Jakarta , Wartapembaruan.co.id – Warga dibuat bingung dengan keputusan Kepala Satuan Pelaksana (Kasatpel) Bina Marga Kecamatan Matraman, Nessy Octavia yang menolak permintaan pengaspalan tambahan pada ruas kecil yang rusak.
Penolakan ini muncul meski proyek pengaspalan sedang berjalan. Warga, bahkan pemilik tanah melalui ketua RT, Shendy Marwan, mengajukan permohonan kepada petugas agar pengerjaan di lebarkan sedikit pada dataran yang rusak agar tampak rapih. Namun sang petugas menolak dengan dalih akan dimiliki Pemda.
Padahal, secara teknis pengerjaan lanjutan tidak membutuhkan mobilisasi tambahan, bahkan material dan alat sudah tersedia di lokasi
“Tidak bisa, karena ini bukan jalan umum, kalau diaspal tanahnya jadi milik Pemda,” ucap sang petugas pengaspalan yang mengaku dari vendor Solusi, hari Selasa sore (19/5).
Dia juga memastikan bahwa Kasatpel menolak, karena tidak masuk rencana awal. Meskipun yang diminta sebenarnya masih satu jalur dan sebagian kecil ruas.
Nessy, Kasatpel kecamatan Matraman bersama petugas Bina Marga, didampingi pihak kelurahan Pisangan Baru akhirnya ke lokasi yang berada di RT.1 RW.12, alih-alih mengklarifikasi ucapan sang petugas.
Nessy menjelaskan bahwasanya jika tanah diaspal, maka harga tanah akan turun dan susah untuk dijual bahkan akan bermasalah di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Meskipun sang pemilik tanah menyatakan itu bukan urusan mereka.
“Kalau secara jalan di lingkungan, semua yang teraspal itu, semua 'Kep D' nya pasti punya Pemda. Kalau aset tanahnya memang milik warga, hanya saja akan sulit ketika dijual jika pernah diaspal. Khawatirnya jadi masalah,” ujarnya menyinggung BPN.
Namun ketika diingatkan tentang sertifikat yang menunjukkan luas tanah, sah berkekuatan hukum. Dirinya berdalih terbalik bahwa tidak ada masalah dengan BPN.
Karena mekanisme dan aturan 'kaku' yang dianut olehnya. Bahwa pengaspalan harus lurus sejajar meskipun sudah di ukur. Jabatan sebagai Kasatpel juga diduga menjadikan dirinya tidak ingin mendengar dan diminta penjelasan.
“Warga tidak minta saja, sekarang saya lakukan pengaspalan sesuai dengan usia jalan,” ucapnya angkuh, tidak menyadari bahwa bahan material itu dibeli dari uang rakyat, bukan uang pribadinya.
Diketahui, padahal dirinya melakukan pembiaran atas lahan yang beraspal namun peruntukannya tidak digunakan sebagaimana mestinya. Bahkan dia memastikan bahwa yang dihadapannya adalah ketua RT baru.
“Oh ketua RT baru, pantesan,” ucapnya mengundang tanda tanya serius tentang birokrasi yang bobrok di oknum pemerintahan.
Namun, pernyataan tersebut justru menimbulkan kebingungan di kalangan warga. Banyak yang menilai bahwa pendekatan teknokratis semacam ini kerap mengabaikan kondisi riil di lapangan.
Bahkan ketua RT menyampaikan kekecewaannya terhadap arogansi Kasatpel,
“Kami bukan minta jajan, hanya minta pengaspalan sedikit demi kemaslahatan warga. Harusnya bisa lebih fleksibel,” tegas ketua RT.1.
Berita ini diterbitkan demi keterbukaan publik. Ketua RT yang berada di tingkat terendah hanya menyampaikan permintaan. Jika ditolakpun ingin mendapat jawaban yang logis agar bisa disampaikan kepada warga yang sejatinya harus dilayani, bukan hanya sekadar dijadikan pendengar dan penonton tapi dibisukan.