Iklan

Soal Penyerangan Prajurit di Papua Barat, BMPRI Sampaikan Ini

warta pembaruan
03 September 2021 | 9:19 PM WIB Last Updated 2021-09-03T14:19:24Z
Jakarta, Wartapembaruan.co.id  - Fungsionaris Barisan Merah Putih Papua RI yang juga Wakil Ketua Umum Bara JP, Frans Ansanay sampaikan keprihatinan atas kejadian penyerangan yang mengakibatkan gugurnya prajurit sapta marga di Papua Barat.

Seperti diketahui sekelompok orang menyerang pos komando rayon militer (Posramil) Persiapan Kisor, Distrik Aifat Selatan, Maybrat, Papua Barat, pada Kamis (2/9/21) dini hari hingga mengakibatkan empat personel TNI AD gugur.

"Sajak lama isu-isu disintegrasi bangsa selalu saja menggangu pembangunan disana ttp an pembangunan juga selalu merusak tatanan kehidupan adat masyarakat Papua diatas Tanah yang diyakini pemberian Tuhan," ucap Frans melalui siaran pers, Jumat (3/9/21).

Frans menceritakan bahwa suasana Papua dan Papua Barat dahulu Provinsi Irian Barat yang oleh perjuangan Bung Karno Presiden RI pertama memerintahkan Panglima Mandala Mayjend TNI Soeharto berhasil merebut  Irian Barat kembali kedalam wilayah NKRI.

Lalu, sejak Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI kedua di era orde baru, sistem pemerintahan yang terpusat membuat Provinsi Irian Jaya sebagai daerah tertinggal sangat memprihatinkan karena eksploitasi SDA terjadi disana sementara manusia papua terus menyaksikan hutan dan laut sebagai tempat menggantungkan hidupnya dirambah atas nama Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pertambangan dan lain-lain dengan mengamalkan UUD 1945 yaitu hasil bumi dikuasai oleh negara utk kemakmuran rakyat.

"Ternyata faktanya tidak seperti itu, memasuki Orde Reformasi Rakyat Irian Jaya mengubah nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua dengan mendapat restu Presiden Gusdur kemudian rasa ingin keluar dari keterpurukan hidup itu berkembang menjadi keinginan memisahkan diri dari NKRI," paparnya.

"Benih-benih kemerdekaan yang terkubur 32 tahun era Presiden Soeharto itu muncul dengan hadirnya perwakilan 100 tokoh Papua di Jaman Presiden Habibie menyatakan ingin merdeka, pisah dari NKRI dan siap menjadi sahabat yang baik sebagai negara tetangga," tambahnya.

Namun, permintaan ini ditolak secara halus oleh Presiden Habibie kepada 100 tokoh Papua, lalu kembali hiruk pikuk kemerdekaan Papua terus melanda hampir diseluruh Tanah Papua.

Lanjut Frans, presiden-presiden di era reformasi sebelum Presiden Jokowi pun belum memberi harapan bagi sebagian orang papua yang ingin merdeka bisa menerima NKRI sebagai negaranya. Gerakan anti Indonesia terus dilakukan dengan berbagai cara di era reformasi.

"Kehadiran Presiden Jokowi menjadi harapan perubahan kesejahteraan di Tanah Papua namun 5 tahun pertama hampir sebagian besar program pembangun mengalami kebuntuan karena belum selinerginya pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dalam membangun masyakat Papua," ujarnya.

Korupsi merajalela tanpa bisa disentuh kepastian hukum, dagelan politik lokal membuat pemerintah pusat menempuh berbagai cara merebut hati rakyat Papua mengalami kebuntuhan juga, sekali lagi pemerintah daerah belum sinergi dengan Presiden (pemerintah pusat).

TNI Polri yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan mengubah paradikma pertahanan dan keamanan militer menjadi partisipasi turut membangun kesejahteraan bagi rakyat papua.

"Disini poinnya bahwa pendekatan kesejahteraan yang sedang dilakukan ini mendapat tafsiran yang berbeda dari para pejuang kemerdekaan Papua sehingga seringkali terjadi kontak senjata yang menjadikan gugurnya korban jiwa dikedua pihak," ujarnya.

Kemana HAM Jika TNI-Polri Jadi Korban??

Sementara itu, kata Frans para aktifis HAM sebagaian besar menyoroti TNI Polri sebagai pelaku pelanggar HAM Berat di Tanah Papua. Jika terjadi korban dipihak TNI Polri rasanya jarang sekali bahkan hampir tidak ada aktifis HAM melakukan pembelaan.

Sebagai WNI seharusnya para aktifis HAM melihat sisi lain kewajiban TNI Polri melindungi Wilayah dan Rakyat sebagai implementasi dari Ilmu Negara.

"Sebagai fungsionaris BMPRI Papua dan juga Wakil Ketua Umum Bara JP saya mengajak masyarakat Papua untuk menghidari konflik serta membangun komunikasi yang baik dengan TNI / Polri serta pemerintah daerah dan pusat untuk mendapat perlindungan atau bantuan atas masalah-masalah yg dihadapi terkait hak-hak ulayatnya diatas Tanah Papua," ucap Frans.

Lebih jauh, Frans menyebut bahwa di era Presiden Jokowi pejabat Papua dari kaum milenial dan senior dipercaya urus masyarakat Papua dengan harapan dapat menjadi jembatan bagi penyelesaian berbagai masalah sosial politik di Tanah Papua.

"BMPRI Papua dan Bara JP meminta Presiden segera mengevaluasi pejabat milenial dan seniornya yang tidak becus tangani persoalan Papua segera diganti, rakyat Papua tidak butuh pejabat gagal paham masalah diatas Tanah Papua," ujarnya.

"Pada kesempatan ini juga saya menyampaikan turut berduka cita yang dalam atas gugurnya ke-4 parjurit sapta marga dan berdoa keluarga yang ditinggal mendapat ketabahan dari Tuhan Yang Maha Esa," tambahnya.

Terakhir, Frans juga menyampaikan pesan kepada pelaku pembunuhan agar segera menyerahkan diri dan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan secara hukum.

Negara harus hadir menyelesaikan masalah dengan arief dan bijaksana demi keutuhan NKRI kedepan.

"Sekali lagi saya mengutuk dengan keras perbuatan menghilangkan nyawa manusia. Semoga setiap masalah yang mengganggu situasi keamanan karena  masalah sosial politik di Tanah Papua segera bisa selesai dengan pendekatan kesejahteraan sebagai strategi pembangunan nasional dan rakyat papua lewat UU Otsus yang telah direvisi itu terlindungi keberadaannya dan dapat membangun dirinya didalam NKRI," pungkasnya.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Soal Penyerangan Prajurit di Papua Barat, BMPRI Sampaikan Ini

Trending Now

Iklan