SM Salah Satu Toko Sparepart Mobil Di Kota Jambi Diduga Jual Berbagai Merek Asli Isinya Palsu
Jambi, Wartapembaruan.co.id — Belum lama ini di Kalimantan kita semua dikejutkan dengan "Viralnya Berita oli Palsu di kemas di berbagai Merek Terkenal, seolah-olah Barang Asli" Namun untuk di Jambi produk tersebutpun banyak beredar namun APH sampai saat ini masih diam saja, diduga kordinasi masih lancar, Jum'at at, 4 Juli 2025.
Kini dikota Jambi di hebohkan dengan pemberitaan terdapat satu toko di duga menjual berbagai macam sparepart kendaraan roda empat dengan berbagai merk Asli tapi isinya " Palsu"
Di balik kemasan rapi dan berlogo resmi, tersembunyi kebohongan yang sistematis. Sparepart G-Box—istilah populer di kalangan otomotif bukan sekadar barang tiruan. Ia adalah simbol bagaimana kepalsuan bisa dijual dengan kemasan keaslian. Barang palsu, dibungkus manis dalam kotak asli, dijual seolah-olah suci dari cacat moral. Persis seperti korupsi berjubah pelayanan publik: terlihat profesional, tapi sesat secara etika.
Salah satu toko yang diduga ikut menari dalam pusaran ini adalah Toko Sari Motor, beralamat di Jalan Hos Cokro Aminoto, simpang Kawat, Kota Jambi. Omset bulanan? Milyaran. Status hukum? Bebas hambatan.
Seolah ada kekebalan yang tak tertulis, yang membuat mereka tak tersentuh aparat penegak hukum.
Ironisnya, di negeri yang katanya menjunjung supremasi hukum, yang berlaku justru seleksi hukum: tajam ke bawah, tumpul ke kasir.
Barang G-Box bukan soal dagangan murah, Ini soal keamanan jiwa, Sparepart palsu bisa merusak kendaraan, bahkan mengancam nyawa pengendara.
Tapi di tengah pembiaran dan sikap acuh regulator, konsumen terus dijadikan korban diam-diam. Hukum memang ada, tapi terlalu sibuk dicetak di buku ketimbang ditegakkan di lapangan.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) sebenarnya sudah tegas melarang peredaran barang tidak sesuai mutu dan standar. Disusul dengan UU Merek dan Indikasi Geografis (UU No. 20 Tahun 2016), yang memberikan sanksi pidana hingga 5 tahun penjara bagi penjual yang menyalahgunakan merek.
Tapi lagi-lagi, hukum di negeri ini lebih sering dipamerkan untuk pencitraan ketimbang dijalankan untuk keadilan.
Sanksinya jelas: denda, kurungan, bahkan pencabutan izin usaha. Tapi dalam praktiknya, penjual sparepart palsu lebih sering menikmati cuan ketimbang takut sanksi.
Ketika yang bersalah bisa terus berjualan, dan yang dirugikan hanya bisa pasrah, maka kita tak sedang hidup dalam hukum melainkan dalam simulasi keadilan.
Kerugian bukan hanya soal materi, Ini soal rusaknya ekosistem kepercayaan. Industri otomotif bisa kehilangan kredibilitas, konsumen kehilangan rasa aman, dan produsen resmi kehilangan pangsa pasar karena ulah segelintir pedagang nakal yang berlindung di balik lambang “original”. Keaslian jadi topeng, bukan jaminan.
Kepada masyarakat, satu hal yang perlu digarisbawahi: berhati-hatilah.
Di era ketika kebenaran bisa dicetak ulang dalam kotak kardus, yang tampak asli belum tentu benar. Konsultasikan sparepart ke bengkel resmi, bukan ke toko yang lebih lihai berdagang kemasan ketimbang kualitas. Dan kepada aparat, jika hukum tak sanggup menyentuh para pemain besar, maka rakyat hanya bisa menyimpulkan satu hal: hukum bukan untuk semua, tapi untuk yang tak punya toko.
Sumber: Jurnal1