Aksi Massa dan Fenomena "Penunggang Isu"
Oleh : Rizky Tarmasi (Pemerhati Politik & Keterbukaan Informasi Publik)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Dalam sistem demokrasi, aksi massa memiliki posisi penting sebagai sarana bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasi, mengawasi kebijakan, dan menyalurkan kritik terhadap kekuasaan.
Kehadiran massa di ruang publik tidak semata-mata dipandang sebagai kerumunan, melainkan sebagai ekspresi politik rakyat yang sah. Akan tetapi, dalam praktiknya, fenomena ini tidak selalu berjalan sesuai dengan tujuan awal.
Kita sering menyaksikan bagaimana sebuah aksi yang bermula damai dan teratur, tiba-tiba berubah menjadi ricuh. Ketegangan meningkat, fasilitas publik dirusak, dan fokus tuntutan mulai bergeser dari isu utama yang diangkat. Situasi inilah yang kemudian melahirkan dugaan adanya "penunggang isu", yakni pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan momentum aksi demi kepentingan politik, ekonomi, atau agenda tersembunyi lainnya.
Pola yang Berulang
Fenomena aksi yang ditunggangi bukanlah hal baru. Polanya relatif sama dan berulang.
Pertama, muncul sebuah isu besar yang menyentuh kepentingan rakyat banyak, misalnya kenaikan harga kebutuhan pokok, kebijakan kontroversial pemerintah, atau persoalan ketidakadilan sosial. Isu tersebut kemudian memicu mobilisasi massa.
Kedua, di tengah menguatnya konsolidasi rakyat, hadir pihak ketiga yang menyusup dengan membawa kepentingan lain.
Ketiga, arah gerakan pun perlahan bergeser: tuntutan tidak lagi murni, aksi tidak lagi fokus, dan kekerasan kerap muncul sebagai konsekuensinya.
Dalam kondisi ini, kerugian terbesar justru menimpa rakyat sendiri. Aspirasi yang seharusnya menjadi inti perjuangan kehilangan makna. Masyarakat luas kemudian melihat aksi tersebut hanya sebatas kericuhan, bukan sebagai ekspresi politik yang sah. Media pun lebih sering menyoroti aksi anarkis daripada tuntutan substantif, sehingga tujuan awal massa tenggelam dalam stigma negatif.
Kerugian Kolektif
Jika ditelaah lebih jauh, ada tiga kerugian besar dari fenomena ini.
Pertama, kerugian substansi. Isu penting yang semula ingin disuarakan menjadi rusak, bahkan bisa kehilangan momentum politiknya.
Kedua, kerugian reputasi. Masyarakat sipil yang sejatinya menyuarakan aspirasi secara damai kerap dicap anarkis, padahal tidak semua peserta aksi terlibat dalam kericuhan.
Ketiga, kerugian material. Fasilitas publik yang rusak dan konflik horizontal yang muncul justru menambah beban sosial dan ekonomi bagi masyarakat luas.
Di sisi lain, pihak-pihak yang diduga menjadi "penunggang" nyaris selalu luput dari sorotan. Mereka bersembunyi di balik kerumunan, memprovokasi, lalu menghilang tanpa jejak. Sementara itu, rakyat yang turun ke jalan harus menanggung stigma dan bahkan berhadapan dengan tindakan represif aparat.
Perlunya Kedewasaan Publik
Fenomena penunggang isu menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya memerlukan ruang ekspresi, tetapi juga kedewasaan dalam memanfaatkannya. Publik perlu lebih kritis dalam menyikapi dinamika aksi massa. Jangan terburu-buru menilai bahwa semua kericuhan adalah cermin dari niat peserta aksi. Ada kalanya, kericuhan itu merupakan hasil rekayasa pihak luar yang memang ingin merusak gerakan rakyat.
Selain itu, perlu pula mekanisme pengamanan dan deteksi dini yang lebih efektif. Negara berkewajiban melindungi hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, sekaligus mencegah infiltrasi pihak-pihak yang ingin menunggangi. Sementara itu, masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam menjaga agar aksi tetap fokus pada isu utama dan tidak mudah terprovokasi.
Penutup
Pada akhirnya, aksi massa harus dipahami sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Namun, keberadaannya bisa kehilangan makna ketika dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kesadaran akan adanya fenomena "penunggang isu" ini seharusnya membuat publik lebih bijak, baik dalam menilai peristiwa kericuhan maupun dalam menjaga kemurnian perjuangan rakyat.
Dengan demikian, yang perlu diingat adalah bahwa kerusuhan bukanlah tujuan dari sebuah aksi, melainkan indikasi adanya kepentingan lain yang berusaha mengambil alih. Membedakan antara aspirasi murni dengan provokasi yang menyesatkan menjadi kunci untuk menjaga kualitas demokrasi dan marwah gerakan rakyat. (Azwar)