Polemik Empat Pulau: Saatnya Negara Hadir Menjawab Aspirasi Rakyat Aceh
Oleh: Rizky Tarmasi (Pemerhati Keterbukaan Informasi Publik)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Belakangan ini, masyarakat Aceh kembali dirundung kekecewaan setelah mencuat kabar bahwa empat pulau kecil yang selama ini dianggap sebagai bagian dari wilayah Aceh—yakni Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—dinyatakan masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan ini menimbulkan kegaduhan, memicu reaksi dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah Aceh, serta memunculkan pertanyaan serius: di manakah peran negara dalam menyelesaikan konflik batas wilayah secara adil?
Sejarah, Geografi, dan Perasaan Kolektif
Pulau-pulau yang dipersoalkan terletak di perairan sekitar Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, dan selama ini secara administratif maupun historis telah dirasakan sebagai bagian dari Aceh. Selain letak geografis yang lebih dekat ke Aceh Singkil, berbagai program pembangunan dan pelayanan publik dari Pemerintah Aceh pun telah menyentuh kawasan ini sejak lama.
Dari perspektif masyarakat lokal, keputusan untuk mengalihkan klaim administratif ke Sumatera Utara bukan hanya sekadar soal peta, tapi menyangkut identitas, sejarah, dan kepercayaan terhadap negara. Wajar jika gelombang kekecewaan bermunculan, terutama ketika keputusan tersebut terkesan sepihak dan tidak partisipatif.
Urgensi Transparansi dan Keadilan Tata Wilayah
Sengketa batas wilayah antarprovinsi bukan hal baru di Indonesia. Namun, penyelesaiannya harus tetap menjunjung asas transparansi, partisipasi publik, dan keadilan substansial. Dalam kasus ini, masyarakat Aceh mempertanyakan dasar keputusan Kementerian Dalam Negeri yang tampaknya lebih mengedepankan aspek administratif ketimbang historis dan sosial.
Lebih dari sekadar memperdebatkan peta, polemik ini menyoroti lemahnya tata kelola batas wilayah di tingkat nasional. Dalam UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11 Tahun 2006), Aceh memiliki kekhususan dalam tata kelola wilayah, termasuk kewenangan atas pulau-pulau kecil terluar. Maka, pengabaian terhadap aspirasi dan dokumentasi Aceh bisa dianggap mencederai semangat otonomi khusus yang selama ini dijunjung.
Mendorong Mediasi Terbuka dan Audit Batas Wilayah
Solusi dari polemik ini bukan saling menyalahkan, tetapi mengedepankan mediasi yang transparan. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri dan BIG (Badan Informasi Geospasial), perlu membuka proses penetapan batas secara terbuka kepada publik. Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara sebaiknya duduk bersama dengan pendekatan data spasial, sejarah lokal, serta masukan masyarakat.
Jika perlu, dilakukan audit ulang terhadap batas wilayah dengan melibatkan lembaga independen dan pakar hukum tata negara serta geografi. Tanpa langkah ini, sengketa semacam ini hanya akan menjadi bara dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa membakar kepercayaan publik terhadap negara.
Penutup
Polemik empat pulau ini bukan hanya soal Aceh dan Sumatera Utara, tetapi juga tentang bagaimana negara hadir secara adil dan aspiratif. Di tengah semangat demokrasi dan otonomi daerah, rakyat berharap keputusan-keputusan strategis tidak lahir di balik meja, tetapi melalui proses yang mendengarkan semua pihak. Karena dalam republik ini, keadilan wilayah adalah bagian dari keadilan sosial itu sendiri. (Azwar)