BREAKING NEWS

Islamic Center Jambi: Antara Runtuhnya Akuntabilitas Publik Atau Moral Pemimpin Yang Ambruk


Jambi, Wartapembaruan.co.id
– Pada sebuah pernyataan publik yang kontroversial, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Jambi menyebut kebocoran atap Islamic Center bukanlah bentuk kesalahan, melainkan “keteledoran”. Namun alih-alih menenangkan situasi, pernyataan ini justru membuka babak baru pertanyaan mendasar: keteledoran siapa? Dan bagaimana sebuah proyek senilai Rp149 miliar lebih, yang diklaim rampung 100%, ternyata tak mampu bertahan bahkan satu musim hujan?

Sebelumnya, Kadis PUPR Muzakar menyampaikan bahwa air yang menggenangi area dalam gedung berasal dari pipa yang tersumbat, bukan atap bocor. Namun fakta lapangan membantah tegas pernyataan itu. Tim investigasi Elang Nusantara—organisasi pemantau independen—turun langsung ke lokasi dan mendapati bahwa kerusakan justru terjadi pada bagian atap bangunan. Air hujan menetes bebas dari atas, merembes ke dalam dinding dan lantai. Investigasi ini memperkuat kecurigaan publik akan adanya ketidaksesuaian antara rencana pembangunan dan hasil akhirnya.

Lebih mengecewakan, pernyataan dari Sekda Provinsi Jambi bahwa proyek tersebut “masih menyisakan 5% anggaran” justru memperkeruh suasana. Alih-alih menjadi jawaban, pernyataan itu justru memperlihatkan kelemahan dalam manajemen anggaran dan pengawasan proyek. Sikap pasif dari pejabat publik atas kerusakan yang terjadi, meski masih dalam masa pemeliharaan, tidak mencerminkan tanggung jawab birokrasi yang seharusnya berpihak pada rakyat.

Dokumen resmi Dinas PUPR mencatat bahwa proyek Islamic Center ditargetkan selesai pada 14 Februari 2025, dan secara administratif telah mencapai 100% realisasi fisik. Namun fakta di lapangan menunjukkan kualitas kerja yang buruk. Atap yang bocor, lantai yang tergenang, dan struktur bangunan yang turun lebih dari 3 cm menunjukkan bahwa proyek ini gagal melewati uji fungsionalitas dasar.

Menurut Pasal 27 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, penyedia jasa berkewajiban menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak dan standar teknis. Kegagalan dalam memenuhi spesifikasi teknis dapat dikualifikasikan sebagai wanprestasi. Bahkan, jika terdapat indikasi manipulasi data, mark-up anggaran, atau penyimpangan dalam volume pekerjaan, maka bisa dikenakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) tentang tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa proyek Islamic Center telah masuk dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan nilai penyimpangan mencapai miliaran rupiah. Struktur atap disebut tidak sesuai spesifikasi dalam RAB, serta ditemukan kekurangan volume bangunan. Parahnya, direktur perusahaan yang mengerjakan proyek ini ternyata tersandung kasus lain dan menjadi tersangka dalam proyek bermasalah sebelumnya. Perusahaan pelaksana proyek diketahui bekerjasama (KSO) dengan PT Bumi Delta Hatten, perusahaan yang juga mengerjakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan kantor wali kota yang kini tengah disorot karena dugaan pelanggaran serupa.

Armando, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi, menyoroti dari sisi filosofis dan etika publik. Menurutnya, Islamic Center seharusnya menjadi pusat peradaban spiritual dan kemanusiaan. Namun kenyataan hari ini, bangunan tersebut justru menjadi simbol pemborosan dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai publik. “Jika bangunan keagamaan dibangun tanpa kejujuran dan tanggung jawab, maka yang lahir bukan rumah ibadah, tapi monumen kemunafikan birokrasi,” tegasnya.

Narasi akademis ini memperkuat kritik terhadap praktik pembangunan yang hanya menekankan tampilan estetika luar namun mengabaikan fungsi dan keberlanjutan. Inilah wajah umum politik pembangunan hari ini—lebih mengejar “proyek prestise” demi pencitraan politik jangka pendek, dibanding menjawab kebutuhan konkret rakyat.

Islamic Center yang bocor bukan sekadar persoalan teknis. Ia telah menjelma menjadi simbol dari gagalnya birokrasi membaca urgensi pembangunan yang berpihak pada rakyat. Alih-alih menjadi rumah ibadah dan ruang publik yang memanusiakan, bangunan ini mencerminkan betapa dangkalnya arah pembangunan kita.

Rakyat Jambi tidak membutuhkan gedung megah yang bocor. Mereka membutuhkan pemimpin yang jujur, yang tidak mengorbankan anggaran publik demi proyek-proyek kosmetik. Mereka butuh negara yang hadir untuk menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah baru.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image