PT PEMA dan Mitos “Pembangunan dari Kita, untuk Kita”
Oleh: Rahmat Ferdiansyah
(Penikmat Kopi)
OPINI, Wartapembaruan.co.id -- Di sebuah sudut warung kopi Banda Aceh, seorang tua berseloroh sambil menyesap kopi hitam, “Kata mereka PEMA itu singkatan dari Pembangunan Aceh. Tapi kalau aku lihat-lihat, kayaknya lebih cocok jadi Perusahaan Eksklusif Milik Atasan.” Tawa pun pecah. Tapi dalam gelak itu, ada kegelisahan yang tak bisa ditepis: siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari perusahaan kebanggaan daerah itu?
Sebagai BUMD yang konon lahir dari rahim otonomi khusus, PT PEMA seharusnya jadi motor pembangunan ekonomi Aceh, bukan sekadar etalase proyek. Namun, praduga yang beredar di tengah masyarakat hari ini cukup menyakitkan: apakah PEMA benar-benar bekerja untuk rakyat, atau justru menjadi mesin nyaman bagi segelintir elit yang terlalu betah di balik meja AC?
Rakyat kecil, yang tak pernah merasakan efek langsung dari eksistensi PT ini, hanya mampu menebak-nebak dari jauh. Laporan keuangan tak mudah diakses. Transparansi publik tak pernah menjadi prioritas. Bahkan ketika ditanya, apa saja keuntungan yang sudah diberikan PEMA untuk masyarakat nelayan, petani, dan buruh harian di Pidie, Aceh Timur, atau Aceh Singkil—jawaban yang datang justru berputar-putar di ruang seminar, bukan di ladang atau pasar.
Ada juga praduga bahwa PEMA hanya menjadi tempat "parkir jabatan" bagi nama-nama yang akrab dalam lingkaran kekuasaan. Seolah profesionalisme bukan diukur dari kompetensi, tapi dari kedekatan. Tidak sedikit yang menyebut, gaji manajemen PEMA jauh lebih cepat naik dibanding pertumbuhan ekonomi rakyat. Lucunya, ketika rakyat bertanya "uangnya dari mana?" mereka dijawab dengan istilah-istilah audit yang rumit—seakan rakyat tidak cukup cerdas untuk tahu hak mereka sendiri.
Satu lagi yang menarik: proyek-proyek yang dijalankan. Praduga pun berkembang: mengapa banyak proyek justru terkesan dijalankan diam-diam, tanpa partisipasi publik, tanpa evaluasi terbuka? Beberapa kontrak kerjasama, kabarnya, bahkan lebih banyak menguntungkan pihak luar daripada menghidupkan ekonomi lokal. Kalau pun benar ada keuntungan, entah mengapa Aceh tetap terasa miskin.
Bisa jadi, PT PEMA memang sedang bekerja keras. Tapi yang terlihat dari luar, justru gedung tinggi, kendaraan dinas licin, dan rapat tanpa hasil. Tidak ada salahnya rakyat bersuara dengan praduga. Sebab di negeri ini, sering kali praduga justru lebih jujur dari laporan tahunan.
Dan jika PEMA marah terhadap praduga ini, mungkin sudah saatnya mereka menjawab dengan transparansi—bukan dengan klarifikasi yang hanya memoles luka.