BREAKING NEWS

Ketua Kamar Pidana MA Paparkan Transformasi Mendasar KUHAP 2025 di PERISAI Eps. 12


Jakarta, Wartapembaruan.co.id
– Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) Mahkamah Agung Republik Indonesia menyelenggarakan kegiatan PERISAI Episode 12 dengan tema “Tinjauan Pembaruan KUHAP: Das Sollen Peran Pengadilan dalam Sistem Peradilan Pidana.” Kegiatan ini menjadi perhatian utama karena membahas transformasi mendasar sistem peradilan pidana Indonesia melalui pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2025, yang dijadwalkan mulai berlaku pada tahun 2026,(Selasa, 2 Desember 2025).

Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Prim Haryadi, dalam paparannya menegaskan bahwa pembaruan KUHAP bukan sekadar revisi normatif atau teknis, melainkan sebuah pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam sistem peradilan pidana nasional. Reformasi ini diarahkan untuk mewujudkan proses peradilan yang lebih manusiawi, responsif terhadap perkembangan zaman, serta selaras dengan prinsip-prinsip hukum dan standar internasional.

“KUHAP 2025 harus dipahami sebagai pembaruan hukum acara pidana yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,” ujar Prim Haryadi di hadapan para peserta PERISAI.

Prim Haryadi memaparkan sejumlah pilar utama perubahan mendasar dalam KUHAP 2025, antara lain penerapan konsep Judicialized Criminal Procedure, di mana hakim berperan sebagai pengendali proses peradilan pidana. Dalam konteks ini, terdapat sekitar 44 kewenangan baru yang diberikan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna memastikan tindakan aparat penegak hukum tetap berada dalam koridor hukum.

Selain itu, KUHAP 2025 juga memperkuat prinsip due process of law dan perlindungan hak asasi manusia. Setiap tindakan upaya paksa oleh aparat penegak hukum wajib memenuhi prosedur yang ketat serta memerlukan izin atau pengawasan hakim, guna mencegah penyalahgunaan kewenangan.

KUHAP 2025 secara eksplisit mengakui dan mengatur mekanisme restorative justice sebagai bagian sah dari sistem hukum pidana.

Penyelesaian perkara di luar pengadilan yang melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat kini mendapat landasan hukum, khususnya untuk tindak pidana ringan dan perkara kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam paparannya, Prim Haryadi juga menyoroti perluasan objek praperadilan. Tidak lagi terbatas pada penetapan tersangka dan penahanan, praperadilan kini mencakup tindakan lain seperti pemblokiran rekening, penyadapan komunikasi, serta pelarangan bepergian.

Perluasan ini memberikan ruang perlindungan hukum yang lebih besar bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan aparat penegak hukum.

Pada bagian akhir, ia menekankan sejumlah isu krusial yang memerlukan perhatian khusus, antara lain penafsiran terhadap istilah “pihak yang berkepentingan” dalam praperadilan.

Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 76/PUU-X/2012, Prim Haryadi menegaskan bahwa pihak ketiga yang berkepentingan tidak terbatas pada korban atau saksi, melainkan juga masyarakat luas yang dapat diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan lainnya.

Ia juga menyoroti pentingnya kepastian hukum mengenai jangka waktu pemanggilan dalam proses praperadilan, yang perlu diatur secara tegas agar tidak menimbulkan penundaan maupun ketidakpastian hukum.

Menutup paparannya, Prim Haryadi menegaskan bahwa KUHAP 2025 bukanlah akhir dari reformasi hukum, melainkan tonggak awal menuju sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi, efisien, transparan, dan berkeadilan.


(Alred)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image