Tolak RPP Pengupahan Gunakan Alpha 0,3-0,8 yang Hanya Naik 4,3 %, Buruh se-Indonesia Siap Aksi Besar
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - KSPI dan Partai Buruh menyatakan penolakan tegas terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan yang tengah disiapkan pemerintah sebagai dasar penetapan upah minimum tahun 2026.
Presiden KSPI dan sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menilai bahwa RPP ini cacat proses, keliru secara substansi, dan akan memiskinkan buruh Indonesia selama bertahun-tahun ke depan bila diberlakukan.
Menurut Said Iqbal, pemerintah tidak pernah melakukan perundingan yang sungguh-sungguh dengan serikat buruh terkait RPP tersebut. KSPI, sebagai salah satu konfederasi terbesar, tidak pernah diajak berdiskusi secara mendalam. Apa yang terjadi selama ini dalam forum Dewan Pengupahan maupun Tripartit Nasional hanyalah sosialisasi sepihak, bukan perundingan.
“Pemerintah sudah punya sikap, menampung pikiran-pikiran Apindo, lalu menyosialisasikannya di Dewan Pengupahan dan Tripartit Nasional. Itu bukan berunding. Bahkan tidak ada perundingan dengan KSPI,” tegasnya.
Karena itu, KSPI bersama Partai Buruh serta Koalisi Serikat Pekerja yang dipayungi lebih dari 72 organisasi menyatakan menolak RPP Pengupahan tersebut. Dengan tidak adanya kesepakatan, RPP tersebut tidak layak dijadikan dasar penetapan upah minimum (UM) 2026.
Lebih jauh, Iqbal menjelaskan bahwa RPP baru itu mengulang kembali konsep lama tentang penggunaan “konsumsi rata-rata buruh” yang disurvei BPS sebagaimana diatur dalam PP 51, aturan yang sejak awal ditolak buruh. Konsep konsumsi rata-rata ini akan membuat berbagai daerah industri besar seperti Bekasi, Bogor, Karawang, Purwakarta, Tangerang Raya, Cilegon, Serang, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Semarang, Medan, Batam, dan lainnya tidak mengalami kenaikan upah sama sekali.
“Ini mengembalikan konsep PP 51 yang membuat kenaikan upah itu nol. Nol persen,” kata Iqbal. Dampaknya, pusat-pusat industri yang menjadi motor ekonomi justru akan mengalami stagnasi upah.
Selain persoalan konsumsi rata-rata, KSPI juga menolak tegas penggunaan formula alpha dengan rentang 0,3 hingga 0,8 sebagai penentu kenaikan upah minimum. RPP tersebut menetapkan bahwa upah akan naik berdasarkan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi yang dikalikan dengan alpha. Jika alpha 0,3 yang dipakai—seperti rancangan pemerintah—maka kenaikan upah minimum tahun 2026 hanya sekitar 4,3 persen.
Bagi KSPI, angka ini tidak masuk akal dan sangat merugikan buruh. Dengan rata-rata upah minimum nasional sekitar Rp3.090.000, kenaikan 4,3 persen hanya menambah kurang lebih Rp120.000 per bulan, atau kurang dari 12 dolar AS.
Said Iqbal menggambarkan betapa kecilnya angka tersebut melalui perbandingan yang tajam: “Di Jenewa, harga satu kebab 19 USD. Kenaikan upah minimum Indonesia hanya 120 ribu—di bawah 12 USD. Kenaikan upah satu bulan tidak setara harga satu kebab satu kali makan. Keterlaluan.”
Ia menegaskan bahwa jika nilai alpha 0,3 diterapkan, pemerintah sama saja mengunci buruh pada upah murah selama 10 hingga 20 tahun ke depan, karena rentang alpha tersebut berlaku jangka panjang dalam rancangan RPP.
Iqbal juga menekankan bahwa tanpa kesepakatan dengan serikat buruh, pemerintah seharusnya tidak menetapkan RPP ini. Jika memang mau menetapkan aturan pengupahan, cukup melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja seperti tahun sebelumnya, di mana nilai alpha pun harus disepakati terlebih dahulu. Karena tidak ada kesepakatan tersebut, maka RPP ini tidak bisa diberlakukan.
Sebagai solusi, KSPI dan Partai Buruh mengusulkan empat alternatif kebijakan upah minimum 2026. Alternatif pertama adalah menetapkan kenaikan upah minimum secara tunggal sebesar 6,5 persen, sebagaimana ditetapkan Presiden Prabowo tahun lalu. Menurut Iqbal, angka makro ekonomi antara tahun lalu dan tahun ini tidak jauh berbeda, sehingga angka tersebut konsisten dan dapat dipertahankan.
Alternatif kedua adalah menetapkan kenaikan dengan rentang 6 sampai 7 persen, yang dinilai masih mempertimbangkan keberatan pengusaha. Alternatif ketiga menggunakan rentang yang lebih sempit, yakni 6,5 hingga 6,8 persen, mengikuti arah pemikiran Presiden yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga daya beli.
Sementara itu, alternatif keempat diterapkan apabila pemerintah tetap ingin menggunakan formula alpha; dalam hal ini KSPI menegaskan bahwa nilai alpha yang wajar adalah antara 0,7 hingga 0,9, bukan 0,3 hingga 0,8 seperti rancangan pemerintah.
Menanggapi narasi yang selalu diulang pemerintah dan pengusaha bahwa kenaikan upah minimum akan memicu PHK, Said Iqbal menyebutnya sebagai kebohongan.
“Itu bohong! Tidak ada satu pun di dunia ini kenaikan upah minimum menyebabkan PHK,” ujarnya tegas.
Berdasarkan data PHK 2024–2025, penyebab PHK justru karena turunnya daya beli akibat upah tidak pernah naik selama hampir satu dekade. Ketika daya beli turun, produksi menurun dan pabrik mengurangi tenaga kerja. Penyebab kedua adalah regulasi yang salah, seperti Permendag 8/2024 yang memungkinkan banjirnya impor tekstil dan garmen murah dari Cina, menyebabkan pabrik dalam negeri kalah bersaing dan tutup.
Iqbal menjelaskan bahwa justru kenaikan upah yang layak akan meningkatkan konsumsi, mendorong produksi, dan memicu perekrutan tenaga kerja baru di berbagai sektor, mulai dari pabrik baju hingga pemasok benang dan kain. Dengan demikian, alasan PHK akibat kenaikan upah sepenuhnya tidak berdasar.
KSPI, Partai Buruh, dan 72 organisasi dalam Koalisi Serikat Pekerja menyatakan siap melakukan aksi besar jika pemerintah tetap memaksakan RPP Pengupahan dan menetapkan kenaikan upah sebesar 4,3 persen pada 8 Desember 2025. Aksi akan dimulai sehari sebelumnya, pada 7 Desember, dan berlanjut setelah pengumuman. Iqbal menyebut bahwa seluruh aksi akan berlangsung damai dan tertib, tetapi dilakukan secara meluas di seluruh Indonesia. Bahkan mogok nasional dengan melibatkan lima juta buruh akan dipertimbangkan bila pemerintah tetap bersikeras. “Bila perlu mogok nasional—lima juta buruh stop produksi,” ujarnya. (Azwar)
