Iklan

FGD Moderasi Beragama; Tren Aksi Teror Di Wilayah Jawa Barat Alami Penurunan

warta pembaruan
06 September 2022 | 4:16 PM WIB Last Updated 2022-09-06T09:16:38Z


JAKARTA, Wartapembaruan.co.id - Tren aksi teror di wilayah Jawa Barat diklaim mengalami penurunan signifikan selama lima tahun terakhir ini. Bandingkan dengan grafik penanganan terorisme sebelum tahun 2018.

Kasatgaswil Jabar Densus 88 AT Polri, KBP H. Djoni Djuhana mencatat sepanjang tahun 2016-2017, penangkapan teroris mencapai 1.300-an orang.

"2018, aksi teror di Jabar terakhir terjadi di Indramayu," ujar Djoni dalam FGD Moderasi Beragama: Memetakan Persoalan Radikalisme di Jawa Barat, di Kota Bandung, yang diselenggarakan Vox Point Jawa Barat beberapa waktu lalu, Sabtu (3/9).

Oleh karena itu, Densus 88 saat ini menerapkan preventive justice terhadap napi pelaku teror dengan harapan bisa menghilangkan paham radikalisme dan ideologi terorisme dari lingkungan masyarakat.

Selain itu, lanjut Djoni, Densus juga menerapkan strategi kontra radikalisasi, baik itu kontra ideologi dengan menyanyikan lagu-lagu nasional, kontra propaganda maupun kontra narasi yang mengarah pada kebencian agama, terutama di dunia maya. Karena sebaran paham intoleransi dan radikalisme itu lebih banyak didominasi melalui dunia maya.

Stafsus Kementerian Agama, Zaman Nurzaman berpendapat semua umat beragama memiliki potensi melakukan kekerasan bagi kebebasan beragama. Sehingga diperlukan moderasi beragama.

"Moderasi beragama bukan hanya untuk umat beragama mayoritas tapi juga umat beragama di daerah-daerah yang menolak NKRI," ujar Zaman.

Di sisi lain, ia melihat rumusan RKUHP juga belum memasukkan ideologi ekstrim kanan sebagai hal yang harus diwaspadai. Zaman mencontohkan Hizbrur Tahrir Indonesia (HTI) yang punya banyak track record melakukan kudeta di beberapa negara timur tengah.

"Persoalan radikalisme dan terorisme menjadi persoalan bangsa dan bukan hanya persoalan umat Islam," tegasnya.

Lebih lanjut, Zaman menambahkan tahun 2024 diharapkan tidak ada lagi kampanye politik identitas.

Ketua Komisi HAK keuskupan Bandung, Romo Agus mengatakan, di setiap keusukupan dan KWI ada komisi HAK (hubungan antar-agama dan kepercayaan). Tugas komisi ini merajut kebangsaan dan merawat Indonesia.

"Dalam ajaran gereja (berdasar dokumen-dokumen gereja) sangat menghargai keberadaan agama-agama," ucap Romo Agus.

Sementara itu, Ketua Studi Pancasila Universitas Parayangan  (Unpar), Andreas Doweng Bolo menjelaskan sejarah lahirnya Unpar.

"Unpar memilih tanggal 17 Januari sebagai hari lahir karena dari awal sudah mendukung semangat kebangsaan dan NKRI," tutur Andreas.

UNPAR, lanjut dia, mulai bisa menerbitkan ijazah secara otonom sejak tahun 1961 yang langsung diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Menurut dia, toleransi sebetulnya masih banyak ditemukan di masyarakat akar rumput. Hal ini berdasarkan pengalaman kunjungannya bersama mahasiswa ke daerah-daerah.

Pendidikan bukan hanya persoalan menalar saja karena manusia harus bertahan hidup, manusia mengontrol nafsu, dan mengejawantahkan budaya.

"Persoalan radikalisme dan merawat kebangsaan adalah tanggungjawab kita bersama sebagai seluruh bangsa dengan penguatan civil society," terangnya.

Perwakilan adat budaya Sunda, Hari Mulya Subagja melihat masyarakat mudah terperdaya oleh propaganda elit politik yang seolah-olah  pemilik negara saja. Kemudian terjadi pengkhianatan budaya, ajaran, amanat dan para leluhur bangsa juga pendiri bangsa.

Sehingga, Hari berpendapat harus ada evaluasi persoalan budaya-budaya dan sosial yang berkaitan dengan situasi dan kondisi radikalisme.

"Kita harus berbicara sebagai satu bangsa bukan membawa identitas keagamaan, politik, dan lain-lain. Indonesia kehilangan perasaan dan senasib sebagai satu bangsa," ujarnya.

Persoalan bangsa ini, menurutnya, juga berkaitan dengan identitas kebangsaan dan budaya yang mulai luntur.

Perwakilan PGWI Jabar, Pdt. Paulus menilai persoalan radikalisme ini tidak sederhana karena sehari-hari menyaksikan seolah baik-baik saja tetapi sebetulnya seperti api dalam sekam.

"Orang yang tampak santun dan agamis ternyata adalah pelaku kekerasan, korupsi, dan kejahatan lainnya, seperti ada terpecahnya kepribadian bangsa," ucapnya.

Selain itu, kata dia, kurang tegas dan berfungsinya penegakan hukum di Indonesia yang masih tebang pilih.

"Ada kecenderungan agama bisa menjadi sesuatu yang mengadiksi," imbuhnya.

Mohammad, perwakilan dari GP Ansor Kota Bandung menyampaikan, Pemuda Ansor sedang fokus pada pendidikan moderasi beragama.

Ia menyebut salah satu alasan radikalisme tumbuh subur di Jabar terutama di kota Bandung karena ada bentuk 'pemeliharaan' oleh para elit politik.

"Dengan adanya identitas politik menjadi hal yang paling 'murah' untuk bisa dijual dalam ajang perpolitikan salah satunya dengan intoleransi," terangnya.

"Jadi perlu juga menilik persoalan radikalisme dari para elit politik," sambung Mohammad.

Ia mengingatkan, Kota Bandung punya banyak catatan kelam dalam hal intoleransi.

Parisada Hindu Dharma Jabar, Yeni Ernita Kusumawardani merujuk pidato Bung Karno bawa persoalan lebih sulit melawan bangsa sendiri.

"Hari-hari jni demikianlah yang terjadi," ucap Yeni.

Ia mengatakan, banyak persoalan sederhana yang dapat ditilik menjadi salah satu penyebab paham radikal mudah mengakar di masyarakat Indonesia.

"Contoh dari persoalan tidak mengenal lagu kebangsaan dengan baik, kurangnya kebanggaan dan kecintaan terhadap negara dan bangsa Indonesia," urai Yeni.

Kurangnya akses keadilan di masyarakat yang kemudian mudah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal menjadi sorotan perwakilan dari ITB, Epin Saepudin.

"Kepercayaan terhadap pemerintah yang harus lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif," kata Epin.

Di samping itu pula perlunya penguatan edukasi moderasi beragama dari keluarga,  internalisasi nilai-nilai keberagaman.

"Yang harus dimoderasi adalah cara pandang agamanya, dalam konteks beragama dan bermasyarakat," tambahnya.

Perwakilan dari UPI, Ganjar M. Ganeswara menegaskan, Pancasila harus menjadi ukuran kebangsaan dalam kehidupan beragama dan berbangsa melalui pendidikan moral, pendidikan politik, hukum, dan ideologi (civic education).

Penghayat Budidaya, Engkus mengungkapkan, intoleransi bukan budaya masyarakat Sunda, tetapi karakternya berharmoni.

Engkus menceritakan, sejarahnya semua agama dari luar nusantara dirangkul dan diterima dengan baik oleh masyarakat nusantara. Namun, orang Sunda terlalu banyak mengalah oleh gerakan radikal yang lebih agresif.

"Sejak dulu masyarakat nusantara sudah beragama dengan bijak kemudian menjadi berubah secara radikal karena adanya kebijakan pemerintahan kolonial dan kemudian diadopsi oleh elit politik," kata Engkus.

Budaya asli masyarakat adat juga dianggap rendah dan digantikan oleh budaya agama.
Dalam pertanyaan sikap, forum ini mendukung kerja-kerja pemerintah dalam memajukan dan membangun jejaring  demi menguatkan moderasi beragama di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat pada khususnya.

Forum ini juga mendorong agar ruang publik Indonesia pada umumnya dan Jawa Barat pada khususnya berorientasi pada keterbukaan bagi semua warga masyarakat yang beragama agama, suku, budaya dan sebagainya.

Forum ini juga berkomitmen terus mengisi ruang publik faktual dan virtual dengan narasi agama yang damai, saling menguatkan, dan menjaga harmoni antar agama di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat pada khususnya.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • FGD Moderasi Beragama; Tren Aksi Teror Di Wilayah Jawa Barat Alami Penurunan

Trending Now

Iklan