Iklan

"Butuh Political Will dan Mau Berdialog serta Mendengar Buruh"

warta pembaruan
03 Mei 2025 | 7:25 PM WIB Last Updated 2025-05-03T12:25:12Z


Oleh: Timboel Siregar (Pengamat Ketenagakerjaan/Sekjen OPSI)

Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Presiden Prabowo pada peringatan MayDay tahun 2025 ini menjanjikan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, yang disampaikan pada perayaan MayDay 1 Mei 2025 di Lapangan Monas.

Kesejahteraan merupakan hal substansial dan penting yang harus diupayakan negara cq. Pemerintah. Isi Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Preambule menyatakan “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,…”

Dalam batang tubuh, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan tiap-tiap warga negara rakyat berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan salah satu bentuk upaya untuk meraih kesejahteraan rakyat Indonesia.

Khusus untuk pekerja, amanat UUD 1945 tersebut dioperasionalkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Pasal 4 UU Ketenagakerjaan menyatakan Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan, salah satunya pada point d yaitu meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Penegasan tentang subyek yang disejahterakan diamanatkan Pasal 1 angka 31 UU Ketenagakerjaan yaitu kesejahteraan pekerja/buruh baik di dalam hubungan kerja (formal) dan di luar hubungan kerja (informal), untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.

Dari seluruh amanat di atas, Pemerintah memang wajib mengusahakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dan termasuk pekerja/buruh dan keluarganya yang dikemas dalam regulasi, kebijakan, peran pengawasan dan penegakan hukum, serta anggaran.

Amanat tersebut bertolak belakang dengan realita yang ada. Selama ini regulasi ketenagakerjaan malah menjauhkan kesejahteraan dari buruh dan keluarganya. Peran pengawasan dam penegakan hukum ketenagakerjaan baik perdata dan pidana sangat lemah sehingga banyak terjadi pelanggaran hak normative buruh. Dan alokasi anggaran pun rendah, apalagi dengan adanya Inpres No. 1 Tahun 2025 yang memangkas sedemikan besar anggaran di Kementerian Ketenagakerjaan.

Dari permasalahan tersebut, ebenarnya Pemerintah bisa mensejahterakan buruh bila memang memiliki political will untuk meninjau lagi regulasi yang ada, meningkatlan kualitas pengawasan dan penegakan hukum serta mendukung anggaran yang mumpuni misalnya untuk anggaran pelatihan sehingga Angkatan kerja kita memiliki skill yang baik dan mampu memenuhi kebutuhan industry, walaupun 53 persen Angkatan kerja kita lulusan SMP ke bawah.

Mengenai usulan adanya perbaikan regulasi, pengawas, dan anggaran, sudah banyak disampaikan oleh SP/SB, akademisi dan NGO perburuhan untuk menciptakan lesejahteraan buruh, dan teriakan usulan ini terus disampaikan dalam berbagai forum dan peringatan perayaan MayDay tiap tahun.

Namun, semua teriakan dan usulan tersebut tidak direspon, dan malah pemerintah memberikan karpet merah bagi oligarki yang menyebabkan lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (sudah diubah menjadi UU No. 6 Tahun 2023) dengan dibalut jargon kampanye pembukaan lapangan kerja sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia agar mengatasi defisit Angkatan kerja, dengan mengorbankan kesejahteraan buruh.

Faktanya, sejak lahirnya UU Cipta Kerja dengan segala regulasi turunannya, masih terus terjadi defisit Angkatan kerja. Pertumbuhan Angkatan kerja tiap tahun sekitar 4 juta lebih tidak bisa diatasi dengan pembukaan lapangan kerja yang dijanjikan UU Cipta Kerja tersebut. Dan fakta yang lebih mengenaskan lagi, masih tingginya defisit Angkatan Kerja tiap tahun ditambah semakin banyaknya PHK di sektor padat karya dan sektor lainnya, sehingga meningkatkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang di Agustus 2024 sudah mencapai 7,47 juta orang atau 4,9%.

Pembatasan pekerjaan yang bisa dialihdayakan (outsourcing) sebagai amanat Pasal 64 UU no. 6 Tahun 2023 serta Putusan MK no. 168 tahun 2024 pun tidak juga kunjung dijalankan Pemerintah karena PP No. 35 tahun 2021 tidak juga direvisi khususnya untuk outsourcing. Dampaknya, seluruh pekerjaan masih bisa dioutsourcing yang memicu terjadinya PHK dengan alasan mengalihkan pekerja menjadi pekerja outsourcing seperti yang dialami 136 pekerja bagian IT di sebuah Perusahaan asuransi.

Terus lemah dan koruptifnya kerja-kerja Pengawas Ketenagakerjaan (Wasnaker), mengakibatkan semakin panjangnya kesulitan buruh mendapatkan kesejahteraan. Sudah dilemahkan oleh regulasi, peran pengawas pun melengkapi penderitaan buruh dan keluarganya.

Walaupun UUD 1945 mengamanatkan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia, dan Pasal 4 serta Pasal 1 angka 31 UU Ketenagakerjaan mengamanatkan tujuan Pembangunan Ketenagakerjaan untuk seluruh pekerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, namun yang terjadi adalah absennya peran pemerintah untuk mendukung kesejahteraan pekerja di luar hubungan kerja (informal). Minim regulasi, minim kebijakan, dan minim alokasi anggaran untuk kesejahteraan pekerja informal menjadi catatan tahunan yang selalu diajukan buruh informal kepada pemerintah.

Janji Pemerintahan Jokowi yang dituangkan dalam RPJMN 2020 – 2024 untuk mengimplementasikan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi pekerja informal miskin dalam skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan anggaran Rp. 16.800,- per orang per bulan untuk kedua program tersebut tidak juga ditepati oleh Pemerintahan Jokowi, dan sampai hari ini pun belum dilaksanakan oleh Pemerintahan Prabowo sebagai pemerintahan yang melanjutkan pemerintahan sebelumnya.

Di Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), salah satu yang menjadi ancaman bagi kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya adalah rencana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) Satu Ruang Perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur untuk peserta JKN oleh Kementerian Kesehatan (akan menghapus ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 untuk peserta JKN), yang akan menyebabkan kesulitan peserta JKN termasuk pekerja/buruh dan keluarganya mengakses ruang perawatan. SP/SB lintas federasi menolak penerapan (KRIS) Satu Ruang Perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur ini.

Dari uraian di atas, sebenarnya Pemerintah sudah sangat mengetahui tentang tuntutan kesejahteraan pekerja Indonesia, baik pekerja formal, informal maupun Pekerja Migran kita, namun karena tidak adanya political will (kemauan politik) dan tidak mau berdialog dan mendengar buruh maka kesejahteraan buruh dan keluarganya semakin menurun.

Oleh karenanya usulan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, menurut saya, sebaiknya tidak perlu dilaksanakan, dengan alasan :

1. Sumber masalah kesejahteraan buruh itu ya di pemerintah yang tidak memiliki political will dan tidak mau berdialog dengan buruh, untuk melaksanakan kesejahteraan. Selama ini Pemerintah secara sadar terus melanggar amanat isi UUD dan UU ketenagakerjaan.

2. Pemerintah sebenarnya sudah tahu cara mensejahterakan buruh namun tidak mau karena hanya berorientasi mendukung oligarki dengan mengorbankan buruh. Jargon pembukaan lapangan kerja untuk mengatasi defisit Angkatan kerja di UU Cipta Kerja juga hanya isapan jempol.

3. Usulan pembentukan Dewan Kesejahteraan buruh cenderung hanya akan dijadikan alat legitimasi pemerintah yang gagal mensejahterakan buruh karena memang tidak memiliki political will dan tidak mau berdialog dan mendengarkan buruh. Nanti dengan mudah Pemerintah mengatakan sudah mendapatkan masukan dan berdialog dengan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional namun tidak mengimplementasikan usul dan masukan yang diberikan.

4. Tentunya kehadiran Dewan Kesejahteraan Buruh ini akan membutuhkan anggaran APBN yang saat ini sedang mengalami efisiensi. Dalam kondisi defisit APBN yang semakin besar, seharusnya tidak perlu membentuk dewan-dewan baru yang belum tentu jelas kerja-kerjanya dan malah menghamburkan anggaran saja.

5. Kita sudah memiliki Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional dan LKS Tripartit Daerah yang tugasnya juga merumuskan kesejahteraan buruh di Tingkat nasional dan daerah. Sebaiknya Lembaga ini saja dimaksimalkan tugasnya dengan menambah anggarannya. Dengarkan dengan baik dan berdialoglah dengan LKS Tripartit ini khususnya anggota LKS dari unsur buruh.

Semoga Paska Peringatan MayDay 2025 ini Pemerintah mau lebih ramah dengan pekerja/buruh dengan mendukung terus kesejahteraan buruh dan keluarganya, serta membangun dialog berkualitas dengan seluruh pekerja dan SP/SB termasuk pekerja informal dan Pekerja Migran Indonesia. Maksimalkan saja peran LKS Tripartit untuk mendapatkan masukan tentang kesejahteraan buruh dan keluarganya. (Azwar)


Pinang Ranti, 3 Mei 2025

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Butuh Political Will dan Mau Berdialog serta Mendengar Buruh"

Trending Now

Iklan