BREAKING NEWS

Gubernur Jambi Leader atau Dealer? Menimbang Ulang Kepemimpinan Al Haris di Tengah Krisis Jambi


Oleh: Armando/ Menko Relasi dan Informasi BEM Universitas Jambi

OPINI, Wartapembaruan.co.id -- Ada saatnya rakyat tidak lagi membutuhkan janji baru. Yang dibutuhkan hanyalah satu hal: kejelasan. Apakah seorang pemimpin benar-benar sedang memimpin atau justru sedang memperdagangkan amanah?.”

Narasi perubahan selalu terdengar gagah di masa kampanye. Al Haris datang dengan janji: membangun Jambi yang lebih sejahtera, adil, dan merata. Ia menempatkan diri sebagai figur yang mengerti denyut rakyat kecil, mengusung semangat pelayanan dan integritas. Tapi setelah kekuasaan digenggam, setelah panggung politik berubah menjadi kursi eksekutif, satu pertanyaan muncul dengan lantang: apakah Gubernur Jambi benar-benar seorang pemimpin atau justru sekadar dealer politik yang pandai memainkan posisi dan proyek?

Pertanyaan ini bukan tuduhan, melainkan hasil dari keprihatinan bersama atas berbagai persoalan mendasar yang tak kunjung bisa terselesaikan secara serius. Salah satunya adalah konflik agraria yang terus meluas. Jambi tercatat sebagai salah satu dari empat provinsi dengan konflik agraria tertinggi di Indonesia. Masyarakat adat, petani, dan warga transmigrasi di berbagai kabupaten terus bersitegang dengan korporasi dan negara dalam soal klaim tanah. Sayangnya, peran aktif Pemerintah Provinsi untuk menjadi penengah hampir tak terlihat. Dalam banyak kasus, rakyat terpaksa turun ke jalan, mengadu sendiri ke kantor kementerian, bahkan menduduki instansi pemerintah, karena mereka merasa tak mendapat perlindungan di rumah sendiri.

Di tengah kompleksitas itu, tambang-tambang ekstraktif terus menjamur. Bukan hanya merusak lingkungan dan menggusur ruang hidup rakyat, aktivitas tambang baik legal maupun ilegal menjadi biang dari bencana ekologis tahunan: banjir, tanah longsor, hingga krisis air bersih. Pemerintah Provinsi di bawah Al Haris seolah tak memiliki sikap tegas dalam mengatur, mengawasi, apalagi menindak. Jika tak bisa disebut sebagai pembiaran, maka publik setidaknya berhak menilai ini sebagai bentuk kelemahan atau ketidaktegasan pemimpin dalam menghadapi kekuatan modal. Dan ketidaktegasan seperti ini bukan karakter pemimpin tapi ciri khas dealer yang menjaga kompromi.

Krisis lain yang mencoreng wajah pelayanan publik adalah kondisi RSUD Raden Mattaher rumah sakit rujukan utama di Provinsi Jambi. Dalam beberapa pekan terakhir, RS ini jadi buah bibir karena keluhan pasien, antrean yang tak manusiawi, dan dugaan penyimpangan tata kelola. Padahal ini bukan rumah sakit biasa, ini wajah dari komitmen Pemerintah Provinsi terhadap hak kesehatan rakyat. Jika di level tertinggi saja pelayanan kesehatan amburadul, bagaimana nasib layanan di desa dan kabupaten?

Gubernur Al Haris pernah menjanjikan pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas hingga ke pelosok. Namun hingga hari ini, yang terlihat justru ketimpangan dan ketidakberesan sistemik. Publik tidak menuntut kesempurnaan, tapi pantas kecewa saat tidak ada langkah pembenahan yang transparan dan tuntas.

Di sektor infrastruktur, wajah kegagalan terlihat jelas. Islamic Center yang molor, stadion olahraga yang terbengkalai, ruang terbuka hijau yang mangkrak. Semua menjadi monumen ketidaktegasan, bukan keberhasilan. Banyak dari proyek ini diumumkan dengan penuh gembar-gembor, tapi tidak dikawal sampai selesai. Dalam tradisi kepemimpinan yang sehat, proyek bukan soal seremoni tapi soal tanggung jawab.

Satu ironi lain yang tak bisa diabaikan adalah soal jalan khusus batu bara. Proyek ini dijanjikan sejak 2022 untuk mengurai kemacetan, mengurangi kerusakan jalan umum, dan memperbaiki tata kelola tambang. Namun sampai 2024, jalan ini tak kunjung rampung. Bahkan beberapa investor yang diberi izin membangun justru tak menunjukkan progres yang signifikan. Dalam beberapa forum, Gubernur terlihat hanya meminta agar pengusaha “lebih serius.” Tapi pertanyaannya: di mana otoritas seorang kepala daerah jika hanya bisa “meminta” tanpa bisa memaksa?

Gubernur bukan juru bicara investor. Jika investor tak mampu, maka sudah seharusnya izinnya dicabut, dan komitmennya dievaluasi. Ketika posisi eksekutif terlalu lunak terhadap modal, rakyat pantas bertanya: jabatan itu sedang digunakan untuk memimpin atau untuk menjaga hubungan dagang politik?

Di bidang pendidikan, cerita tak kalah menyedihkan. Sekolah-sekolah di pedalaman masih kekurangan guru, fasilitas rusak, dan anak-anak harus menempuh jarak jauh untuk belajar. Janji tentang pendidikan gratis dan bermutu seakan hanya jadi spanduk tanpa realisasi di akar rumput.

Lalu bagaimana dengan janji-janji lainnya? TPA Sungai Penuh tak kunjung selesai, penanganan banjir yang belum efektif, dan program UMKM yang tak menyentuh banyak warga. Semua ini dulu adalah komitmen kampanye. Kini, hanya menjadi jejak suara yang tertinggal di baliho.

Memang, kita tidak sedang menuduh Al Haris korup atau jahat. Tapi jabatan publik tidak perlu menunggu niat buruk untuk layak dikritik. Ketika pemimpin tak mampu menyelesaikan masalah pokok, membiarkan pelayanan publik memburuk, dan terlalu kompromi terhadap kepentingan elit itu adalah kegagalan memimpin.

Jambi butuh seorang pemimpin, bukan dealer yang lihai membagi-bagi proyek, menjaga relasi dengan investor, atau memainkan posisi untuk bertahan di kekuasaan. Rakyat tak sedang mencari penyelamat yang sempurna tapi butuh pemimpin yang hadir, tegas, dan berpihak.

Dan hari ini, rakyat Jambi bertanya, dengan suara yang makin lantang:

Apakah Gubernurnya sedang mengemban amanah atau sedang mengelola transaksi?

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image