Iklan

Relevansi Krisis Otoritas Budaya Terhadap Penolakan Pemimpin Perempuan

warta pembaruan
16 September 2021 | 3:03 PM WIB Last Updated 2021-09-16T08:03:22Z
Oleh : M Erni Sri Murtiningsih
Analis Pertahanan Negara (APN) -Kemhan


Wartapembaruan.co.id -- Banyak tokoh dunia perempuan yang menjadi panutan seperti Margareth
Teacher di Inggris, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di Filipina yang mampu memposisikan dirinya sebagai wanita cerdas dengan tidak melihat dirinya sebagai perempuan yang lemah melainkan kekuatan dan kecerdasan dalam menempatkan diri di rumah, dunia kerja, tempat ibadah, dan lingkungan masyarakat. 

Peran perempuan kini secara tidak langsung sudah memiliki ekstra posisi yang tidak dapat digantikan oleh kaum laki-laki. Dengan memberi kesempatan dan menyemangati perempuan untuk berperan sebagai pemimpin, pemerintah dan organisasi. Bahkan Indonesia memiliki tokoh perempuan sebagai Presiden RI ke-5, yaitu Megawati Soekarno Putri.
Memposisikan perempuan bukan hanya sebagai proses pembangunan tetapi juga sebagai fondasi yang mendukung pembangunan merupakan keniscayaan karena sejalan dengan gerakan emansipaasi wanita seperti figur R.A. Kartini.

Gerakan emansipasi dan gender intinya mengusahakan persamaan hak
perempuan di berbagai bidang kehidupan sehingga perlahan menggeser stigma tentang sosok perempuan itu sendiri, tidak dipandang lagi sebagai sosok yang
lemah namun memiliki kemampuan yang sama untuk berada di posisi puncak dalam karier.

Namun tidak semua perempuan di setiap Negara mampu menggeser stigma tentang sosok perempuan itu sendiri, yaitu kapasitas perempuan sebagai pemimpin. 

Faktor budaya mempengaruhi bagaimana cara perempuan dan laki-
laki bertindak dan berpikir. Faktor budaya ini juga terlihat dalam organisasi.

Laki-laki dituntut untuk bersikap tegas dalam memimpin. Tetapi ketika
perempuan bersikap tegas, dia kerap disebut agresif. Kebanyakan pemimpin
laki-laki juga mementor anak buahnya yang laki-laki. Masih jarang ada
pemimpin laki-laki yang mementor wanita. 

Dari contoh tersebut, terlihat bahwa
masalah budaya menjadi faktor utama dalam kemajuan perempuan. Inilah
salah satu krisis otoritas budaya(critical of cultural authority). Meskipun Indonesia pernah memiliki Presiden perempuan, perdebatan layak tidaknya perempuan menjadi pemimpin masih tetap berlangsung, terutama dikalangan ulama.

Perempuan merupakan bagian kesatuan masyarakat yang lebih besar
dibandingkan laki-laki. Penciptaan laki-laki dan perempuan oleh Tuhan Yang
Maha Esa merupakan takdir dan mempunyai kedudukan, derajat, hak serta kewajiban yang sama. Djasmoredjo dalam Fitriani (2015) hanya terbatas pada perbedaan biologis. Perempuan identik sebagai sosok yang lembut, cenderung mengalah, lebih lemah, kurang aktif dan berkeinginan untuk mengasuh.

Sebaliknya, laki-laki sering ditampilkan sebagai seseorang yang besar, dominan, lebih kuat, lebih aktif, otonomi serta agresi. Dalam filosofi jawa wanita memiliki arti wani ditata atau berani diatur. Kebangkitan kaum perempuan dalam era globalisasi telah membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan
bukan lagi sebagai istri atau ibu semata-mata, tetapi telah terorientasi pada kualitas eksistensinya selaku manusia.

Belajar dari pengalaman sejarah dan proses kelahiran Amerika Serikat serta
kedudukan perempuan dalam politik, yang dapat mengantarkan pemimpin
perempuan dinegara adi daya tersebut, tidaklah mudah. 

Amirika Serikat sebagai negara demokrasi dan pelopor hak asasi manusia ternyata terjangkit
krisis otoritas budaya (critical of cultural authority). 

Saat ini masyarakat Amirika Serikat baru mengijinkan Kamala Devi Harris sebagai wakil Presiden AS.

Perjalanan sejarah Amerika Serikat (AS) melahirkan AS sebagai Negara super power dari sisi potensi organisasi kesenjataannya. 

Menjadikan Amirika Serikat sebagai sumber atau contoh segenap upaya pembaharuan newness and
representative – serba baru dan representatif. Dari sisi sejarah oleh Thomas Jefferson, Amirika Serikat dinilai sebagai new chapter in the history of man – bab baru dalam sejarah manusia. 

Founder menyebutnya sebagai new order of the age – abad orde baru. Abraham Lincoln sendiri menamakan Amirika Serikat sebagai new nation – bangsa baru. Untuk Frederick Turner menilai Amirika Serikat sebagai another name for opportunity – nama lain untuk oportunitas.

Pandangan yang demikian dijadikan contoh bagi negara-negara berkembang, tidak terkecuali negara dan bangsa yang besar, seperti Indonesia.

Padahal realialitasnya Amirika dewasa ini sedang terjangkit critical of cultural
authority- krisis otoritas budaya. 

Amirika Serikat sedang merasa tertepa
perubahan budaya yang tidak terikuti dengan perubahan sistem politik yang
mampu menatanya. 

Terjadi benturan antara hal-hal yang bersifat impersonal dengan kekuatan modernisasi yang tidak bertanggungjawab. 

Diperkirakan sebagai Negara adikuasa yang tiada cacat proses pelaksanaan demokrasinya.

Demikian pula dalam hak azasi manusia, Amirika Serikat sebagai contoh terbaik yang tidak pernah cacat. 

Diperkirakan Amirika Serikat tidak pernah melakukan perbudakan, pemusnahan suatu ras bangsa di muka bumi ini.

Pernyataan semacam ini adalah benar, sejauh tidak lagi membaca sejarah
secara kritis.

Demikian nama-nama yang disandang oleh Amirika Serikat seperti diatas ini,
hanya terjadi di masa dahulu. 

Semakin berkembangnya sekularisme saat ini mempengaruhi kehidupan demokrasi Amirika Serikat dan nilai kehidupan dewasa ini yang lebih ditujukan seperti dalam istilah filosofi Puritan Amirika adalah being seen atau hanya menjadi lebih dikenal Faktor-faktor kepemimpinan perempuan lemah.

Broken heroes – ketiadaan/krisis pahlawan. 

Dalam kaitannya dengan masalah kepemimpinan bangsa, Amirika Serikat sedang dihinggapi herolessness – ketiadaan pahlawan. Hal ini terjadi akibat hilangnya jiwa leadership dari pemimpin. 

Gaya hidup single life di kalangan wanita karier. Disamping itu, faktor ketenaran, kecantikan dan kebesaran wanita terangkat karena publikasi media massa.

Kedudukan pria di masyarakat primitif. Dikebanyakan budaya dunia, posisi
pria selalu lebih tinggi daripada wanita. 

Hal ini tidak hanya dialami di Amerika Serikat tetapi juga di Indonesia. 

Jika ada wanita berstatus lebih tinggi dan dominan akan berdampak pada kaum pria menjadi tidak bertanggungjawab dansangat bergantung sifatnya. Wanita menjadi pemilih dan pria dipilih.

Kelemahan pribadi wanita. Kelemahan pribadi wanita, antara lain: wanita
tiada minat menyerang, selalu menggantungkan diri, bersikap pasif, tidak kompetitif, berorientasi rumah, mudah berurai air mata, hampir tidak pernah bertindak sebagai pemimpin, kurang percaya diri, tak mampu memilah antara rasa dan idealitas, banyak bicara, sadar akan perasaan orang lain, suka menyerah dan memiliki emosi yang tidak stabil.

Stereotype. Keyakinan masyarakat tentang kelemahan wanita dalam
memimpin masih berkembang di masyarakat, secara stereotype – dituturkan diulang secara terus menerus dan tanpa ada perubahan. Pemahaman ini tidak hanya melanda masyarakat Amirika Serikat tetapi juga masyarakat di Indonesia yang masih terkendala pro dan kontra untuk memilih pemimpin perempuan.
Hal ini bisa di buktikan ketika menjelang di selenggarakannya pesta demokrasi, baik Pilkada maupun Pemilu di Indonesia.

Marginal Women. Meskipun kenyataan sekarang wanita semakin maju,
peranan tradisi mulai melemah. Dampaknya lahirlah marginal women antara menerima tradisi wanita hanya sebagai ratu rumah tangga , dan menolaknya karena tuntutan sebagai career women. 

Tuntuan egalitarian – persamaan dalam peranan jenis semakin nyata. Tetapi tetap saja masyarakat tetap memantapkan pilihannya kepada pemimpin pria dan militer, bukan wanita.

Bahaya Queen Bee Syndrome. Kegagalan kepemimpinan perempuan
bersumber dari beberapa faktor, antara lain, kurangnya percaya diri, kurangnya
motivasi, kurangnya latihan, kurangnya kemampuan dan kurangnya di beri
akses. Namun dibalik itu, ada yang berpendapat bahwa ada yang lebih
berbahaya lagi jika wanita sudah menduduki suatu posisi kepemimpinan tinggi – high status, menurut penelitian Staines, Tavris, dan Jayaratne, wanita akan dihinggapi penyakit queen bee syndrome – sindrom ratu lebah. Artinya
memandang semua wanita yang berposisi dibawahnya, dinilai dengan sangat negatif. 

Dengan kata lain, wanita yang berkedudukan tinggi akan menjadi
pengganjal wanita lain yang akan naik posisinya. Wanita berkedudukan tinggi
tidak memiliki keinginan membantu wanita lain di bawah kedudukannya. 

Bila seorang perempuan sebagai pemimpin, akibat Queen Bee Syndrome sebagai penyakit diri yang dimilikinya, akan menghambat dirinya untuk menjadi negarawan. 

Sifat kecurigaannya akan menghambat kelancaran hubungan kerja antarsatu dengan yang lainnya. Kecenderungan menjelekan perempuan yang lain sebagai kodrat pembawaan yang merusak sistem kerja pemerintahan.
Kepemimpinan dapat dibagi dalam political leader – kepemimpinan politik dan specialist. 

Pemimpin politik memiliki kemampuan pertangungjawaban lebih luas dan besar. Sebaliknya specialist – kepemimpinan yang memiliki tanggung jawab lebih sempit hanya pada bidang khususnya.

Perempuan sebagai pemimpin memiliki hak sama dengan laki-laki. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai sosok yang lemah lembut akan tetapi memiliki fondasi penting dalam kehidupan keluarga, organisasi maupun di lingkungan bermasyarakat. Sejalan dengan reformasi dan konsep gender menempatkan perempuan pada posisi yang sama di semua bidang kehidupan tak terkecuali sebagai pemimpin. 

Women Leadership. Tidak ada lagi penolakan pemimpin perempuan karena krisis otoritas budaya. 

Berkaca dari kepemimpinan
perempuan dan tokoh dunia merupakan tantangan bagi pemimpin-pemimpin perempuan dalam era reformasi dan globalisasi di tengah krisis perang melawann pandemik Covid-19.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Relevansi Krisis Otoritas Budaya Terhadap Penolakan Pemimpin Perempuan

Trending Now

Iklan