Iklan

Pengamat: Pemerintah "ABAI" Melindungi PBPU, PMI dan Jakon

warta pembaruan
15 Juli 2021 | 9:35 PM WIB Last Updated 2021-07-16T10:06:58Z
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - PP No. 37 Tahun 2021 membatasi peserta aktif yang mengalami PHK untuk mendapatkan manfaat yaitu peserta yang mengundukan diri, PKWT jatuh tempo, meninggal, cacat total tidak mampu bekerja lagi, dan pensiun tidak mendapatkan manfaat JKP. Padahal mereka selagi bekerja membayar iuran, dan iuran JKK dan JKm-nya direkomposisi diserahkan ke program JKP.



Selagi mereka bekerja, Pemerintah membayarkan iuran JKP nya yaitu 0,22 persen. Iuran dibayarkan Pemerintah dari APBN tapi ketika mereka mengalami PHK mereka tidak dapat manfaat. Ini artinya ada inefisiensi iuran yang dibayarkan Pemerintah karena tidak memberi manfaat kepada mereka.



Pernyataan ini diungkapkan oleh Timboel Siregar, Pengamat Ketenagakerjaan dan Aktivis Buruh serta Sekjen OPSI di Jakarta, Kamis (15/7/2021) menanggapi Acara Ngobrol @ Tempo, FGD ILO secara virtual, Rabu (14/7/2021).



Disebutnya, pembatasan peserta aktif untuk mendapatkan manfaat JKP ini tentunya bertentangan dengan isi Pasal 16 UU SJSN yang menyatakan setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti.



Dengan dimudahkannya pelaksanaan Pasal 59 dan Pasal 66 di UU Cipta Kerja maka pekerja PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) akan semakin banyak. Pekerja PKWT tersebut menjadi peserta aktif tetapi ketika PKWT nya jatuh tempo mereka tidak dapat manfaat.



"Sebenarnya justru pekerja PKWT ini yang wajib dibantu karena mereka adalah kelompok pekerja yang butuh bantuan uang tunai (umumnya mereka dapat upah sebatas UMP/K sehingga tidak punya tabungan cukup), dan mereka pun adalah kelompok pekerja yang butuh pelatihan dan informasi pasar kerja," ucapnya.



Kemudian, lanjut Timboel, Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan: Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.



"Amanat Pasal 28 H ayat (3) tersebut “disandera” oleh Pemerintah sehingga terjadi pembatasan akses kepesertaan JKP kepada pekerja informal (PBPU), Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan Pekerja Jasa Konstruksi (Jakon) yang juga menjadi peserta di BPJS Ketenagakerjaan," paparnya.



Ditambahkannya, Pemerintah masih belum mampu menciptakan regulasi yang fokus melindungi pekerja PBPU, PMI dan Pekerja Jakon. Program JKP pun dijauhkan dari mereka. Demikian juga ketika ada program BSU tahun lalu yang nilainya Rp.29,76 Triliun, itu pun diberikan hanya kepada pekerja formal, tidak diberikan kepada PBPU, PMI dan Jakon. Padahal jumlah mereka sangat besar dibandingkan pekerja formal, dan kontribusi mereka terhadap ekonomi Indonesia pun besar.



"Pemerintah hanya mampu melindungi pekerja formal saja dan "ABAI" melindungi PBPU, PMI dan Jakon," kata Timboel.



Timboel juga mengungkapkan, sistem pelatihan di Indonesia masih belum terintegrasi. "Kartu Prakerja dikelola Manajemen Kartu Prakerja, manfaat pelatihan JKP dikerjakan oleh Kemnaker, pelatihan vokasional di kementerian lainnya pun ada," ungkapan Timboel.



Ke depan sebaiknya pelatihan vokasional diintegrasikan di satu badan (Badan Pelatihan Vokasional) sama seperti Badan Riset Nasional. Kementerian Ketenagakerjaan tidak perlu melakukan pelatihan lagi, serahkan ke Badan Pelatihan Vokasional tersebut. Kemnaker hanya sebagai regulator saja, pungkas Timboel Siregar. (Azwar)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pengamat: Pemerintah "ABAI" Melindungi PBPU, PMI dan Jakon

Trending Now

Iklan