Kemensos: Pekerjaan Baru Mengurus Sekolah Rakyat
Penulis: Chazali H. Situmorang (Sesditjen Banjamsos Depsos 2000-2005/Dirjen Banjamsos Kemensos 2005-2007/Sekjen Kemensos 2007-2010/SAM Bid OTDA Mensos 2010-2013/Deputi Bidang Jamsos dan Kemiskinan Kemenko Kesra-PMK 2013-2015/Ketua DJSN 2011-2015/ Dosen FISIP UNAS/Pemerhati Kebijakan Publik)*
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Lewat Inpres Nomor 8 Tahun 2025, tentang *Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem*, Kemensos mendapatkan penugasan yang paling banyak dan cukup berat. Pada poin 7 dari Inpres tersebut, Kemensos mendapatkan 6 macam penugasan termasuk mengurusi Sekolah Rakyat.
Kementerian lain, paling banyak 3-4 macam penugasan yang harus dilakukan. Irisan yang tebal dalam penugasan itu adalah dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Karena memang seharusnya soal pendidikan dasar dan menengah apakah sekolah rakyat maupun sekolah negeri dan swasta menjadi urusan Kemendikdasmen. Tapi ya sudahlah karena itu keinginan Presiden lewat Instruksinya mana ada Menteri yang protes, apalagi Mensos Gus Iful yang orangnya kalem dan tidak ada bakat melawan.
Dasar hukum Inpres itu sebenarnya lemah dan berlaku untuk internal penyelenggara pemerintahan apalagi di bandingkan dengan Undang-Undang. Kalau dulu masa rezim Jokowi, menabrak Undang-Undang biasa. Caranya dengan merubah Undang-Undang sesuai keinginan Presiden, cepat selesai. Untuk membuat UU saja cukup 40 hari seperti Undang-Undang Tentang IKN. Memang di DPR saat ini berkumpul manusia-manusia super, istilah Jokowi kekuatan besar yang bermain politik. Dan kekuatan besar itu saat ini sedang berbalik meng”hajar” Jokowi.
Kembali ke persoalan Kemensos. 5 tahun terakhir Kemensos itu sudah remuk redam ditangan Menteri Risma. Antara lain, di masa Risma Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin dihapuskan. Bubar total. Dirjen, para Direktur, Kepala Bagian yang menangani kemiskinan terjun bebas.
Perlu diketahui, bahwa penanganan kemiskinan itu ada perintah dalam UU Fakir MIskin Nomor 13/2011, harus diselenggarankan oleh Kemensos. Di media Risma menyebutkan bahwa di Ditjen Penanganan Fakir Miskin banyak korupsi. Pernyataan itu keliru besar. Korupsi yang menggemparkan itu di Ditjen Linjamsos. Tapi Ditjennya tidak dibubarkan. Benar-benar ngawur Risma waktu itu.
Pada awal Pemerintahan Jokowi setahun dan dua tahun pertama masih bagus. Belum ada toxic yang meracuninya. Dalam Perpres Nomor 46/2015 terkait Kementerian, Kemensos tercantum Ditjen Penanganan Fakir Miskin (PFM), yang dilanjutkan dengan pembentukan beberapa Direktorat PFM. Hal ini sejalan sesuai amanat UU 13/2011 Tentang Fakir Miskin.
Lantas pada periode Kedua, dengan alasan yang tidak jelas, berbungkus efisiensi kementerian dihapuslah Ditjen PFM dengan Perpres Nomor 110/2021. Disamping Jokowi, Mensos Risma adalah pihak terkait yang harus bertanggung jawab pembubaran Ditjen PFM. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka waktu itu. Seharusnya PDI P sebagai partai wong cilik dimana Jokowi dan Risma kadernya, juga ikut memikul dosa menelantarkan pengurusan orang miskin sebagai amanat Konstitusi “fakir miskin diurus oleh Negara".
Sampai detik ini, di Kemensos itu tidak ada nomenklatur yang mengurusi Fakir Miskin atau Kemiskinkan. Seharusnya dengan momen Inpres 8/2025, Mensos Gus Iful, harus cepat bermanuver kepada Presiden Prabowo agar Ditjen Penanganan Fakir Miskin dihidupkan kembali, agar ada rumah lingkup tugas untuk mrengelola sekolah rakyat untuk orang miskin dan miskin ekstrim.
Kebijakan Risma lainnya, yang menyebabkan Kemensos tidak popular di kalangan Pemerintah Propinsi, adalah meniadakan dana dekonsentrasi APBN sector Kemensos yang seharusnya diterima oleh para Dinas Sosial Propinsi. Akibatnya hubungan dan komunikasi dengan Dinas Sosial masa itu mungkin juga sekarang tidak baik baik saja. Agar program-program pusat dapat dideliver ke daerah Risma melakukan refungsionalisasi Panti-Panti Sosial milik Kemensos yang masih ada di sebagian Propinsi.
Panti sosial menjadi Sentra, yang tugasnya tidak lagi mengurusi peserta disabilitas, tidak mencari lagi PMKS di daerah-daerah pelosok. Sentra itu menjadi tempat stok bantuan sosial kejadian bencana. Pegawai panti berubah fungsi menjadi relawan bencana alam maupun bencana sosial. Termasuk penyaluran Bansos lainnya. Semua jenis panti sosial digabung. Tidak ada lagi melihat pendekatan spesifikasi penyandang cacat. Peran Peksos terabaikan.
Kita tidak melihat keinginan Mensos Gus Iful mengembalikan fungsi semula Panti-Panti Sosial itu. Seperti orang yang sedang mengambang di air. Termasuk kekosongan beberap pejabat eselon II yang belum di isi masa Risma, sampai sekarang masih di PLT kan.
Program Rehabilitasi Sosial Terabaikan
Sejak di “porak poranda” Panti2 Sosial yang umumnya Panti Rehabilitasi Sosial, menjadi sentra-sentra untuk kegiatan ibarat jamu bakul, berdampak tidak terurusnya secara maksimal para disabilitas.
Salah satu pilar utama dalam UU Kessos Nomor 11 tahun 2009, adalah Rahabilitasi Sosial. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud seharusnya diberikan dalam bentuk: a.motivasi dan diagnosis psikososial; b.perawatan dan pengasuhan; c.pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d.bimbingan mental spiritual; e.bimbingan fisik; f.bimbingan sosial dan konseling psikososial; g.pelayanan aksesibilitas; h.bantuan dan asistensi sosial; i. bimbingan resosialisasi; j.bimbingan lanjut; dan/atau k.rujukan.
Apakah ke-sepuluh jenis layanan Rehabilitasi Sosial itu sudah dilaksanakan. Jawabannya sudah tapi belum semestinya. Lihat saja pos alokasi APBN Kemensos untuk kesepuluh jenis layanan itu, mungkin jika anda seorang Pekerja Sosial, akan menitikkan air mata. Korban pemotongan anggaran.
Banyak yang berharap, kerusakan yang sistemik yang dilakukan Mensos Risma waktu itu, seharusnya secara cepat diperbaiki oleh Mensos penggantinya. Caranya dengan mengembalikan fungsi-fungsi Panti Sosial dengan benar dan utuh sebagaimana diperintahkan oleh UU 11/2009 dan PP yang mengaturnya.
Pertimbangannya sangat manusiawi dan fundamental. Karena sesuai dengan amanat UU Kessos, tidak ada kementerian lain yang diberikan tugas untuk mengurusi tugas-tugas Rehabilitasi Sosial bagi para PMKS (Penyandang Masaalah kesejahteran Sosial) dan sector lain itu juga tidak tertarik. Itu tugas utama keberadaan Kementerian Sosial. Secara global penanganan penyandang disabilitas itu domain Kementerian Sosial.
Demikian juga halnya, penanganan kemiskinan, sebagaimana kami uraikan di atas, atas perintah UU Nomor 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, seharusnya Mensos sampaikan dalam Sidang Kabinet perlunya struktur organisasi yang menanganinya yang sebelumnya sudah ada.
Kalaulah struktur Unit Kerja Eselon I nya ada, dan sentra-sentra kembali berfungsi menjadi Panti-Panti Sosial, maka Inpres Nomor 8 Tahun 2025, tidak akan menggerus tugas pokok dan fungsi Kemensos yang diperintahkan UU 11/2009.
Mensos tidak perlu melakukan pengalihan fasilitas-fasilitas Panti Sosial untuk disunglap menjadi boarding school Sekolah Rakyat. Kondisi yang terjadi saat ini ada lebih 53 faslitas sarana dan prasarana Panti Sosial beralih fungsi menjadi Sekolah Rakyat. Dikemanakan mereka-mereka penyandang disabilitas itu. Dipulangkan ke kampung halamannya, atau keleleran menghiasi kolong jembatan. Jika itu yang terjadi pasti Prabowo marah besar.
Inpres Nomor 8/2025 itu kalau kita cermati cukup bagus dan membangun sinergitas antar kementerian. Tetapi Inpres itu juga harusnya ditempatkan secara proporsional dalam tatanan regulasi dan tetakelola yang baik. Kalau ada perintah dalam UU untuk dilaksanakan Kementerian, jangan diabaikan, atau disembunyikan atau seolah-olah tidak ada, hanya karena adanya Inpres yang hierarchinya lebih rendah dari UU. Hal itu sudah diatur dalam UU Tentang Peraturan Penyusuan PerUndang-Undang.
Kalau Mensos Gus Iful berani menjelaskan hal yang terkait dengan Tupoksi Kementeriannya, tentu Program Sekolah Rakyat itu dapat dijalankan secara baik, tertib, terencana, dan tidak ada yang dikorbankan dari orang miskin yang juga penyandang cacat. Mari kita renungkan Pak Mensos. (Azwar)
Cibubur, 12 Agusutus 2025