Iklan

Mahkamah Konstitusi Tidak Memiliki Kewenangan Untuk Menguji Undang-Undang Pemilu (Sistem Proporsional Terbuka)

warta pembaruan
29 Mei 2023 | 4:07 PM WIB Last Updated 2023-05-29T09:07:07Z


OPINI, WARTAPEMBARUAN.CO.ID
- Polemik terhadap eksistensi sistem proporsional terbuka terus bergulir, eskalasi perdebatan terhadap sistem tersebut semakin memanas sejak didaftarkannya permohonan uji materiil Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono, yang terdaftar dengan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.

Dalam sidang permohonan tersebut, Prof. Yusril ihza Mahendra yang mewakili Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai Pihak Terkait dalam Permohonan pengujian UU Pemilu tersebut, menyampaikan “pergeseran hak untuk menempatkan kandidat dari partai politik kepada kuantitas suara terbanyak ini jelas bertentangan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UU NRI 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU 1945 telah menegaskan kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu tidaklah dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia melainkan dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh UUD yakni oleh ketentuan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dilakukan oleh partai politik melalui kepesertaannya di pemilu untuk memilih DPR, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden”, kemudian disampaikan “Dengan ditegaskan partai politik pemain utama peserta dalam pemilihan umum maka ketika jumlah suara yang diperoleh telah mencukupi syarat untuk itu maka sudah selayaknya partai politik diberikan peran signifikan untuk menentukan kandidat mana yang akan ditentukan duduk di post jabatan terpilih”.

Sekjen SOKSI dan Ketua KNPI, Dr. Ilyas Indra mengatakan tidak keliru apa yang disampaikan oleh Prof Ihza mahendra, namun kita semua harus mempertimbangkan segala aspek tidak secara yuridische gedect, secara historical Sistem pemilu dengan proporsiona terbuka yang berlaku saat ini merupakan refleksi terhadap praktek monopoli dalam sistem pemilu yang dijalankan pada masa rezim orde baru atau sebagai trauma penerapan sistem pemilu yaitu sistem proporsional tertutup yang mempunyai banyak sekali kelemahan dalam prakteknya, satu dan yang paling menonjol adalah rezim berkuasa pada masa orde baru menegasikan partisipasi publik yang besar dan menciptakan gap antara rakyat sebagai pemilih dan wakil rakyat, sistem ini proporsional tertutup ini mengandung banyak kelemahan karena akan menciptakan suatu keadaan pasca pemilu sering kali menjadi ajang kekecewaan publik yang tidak bisa disalurkan melalui kritikan sebagaimana yang dirasakan pada saat dan setelah reformasi.

Karena itu, Dr. Ilyas Indra menyampaikan, sebagai sebuah sistem, proporsional terbuka walaupun mempunyai plus dan minus yang dirasakan pada prakteknya, tentu hal itu, bisa dipahami sebagai hal yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya, karena memberikan peran serta masyarakat lebih sangat luas untuk mengawasi hak-hak mereka melalui pemilu, sistem proporsional tertutup telah membuat komunikasi politik tidak berjalan dengan baik dan kesempatan terpilihnya para calon sangat tidak adil, dan pasti krisis calon anggota legislatif tentu tidak bisa kita hindari, karena pasti dapat diprediksi siapa yang akan terpilih, berakibat akan terjadi minimnya peminat yang serius mau menjadi bagian dari kontestasi dalam calon Legislatif.

Bahwa apabila proporsional tertutup diterapkan, maka selain akan melahirkan suatu political setback dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam pelaksanaan sistem pemilu kita, juga akan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya masing-masing, mengabaikan tingkat legitimasi rakyat dalam menentukan pilihan calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.

Secara yuridis, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menguji UU Pemilu, sebab kewenangan hal tersebut merupakan yurisdiksi dari Dewan perwakilan Rakyat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 ayat (1) UU N0 17 Tahun 2014 tentang Dewan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan “DPR mempunyai fungsi : a) Legislasi; b) Anggaran; dan c) Pengawasan, kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (1) UU N0 17 Tahun 2014 tentang Dewan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, telah ditentukan “fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, sehingga berdasarkan hukum tersebut pasal tersebut di atas, lembaga negara yang memiliki kompetensi membentuk undang-undang adalah DPR bukan lembaga negara lain in casu Mahakam Konstitusi, akan tetapi DPR R.I.

Dr. Ilyas Indra melanjutkan, kewenangan DPR dalam membentuk Undang-undang dibahas bersama dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama, DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak terhadap Perppu yang diajukan Presiden untuk menjadi Undang-undang sebagaimana dalam ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Dewan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sehingga secara jelas dan tegas seharusnya dapat dipahami bahwa berdasarkan argumentasi hukum pada norma Pasal 69, 70, dan 71 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Dewan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tersebut di atas, yang mempunyai fungsi legislasi yang berwenang membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat.

Kemudian Dr. Ilyas Indra menyampaikan, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam membuat suatu pertimbangan hanya bisa menggunakan ayat (1) dan (2) Pasal 73 Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 yang sebenarnya telah memberikan suatu batasan dalam membuat suatu pertimbangan dan memutus perkara permohonan uji materiil terhadap UU Pemilu khususnya tentang Uji materil yang dimohonkan saat ini, adapun tentang ayat (3) Pasal 73 Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tidak bisa digunakan, sebab ayat (3) tersebut telah berstatus quo sejak adanya perkara Permohonan Uji Materil yang diajukan pada tanggal 05 Mei 2023 oleh seorang Bacaleg ke Mahakamah Agung R.I. atas ayat (3) Pasal 73 Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021.


Penulis : Dr. Ilyas Indra, SH., MH (Sekjen Depinas SOKSI/Ketua Umum Perkumpulan Pengacara Syariah dan Hukum Indonesia)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mahkamah Konstitusi Tidak Memiliki Kewenangan Untuk Menguji Undang-Undang Pemilu (Sistem Proporsional Terbuka)

Trending Now

Iklan