BOGOR, Wartapembaruan.co.id — Tim investigasi media ibu kota melakukan penelusuran pada Senin (5/5/2025) terhadap proyek ketahanan pangan di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, yang menyedot anggaran hingga Rp153 juta. Proyek tersebut dilaksanakan dalam dua termin atau dua tahap, namun menuai sorotan tajam terkait efektivitas dan keterbukaannya terhadap masyarakat.
Proyek berada di atas tanah wakaf milik Yayasan Kampus Djuanda Masjid Amaliah, yang berlokasi di Jl. Tol Ciawi No. 1. Lahan berukuran 12 x 15 meter itu digarap oleh enam orang pekerja melalui sistem borongan dari BUMDes. Program ini disebut sebagai bagian dari ketahanan pangan, namun menggunakan tanaman anggur—komoditas yang tidak termasuk dalam Rencana Umum Jangka Menengah (RUMIJA) dan dinilai belum memiliki daya ungkit terhadap ekonomi warga sekitar.
Minim Sosialisasi, Partisipasi Warga Ditiadakan
Pembangunan proyek ini juga dinilai bermasalah karena tidak disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat. Warga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan, bahkan baru mengetahui adanya proyek setelah pembangunan berjalan. Kondisi ini menunjukkan lemahnya prinsip transparansi yang semestinya menjadi standar dalam pengelolaan dana publik.
Padahal, pemerintah telah mengalokasikan anggaran nasional sebesar Rp139,4 triliun untuk program ketahanan pangan pada 2025. Dana ini difokuskan pada peningkatan produktivitas pertanian, infrastruktur, dan pemberdayaan petani kecil. Selain itu, minimal 20% Dana Desa pun diwajibkan dialokasikan untuk program-program ketahanan pangan. Sayangnya, pelaksanaan di lapangan sering kali tidak sejalan dengan arah kebijakan tersebut.
Obet: Konfirmasi Harus Buat Janji Terlebih Dahulu
Tim investigasi berhasil menghubungi salah satu pegawai BUMDes bernama Obet, yang disebut-sebut sebagai salah satu penggagas sekaligus pengguna anggaran proyek ini. Saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Obet menyampaikan bahwa jika ada rekan media yang hendak meminta keterangan lebih lanjut, sebaiknya membuat janji terlebih dahulu. Ia pun mempersilakan rekan media untuk menemuinya di kantor desa jika ingin melakukan wawancara secara langsung.
Pernyataan Obet menimbulkan pertanyaan baru soal keterbukaan informasi publik. Dalam konteks pengelolaan dana ratusan juta rupiah yang bersumber dari anggaran negara, sikap tertutup dan prosedural seperti ini justru menambah kesan bahwa ada hal-hal yang belum sepenuhnya terang benderang dalam pelaksanaan proyek tersebut.