dilakukan penyesuaian sebelumnya.
Seorang pensiunan karyawan bank, Sinta Indriastuti menegaskan kembali tidak mutlaknya 100 hari kerja untuk dijadikan ukuran kinerja, “Tidak menjadi tolak ukur, Itu Pencitraan dan bukan untuk kinerja jangka Panjang untuk kepentingan Masyarakat!”, ungkap ibu yang saat ini menjadi salah satu pelaku UMKM.
Kahar S. Cahyono seorang aktivis Buruh menyampaikan bahwa budaya 100 hari kerja bisa menjadi hal yang positif jika dijadikan momentum konsolidasi, Menyusun prioritas dan menunjukkan political will. Tetapi jika 100 hari kerja hanya sebatas dijadikan sebuah seremonial dan penuh pencitraan maka 100 hari kerja tersebut akan kehilangan maknanya, karena yang dibutuhkan Masyarakat adalah konsistensi dan keberlanjutan, bukan sekedar gebrakan singkat di awal.
Hal berbeda disampaikan oleh Pradika, seorang Petani, menurutnya 100 hari kerja itu mutlak untuk menjadi ukuran kinerja, terutama di sektor pertanian menjadi hal yang penting, karena pada dasarnya untuk mendukung kebijakan dan pelaksanaan kedaulatan pangan didaerahnya dan kesejahteraan petaninya sendiri.
Seorang peneliti yang sering melakukan penilitian di negara negara berkembang di Asia yang Bernama Fahmi Palimbang menyampaikan bahwa 100 hari kerja itu tidak mutlak untuk dijadikan ukuran kinerja seorang kepada daerah, karena menurutnya 100 hari kerja hanya merupakan simbol belaka saja.
Dari komentar-komentar tersebut yang berasal dari berbagai profesi diatas pada intinya memang sebuah kinerja jangka pendek tidak dapat mewakili kinerja secara utuh dalam kurun waktu jabatan kepala daerah selama 5 tahun kedepan.
Kepala daerah petahana dan terpilih kembali atau kepada daerah yang diusung oleh koalisi partai yang sama pada periode sebelumnya mungkin tidak akan memiliki masalah dalam menjalani proses 100 hari kerja tersebut, namun berbeda bagi kepala daerah yang baru dan diusung dari koalisi partai politik berbeda dari periode sebelumnya.
Bagi kepala daerah baru dan diusung dari koalisi partai politik berbeda terkadang memiliki kendala ketika pemerintahan apalagi yang diusung oleh koalisi partai politik yang mendominasi di DPRD sebelumnya akan bertahan untuk menjalankan program-program sebelumnya dan mempertahankan pejabat-pejabat yang lama.
Tentu kepala daerah baru tersebut memiliki program tersendiri yang dinilai dapat memperbaiki kondisi daerahnya menjadi lebih baik, apalagi kalau pemerintahan sebelumnya terdapat banyak kasus korupsi sehingga pejabat pemerintah hingga anggota dewan koalisi partai sebelumnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seyogyanya 100 hari kerja kepala daerah jangan hanya menjadi tampak wajah kinerja saja yang hanya terlihat indah di awal untuk mengejar pencitraan awal, namun berikutnya berantakan dipertengahan dan atau akhir masa jabatan dengan terjerat kasus korupsi atau memiliki tanggung jawab lain kepada pihak ketiga yang belum diselesaikan dan menjadi pekerjaan rumah bagi kepala daerah yang baru.
Masyarakat dituntut untuk kritis dan melihat sebuah situasi dan kondisi melalui helicopter view sehingga dalam menilai sesuatu dan memutuskan untuk melakukan sesuatu berasal dari sebuah pertimbangan dan analisa yang matang, pengawasan menjadi hal yang penting dan harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, mari kita bersama kawal kepala daerah kita masing-masing dengan baik untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. (Azwar)