Iklan

Peran Putusan Hakim, Mengatasi Polemik Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi

warta pembaruan
24 Mei 2025 | 2:14 PM WIB Last Updated 2025-05-24T07:14:24Z


DENPASAR, Wartapembaruan.co.id
-- Apakah dipandang patut dan adil  menurut hukum, Hakim dalam putusannya berwenang menjatuhkan hukuman tambahan, agar aset tindak pidana korupsi dirampas terlebih dahulu, meski terdakwa masih menggunakan upaya hukum, baik itu kasasi maupun PK demi menyelamatkan bangsa.

Ida Bagus Putu Madeg SH.,MH., selaku Praktisi Hukum, Hakim Tinggi Surabaya Purnatugas, sekaligus Ketua Gema Sadhana Bali meraih segudang penghargaan memaparkan, bahwa Putusan Hakim dapat  menjatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan aset tindak pidana korupsi terlebih dahulu, meski terdakwa masih menggunakan upaya hukum banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). 

Pentingnya memahami jenis hukuman pokok dan tambahan dalam putusan hakim perkara tindak pidana korupsi di Indonesia. 

Pidana Penjara

Hukuman penjara yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi dapat berupa penjara seumur hidup atau penjara sementara dengan jangka waktu tertentu. 

Hukuman Denda

Hukuman Denda dijatuhkan kepada terpidana korupsi berupa pembayaran sebagai hukuman.

Hukuman Tambahan

Terpidana korupsi dapat diwajibkan membayar uang pengganti atas kerugian yang ditimbulkan, akibat tindak pidana korupsi.

Perampasan Barang Bukti

Barang Bukti (BB) yang digunakan dalam tindak pidana korupsi dapat dirampas oleh negara.

Pencabutan Hak

Terpidana korupsi dapat dikenai pencabutan hak tertentu, seperti hak untuk memilih atau dipilih dalam Pemilihan Umum.

Penutupan Sementara atau Selalu. 

Usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh terpidana korupsi dapat ditutup sementara atau selamanya, 

Kemudian, Ida Bagus Putu Madeg, S.H.,M.H., menyebutkan hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi dapat berbeda-beda tergantung pada jenis dan tingkat keparahan tindak pidana korupsi yang dilakukan.

Barang apa saja dalam perkara tindak pidana korupsi yang bisa dirampas untuk Negara??? 

Dalam perkara tindak pidana korupsi, barang yang dapat dirampas untuk negara adalah:

Barang Bukti

Barang yang digunakan sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Hasil Korupsi. 

Barang atau uang yang diperoleh langsung dari tindak pidana korupsi.

Pengganti Hasil Korupsi.

Barang atau uang yang digunakan untuk mengganti hasil korupsi yang telah digunakan atau disembunyikan.

1.Uang tunai

2.Barang mewah (mobil, rumah, perhiasan, dll.)

3.Dokumen penting (akta, sertifikat, dll.)

4.Aset lainnya yang diperoleh dari hasil korupsi

Menurutnya, Perampasan Barang tersebut bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara dan mencegah terpidana korupsi menikmati hasil kejahatannya.

Lebih lanjut, dipaparkan, bahwa dalam hal ini, Hakim dalam putusan bisa memerintahkan, agar Barang Sitaan yang terbukti dalam Tindak Pidana korupsi dirampas untuk negara, kemudian dilakukan perampasan terlebih dahulu, walaupun putusan terhadap pidana pokoknya masih upaya hukum Banding atau Kasasi. 

"Ya, hakim dalam putusannya dapat memerintahkan perampasan barang sitaan yang terbukti dalam tindak pidana korupsi untuk negara, walaupun putusan terhadap pidana pokoknya masih dalam proses upaya hukum banding atau kasasi," terangnya. 

Disebutkan, pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Hakim dapat memerintahkan perampasan barang bukti atau hasil tindak pidana korupsi untuk negara.

Selain itu, Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan Perampasan barang bukti atau hasil tindak pidana korupsi dapat dilakukan sebelum putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Perampasan Barang Sitaan

Perampasan Barang Sitaan yang terbukti dalam tindak pidana korupsi untuk negara bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara, mencegah terpidana korupsi untuk menikmati hasil kejahatannya serta mengoptimalkan pemulihan aset negara. 

Meski demikian, perlu diingatkan, bahwa Perampasan Barang Sitaan harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan harus berdasarkan putusan hakim yang sah.

Menurutnya, instansi yang berwenang melaksanakan eksekusi perampasan aset barang sitaan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan lain-lain yang merugikan negara ialah:

1.Kejaksaan Agung Republik Indonesia: Kejaksaan Agung memiliki wewenang untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan terkait tindak pidana korupsi, termasuk perampasan aset.

2.Kejaksaan Tinggi. Kejaksaan Tinggi di setiap provinsi juga memiliki wewenang untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan terkait tindak pidana korupsi.

3.Kejaksaan Negeri. Kejaksaan Negeri di setiap kabupaten/kota dapat melaksanakan eksekusi putusan pengadilan terkait tindak pidana korupsi.

4.Badan Pemulihan Aset (BPA). BPA dibentuk untuk mengoptimalkan pemulihan aset negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi.

5.Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan dapat berperan dalam pemulihan aset negara melalui pengelolaan aset yang disita atau dirampas.

6.PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) PPATK dapat berperan dalam pemulihan aset negara melalui analisis transaksi keuangan yang mencurigakan.

Pasalnya, kerjasama antar instansi eksekusi Perampasan Aset Barang Sitaan tindak pidana korupsi, pencucian uang dan lain-lain yang merugikan negara, memerlukan kerja sama antar-instansi, seperti:

1.Kepolisian

2.Kejaksaan

3.Kementerian Keuangan

4.PPATK

5.BPA

Diuraikan lagi, bahwa kerjasama ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemulihan aset negara dan meningkatkan efektivitas penindakan tindak pidana korupsi.

Maka dari itu, apabila ada sengketa kewenangan antar instansi dan lelang aset tindak pidana dilakukan secara tidak wajar dan tidak masuk akal, maka penyelesaian secara hukum dapat dilakukan melalui beberapa cara:

1.Mediasi, sengketa kewenangan dapat diselesaikan melalui mediasi antar instansi yang bersengketa.

2.Koordinasi, instansi yang bersengketa dapat melakukan koordinasi untuk menyelesaikan sengketa kewenangan.

3.Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN): Sengketa kewenangan dapat diselesaikan melalui PTUN jika sengketa tersebut terkait dengan keputusan administratif.

Sementara itu, lanjutnya cara penyelesaian lelang aset yang tidak wajar bersinergi dengan 

1.Pengadilan, lelang aset yang tidak wajar dapat digugat ke pengadilan untuk meminta pembatalan lelang.

2.Bawas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas lelang aset.

3.KPK, Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan korupsi dalam lelang aset.

Adapun Upaya Hukum yang harus ditempuh:

1.Gugatan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta ganti rugi atau pembatalan lelang.

2.Kasasi, pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

3.Pengaduan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan pengaduan ke instansi yang berwenang, seperti Ombudsman atau KPK. 

Dengan demikian, penyelesaian secara hukum dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar instansi dan lelang aset yang tidak wajar.

Mengenai solusi, menurut hukum, jika ternyata DPR tetap menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang diajukan Pemerintah/Presiden?? 

Jika DPR menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang diajukan oleh Pemerintah/Presiden, maka solusi menurut hukum dapat dilakukan melalui beberapa cara:

1.Perundingan, Pemerintah dan DPR dapat melakukan perundingan untuk mencapai kesepakatan tentang RUU Perampasan Aset.

2.Revisi RUU. Pemerintah dan DPR dapat melakukan revisi RUU Perampasan Aset untuk mencapai kesepakatan.

3.Pengesahan melalui jalur lain. Jika DPR menolak RUU Perampasan Aset, Pemerintah dapat mengajukan RUU tersebut melalui jalur lain, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

1.Pengesahan Perppu. Presiden dapat mengesahkan Perppu tentang Perampasan Aset jika situasi darurat atau keadaan tertentu yang memerlukan penanganan segera.

2.Pembahasan di DPR. Perppu tentang Perampasan Aset harus dibahas di DPR dalam rapat paripurna berikutnya.

3.Pengesahan atau Penolakan. DPR dapat mengesahkan atau menolak Perppu tentang Perampasan Aset.

Apabila belum juga menemui titik terang masih ada upaya lainnya. 

1.Konsultasi publik. Pemerintah dan DPR dapat melakukan konsultasi publik untuk memperoleh masukan dan saran tentang RUU Perampasan Aset.

2.Kerjasama antar lembaga. Pemerintah dan DPR dapat melakukan kerja sama dengan lembaga lain, seperti KPK, untuk meningkatkan efektivitas perampasan aset.

Dengan demikian, solusi hukum dapat dilakukan untuk mengatasi penolakan DPR terhadap RUU Perampasan Aset.

Bagaimana jika terjadi penolan pengesahan PERPU oleh DPR??

Jika DPR masih alot menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perampasan Aset, diperlukan:

Konsekuensi Penolakan

1.Perppu tidak berlaku. Jika DPR menolak Perppu, maka Perppu tersebut tidak berlaku lagi.

2.Kehilangan Kekuatan Hukum. Perppu kehilangan kekuatan hukum dan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk perampasan aset, tambahnya.

Upaya Selanjutnya

1.Revisi Perppu. Pemerintah dapat melakukan revisi Perppu dan mengajukan kembali ke DPR untuk disahkan.

2.Pengajuan RUU baru. Pemerintah dapat mengajukan RUU baru tentang Perampasan Aset ke DPR untuk disahkan.

3.Mencari Solusi Lain. Pemerintah dan DPR dapat mencari solusi lain untuk meningkatkan efektivitas perampasan aset, seperti melalui peraturan pemerintah atau keputusan Presiden.

Implikasi

1.Kehilangan momentum. Penolakan Perppu dapat menyebabkan kehilangan momentum dalam upaya perampasan aset.

2.Dampak pada penindakan korupsi. Penolakan Perppu dapat mempengaruhi efektivitas penindakan korupsi dan perampasan aset.

Dengan demikian, penolakan Pengesahan Perppu oleh DPR dapat memiliki konsekuensi yang signifikan dan memerlukan upaya selanjutnya untuk mencapai tujuan perampasan aset.

Apakah dipandang patut dan adil menurut hukum, Hakim dalam putusannya berwenang menjatuhkan hukuman tambahan, agar aset tindak pidana korupsi dirampas terlebih dahulu, walaupun terdakwa masih menggunakan upaya hukum, baik itu Banding, Kasasi, maupun PK.

"Dengan demikian untuk menyelamatkan uang negara, Ya, menurut hukum, hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan aset tindak pidana korupsi terlebih dahulu, walaupun terdakwa masih menggunakan upaya hukum banding, kasasi, atau Peninjauan Kembali (PK)," paparnya. 

Dasar Hukum

1.Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Hakim dapat memerintahkan perampasan barang bukti atau hasil tindak pidana korupsi untuk negara, walaupun putusan belum berkekuatan hukum tetap.

2.Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Hakim dapat memerintahkan pelaksanaan putusan yang belum berkekuatan hukum tetap, termasuk perampasan aset.

Menurutnya, tujuan perampasan aset tindak pidana korupsi terlebih dahulu bertujuan:

1.Menjaga agar aset tidak disembunyikan atau dipindahkan: Perampasan aset dapat mencegah terdakwa menyembunyikan atau memindahkan aset yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

2.Mengoptimalkan pemulihan aset negara. Perampasan aset dapat membantu mengoptimalkan pemulihan aset negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi.

Upaya Hukum

Walaupun terdakwa masih menggunakan upaya hukum banding, kasasi, atau PK, perampasan aset dapat tetap dilaksanakan. Namun, jika putusan nantinya dibatalkan atau diubah, maka aset yang telah dirampas dapat dikembalikan kepada terdakwa.

Dengan demikian, Hakim memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan aset tindak pidana korupsi terlebih dahulu, walaupun terdakwa masih menggunakan upaya hukum.

"Kesimpulannya adalah untuk menyelamatkan asset negara akibat tindakan  korupsi, PPATK diperlukan Hakim yang tegas, berani, jujur menegakkan keadilan, guna pencegahan agar para Koruptor  jera, perlu tindakan tegas dengan Pidana Hukuman Mati, Hukuman Seumur Hidup atau terdakwa diasingkan dari keluarga dan masyarakat, atau tahanan  diasingkan di Pulau terpencil," tegas Ida Bagus Putu Madeg, S.H.,M.H.

Patut dihargai pimpinan Mahkamah Agung Prof.Dr.H.Sunarto.SH.,MH., (Ketua Mahkamah Agung), Suharto, S.H.,M.Hum., (Wakil Ketua Mahkamah Agung) dengan memutasi para hakim, khususnya Tindak Pidana Korupsi ke wilayah Pengadilan tindak pidana Korupsi melalui seleksi ketat tentang kejujuran, integritas,dan pengalaman yang dimiliki. 

"Dengan demikian,  semoga dapat mengembalikan citra dan martabat Peradilan yang bersih dan berwibawa. 

Namun demikian pentingnya pemerintah memperhatikan kesejahtraan para hakim," tambahnya.

Oleh karena itu, Ida Bagus Putu Madeg kembali mengingatkan terkait hukuman pokok yang memenuhi rasa keadilan.

1.Pidana Penjara. Hukuman penjara yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi dapat berupa penjara seumur hidup atau penjara sementara dengan jangka waktu tertentu.

2.Hukuman denda yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi berupa pembayaran sejumlah uang sebagai hukuman.

Hukuman Tambahan

1.Pembayaran Uang Pengganti. Terpidana korupsi dapat diwajibkan membayar uang pengganti atas kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi.

2.Perampasan Barang Bukti. Barang bukti yang digunakan dalam tindak pidana korupsi dapat dirampas oleh negara.

3.Pencabutan Hak. Terpidana korupsi dapat dikenai pencabutan hak tertentu, seperti hak untuk memilih atau dipilih dalam Pemilihan Umum.

4.Penutupan Sementara atau Selalu. Usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh terpidana korupsi dapat ditutup sementara atau selamanya.

"Hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi dapat berbeda-beda tergantung pada jenis dan tingkat keparahan tindak pidana korupsi yang dilakukan," tutupnya. ( tim/red).

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Peran Putusan Hakim, Mengatasi Polemik Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi

Trending Now

Iklan