Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Dalam kenyataannya, setiap hukum, bahkan yang paling formal sekalipun, beroperasi dalam horizon moral yang tidak pernah sepenuhnya dapat dinafikan,(Senin,26 Mey 2025).
“Even if law has internal standards of merit-virtues uniquely its own that inhere in its law-like character-these cannot preclude or displace its assessment on independent criteria of justice.”
Leslie Green & Thomas Adams (“Legal Positivism”).
Salah satu upaya untuk memetakan ulang hukum ke dalam khazanah ilmu pengetahuan adalah dengan mendudukkannya sebagai bagian dari sains. Kajian saintifik selalu berangkat dari fenomena empirik. Apapun yang bisa dipersepsi secara sensorik oleh manusia lewat panca indranya dianggap sah sebagai pengetahuan sejati (Wilson, 2012).
Setidaknya, itu adalah prinsip dasar empirisisme, mazhab pemikiran filosofis yang berkembang pesat di Abad ke-16. Gagasan ini kemudian diangkat oleh filsuf yang banyak memberikan sumbangan pada filsafat hukum, Jeremy Bentham.
Bagi Bentham, moralitas perlu diletakkan sebagai “variabel” dan bukan “konstanta”. Variabilitas persepsi manusia tentang moral menjadi sangat relatif. Bentham berpendapat bahwa alih-alih mencari inti dari ide dasar tentang kebaikan, yang baik lebih baik diserahkan pada kehendak publik (Bentham, 1823[2000]).
Relativisme Bentham kemudian diperbaiki oleh H.L.A. Hart dengan mencari kesepakatan tak tertulis (rule of recognition) sebagai asal-muasal hukum (Hart, 1961). Singkatnya, jika negara x memiliki otoritas yang disepakati setiap warga negara dalam sebuah pemahaman ideologis, maka kesepakatan itu menjadi dasar dari otoritas untuk mengonstruksi hukum.
Sebagai ilustrasi, di jalan raya kita selalu melihat rambu lalu-lintas yang menyatakan batas kecepatan. Bila kita telisik lebih lanjut, batas kecepatan 40 atau 60 kilometer per jam, semestinya didasarkan pada ilmu fisika, statistik, dan mungkin psikologi. Keselamatan pada dasarnya bersifat saintifik, namun seberapa cepat pengendara di jalan raya bisa melaju sifatnya normatif. Kita bisa mengajukan argumen sanggahan tentang angka yang tertera dalam rambu.
Mungkin bila dihitung secara akurat dalam fisika dan statistik, batas terbaik untuk meminimalisasi risiko kecelakaan adalah 51,57 kilometer per jam. Argumentasi ini menunjukkan, sekalipun secara faktual keselamatan adalah persoalan akurasi, namun sebagai sebuah aturan lalu-lintas sifatnya mitigatif. Pengendara yang laju kendaraannya 63 kilometer per jam pun mesti diingatkan untuk bergerak lebih lambat 3 kilometer bila batas normatifnya 60 km per jam, meskipun perbedaan risiko kecelakaannya tidak signifikan. Bila kita berada di jalan raya, maka mempertanyakan legitimasi rambu lalu-lintas adalah kekeliruan.
Hukum sebagai Otoritas Pemandu
Ilustrasi dalam paragraf di atas adalah inti dari pemikiran Joseph Raz tentang hakikat hukum. Raz adalah filsuf hukum Inggris generasi lanjutan dari Hart yang berusaha untuk memperbaiki celah argumentasi gurunya. Hart memang telah menjelaskan “apa itu hukum”, tetapi tidak cukup rinci untuk mengelaborasi pertanyaan “mengapa kita perlu mematuhi hukum”.
Bagi Raz, tepat pada saat seseorang di jalan raya, ia dibantu oleh aturan untuk memahami makna dari keselamatan berkendara. Karakter otoritatif ini menurut Raz inheren dengan legitimasi.
Tentang legitimasi, kita dapat mengacu pada gagasan Max Weber yang mengatakan bahwa “the basis of every system of authority, and correspondingly of every kind of willingness to obey, is a belief, a belief by virtue of which persons exercising authority are lent prestige” (Dasar dari setiap sistem kewenangan, dan dengan demikian juga dari setiap bentuk kesediaan untuk menaati, adalah kepercayaan, yaitu kepercayaan yang didasarkan atas hakikat bahwa orang-orang yang menjalankan kewenangan tersebut memiliki kewibawaan) (Weber 1964: 382). Weber menyebut ciri demikian sebagai Legitimitätsglaube, atau secara harfiah “kepercayaan yang dilegitimasi”.
Raz dalam The Authority of Law: Essays on Law and Morality (1979), mengidentifikasi tiga dasar dari karakter hukum sebagai “rambu” kehidupan bermasyarakat: (1) Normal Justification Thesis, (2) Dependence Thesis, dan (3) Pre-emption Thesis. Untuk yang pertama, seseorang akan memiliki kepercayaan mutlak bila otoritas yang diacu memiliki kepakaran atau keterampilan tertentu.
Sebagai ilustrasi, seorang pasien akan mematuhi dokter yang memberinya resep obat karena kemampuannya dalam ilmu biologi dan kimia. Tesis kedua diarahkan pada otoritas yang dianggap mumpuni sekalipun sifatnya impersonal terhadap subjek dari peraturan tersebut. Mematuhi rambu lalu lintas di jalan raya adalah contoh kepercayaan terhadap ilmu statistik yang mengkaji riwayat kecelakaan di jalan raya.
Tesis terakhir berbicara tentang reliabilitas: acuan menjadi otoritatif karena memberikan probabilitas yang lebih tinggi dari berbagai alternatif. Contohnya, kita cenderung memilih jalur yang disarankan oleh GPS (Global Positioning System, seperti Google Maps) sekalipun kita tahu dari titik A ke B ada belasan rute alternatif.
Hukum, dalam pemikiran Raz, adalah instrumen pengejawantah dari berbagai sistem kepakaran. Raz mengatakan: “The law is an open normative system. It is a system of authoritative directives, but it does not exhaust the normative reasons that apply in a society. It leaves space for other reasons, moral and social, and its authority is limited to the extent that it excludes or pre-empts those other reasons” (Hukum adalah suatu sistem normatif yang terbuka. Ia merupakan suatu sistem yang terdiri dari arahan-arahan yang bersifat otoritatif, tetapi ia tidak menghabiskan seluruh alasan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hukum menyisakan ruang bagi alasan-alasan lain, baik yang bersifat moral maupun sosial, dan kewenangannya dibatasi sejauh ia meniadakan atau mengesampingkan alasan-alasan tersebut) (Raz, 1975 [1990]:152-154).
Mempertanyakan hukum dalam garis pemikiran Raz seperti seorang pasien yang terbaring sakit di ruang gawat darurat dan mempersoalkan alasan selang oksigen dan infus yang diterapkan padanya.
Problematika Saintifikasi Moralitas
Kepercayaan adalah elemen fundamental dalam sains. Filsuf Plato dalam Theaetetus (§201c–210d) mengatakan, mengetahui (gnoti/cognoscere dalam bahasa Yunani dan Latin) melibatkan tiga elemen: memercayai, meyakini bahwa yang dipercayai benar adanya, dan memiliki justifikasi atas apa yang dipercayai. Persoalan saintifik adalah masalah justified-true belief atau “memercayai sesuatu yang dijustifikasi sebagai benar adanya” (Gettier, 1963).
Bila moralitas menjadi objek saintifik, secara Razian positivisme ekslusif dalam hukum mendudukkan formalisme sebagai “konstanta” dan memvariabelkan kepercayaan akan justifikasi moral. Dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikenal dengan nama Simón, Mahkamah Agung Argentina menjatuhkan putusan yang memungkinkan proses peradilan terhadap mereka yang terlibat dalam pembantaian di “Dirty War”, dari 1976 hingga 1983 (Bakker, 2005:1107-1120).
Kasus itu, di satu sisi dapat dilihat sebagai justifikasi argumen Raz bahwa pengadilan dapat menyimpangi aturan amnesti terhadap mereka yang terlibat dalam tindak kejahatan kemanusiaan tersebut. Analoginya, kesalahan terapi yang diberikan oleh dokter umum dapat dikoreksi dengan mengacu pada terapi dari dokter spesialis. Dokter umum tidak perlu mengambil keputusan di luar pertimbangan medis (misalnya dengan terapi alternatif). Tindakan keduanya ada di jalur pengobatan modern. Inilah moralitas saintifik yang diajukan oleh Raz.
Pengkaji hukum Leslie Green dan Thomas Adams dari Universitas Oxford berpendapat lain. Menurut mereka, Raz justru mengukuhkan ketidakterpisahan antara hukum dan moralitas. Argumen Raz bahwa hukum dan moralitas dapat dipisahkan seperti saat kita memisahkan antara peneliti dan objek eksperimen adalah sebuah kerancuan.
Jika hukum menuntut dampak moral (Raz, 1994), Green dan Adams menyimpulka, moralitas adalah syarat perlu (necessary) dari hukum. Keduanya bahkan mengatakan bahwa dari argumen Raz dan pemikir yang segaris dengannya tidak memenuhi syarat infalibilitas, separabilitas, dan netralitas (Green & Adams, 2019).
Sederhananya, bila hukum hanya konsekuensi dari sistem-termasuk gejala alam dan hal apapun yang tidak berkaitan dengan moral, maka kecenderungan hukum untuk terus berada di koridor moralitas mematahkan fondasi dari argumen Positivisme Legal manapun.
Dengan demikian, penelusuran di atas menunjukkan bahwa proyek menyaintifikkan hukum dengan membacanya sebagai jaringan aturan otoritatif yang sekaligus terbuka bagi koreksi moral masih menyisakan ketegangan antara kebutuhan akan kepastian normatif dan tuntutan legitimasi etis.
Raz menawarkan jalan tengah: hukum memperoleh kewibawaannya sebagai instrumen antara, tetapi hanya sejauh ia mampu mempertahankan kejelasan sumber dan fungsi pre-emptifnya. Argumennya memaksa kita mengakui bahwa, sama seperti rambu lalu-lintas atau resep dokter, aturan positif layak ditaati bukan karena kesempurnaan moralnya, melainkan karena ia memudahkan warga bertindak selaras dengan alasan-alasan yang sudah sewajarnya mereka ikuti.
Namun dalam kenyataannya, setiap hukum, bahkan yang paling formal sekalipun, beroperasi dalam horizon moral yang tidak pernah sepenuhnya dapat dinafikan.
Penulis: Muhammad Afif