Sakit Mental Para Penguasa: Simbol Bajak Laut dan Luka Jiwa Bangsa
Oleh Forum Komunitas Pulih Bersama Founder Sahabat Muhammad Afif Irvandi El Tahiry
Aceh Besar, Wartapembaruan.co.id -- Di tengah kemiskinan moral birokrasi dan ketidakjelasan arah bangsa, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada kegaduhan nasional: bendera bajak laut One Piece berkibar di tanah air. Negara ribut. Elit gelisah. Polisi bergerak. Tapi Komunitas Pulih Bersama justru bertanya: siapa sebenarnya yang sakit?
“Yang sedang terguncang bukan rakyat, tapi mentalitas penguasa. Mereka ketakutan oleh simbol fiksi karena mereka tahu: imajinasi rakyat tak lagi percaya pada simbol kekuasaan mereka,” ujar Sahabat Muhammad Afif Irvandi El Tahiry, pendiri Komunitas Pulih Bersama, dalam forum terbuka di Aceh Besar, Rabu (06/08/2025)
Afif menyebut, kegelisahan elit terhadap bendera One Piece bukanlah kecerdasan membaca ancaman budaya, tapi justru refleksi dari psike kuasa yang kosong: rapuh, penuh paranoia, dan kehilangan makna.
Bendera Bajak Laut: Pelampiasan Jiwa yang Tercekik
Bendera tengkorak dalam One Piece—sebuah anime Jepang dengan jutaan penggemar di Indonesia—dikibarkan di berbagai tempat. Ia bukan sekadar kain bergambar, tapi simbol kebebasan, kesetiaan, dan perlawanan terhadap sistem yang korup. Dan itulah yang ditakuti.
“Ketika anak-anak muda memilih simbol bajak laut ketimbang lambang negara, kita harus bertanya: siapa yang telah membuat mereka putus asa terhadap makna simbol resmi?” ujar Afif dengan lantang.
Dalam kajian psikologi analitik, bendera bajak laut dalam konteks masyarakat yang sedang kehilangan orientasi adalah arkhetipe dari perlawanan kolektif terhadap otoritas yang membusuk. Simbol itu hidup bukan karena kekuatannya, tapi karena kekosongan makna yang ditinggalkan negara.
Mentalitas Penguasa yang Labil: Kekuatan Simbol yang Tak Dipahami
Pulih Bersama menilai reaksi berlebihan pemerintah terhadap pengibaran bendera One Piece sebagai indikator gangguan mental struktural: takut terhadap imajinasi rakyat, namun tak mampu membangkitkan imajinasi sendiri.
“Negara yang sehat mentalnya tidak gemetar melihat selembar kain. Tapi negara yang paranoid, akan melihat hantu di balik setiap poster dan bendera,” ucap Tgk. Alif , pemerhati psikolog komunitas tersebut.
Psikologi kekuasaan menunjukkan bahwa elit yang merasa terancam oleh simbol non-politik seringkali menderita post-power syndrome dini: kehilangan kontrol narasi, namun masih ingin mendominasi dengan ancaman.
Pandangan Islam: Rasulullah SAW dan Makna Simbol
Dalam Islam, simbol tidak netral. Rasulullah SAW menggunakan liwa' dan rayah (bendera hitam dan putih) sebagai manifestasi tauhid, perjuangan, dan keadilan. Tapi beliau tidak pernah panik terhadap simbol musuh—beliau menanggapi dengan hikmah, dakwah, dan kekuatan teladan.
“Rasulullah SAW tidak merampas simbol musyrikin dengan paksa. Beliau tidak memenjarakan karena gambar. Beliau menang karena akhlak dan makna,” tegas Sahabat Al Ghazali, Ketua Bidang Agama pendamping kajian Pulih Bersama.
Dalam Sirah Nabawiyah, bahkan ketika Ka’bah dikuasai oleh 360 berhala, Rasulullah tidak terbakar emosi. Ia menghancurkannya dengan kedamaian dan pesan spiritual. Maka bagaimana mungkin hari ini pejabat mengancam rakyat hanya karena bendera anime?
Negara Sakit, Simbol Jadi Kambing Hitam
Komunitas Pulih Bersama menyatakan bahwa penyakit mental negara bukan terletak pada rakyat yang mengibarkan bendera bajak laut, melainkan pada penguasa yang takut kehilangan legitimasi karena gagal membangun simbol-simbol yang hidup.
“Simbol itu hidup karena ruh. Tapi negara telah mematikan ruh simbol kebangsaannya dengan korupsi, ketidakadilan, dan pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi,” ujar Afif Irvandi, menohok.
Rakyat tidak bodoh. Mereka tahu, simbol tak cukup hanya dipajang di ruang sidang atau upacara. Simbol harus hidup dalam integritas pejabat, cinta tanah air yang jujur, dan keteladanan yang terasa.
Rekomendasi Pulih Bersama: Bangkitkan Simbol, Bukan Bungkam Imajinasi
Komunitas ini menyampaikan seruan keras:
1. Stop kriminalisasi simbol rakyat. Edukasi lebih penting dari represi.
2. Hidupkan kembali simbol Islam dan bangsa dengan akhlak pejabat. Bendera bukan hanya visual, tapi spiritual.
3. Rekonstruksi kesehatan mental pejabat publik. Pemimpin tak cukup waras secara administratif, tapi juga harus waras secara jiwa.
4. Dekatkan kembali negara pada imajinasi rakyat. Bangun narasi yang menyentuh, bukan hanya mengancam.
Afif: “Kami Tidak Takut pada Bajak Laut, Kami Takut pada Penguasa yang Tak Punya Arah”
Menutup forum, Afif menyampaikan kalimat yang menghentak:
“Kami tidak sedang membela bajak laut. Kami hanya ingin para penguasa berhenti bersikap seperti tiran yang takut bayangan sendiri. Bangun simbol baru dari keadilan dan kasih sayang. Bukan dari paranoia dan pemaksaan.”
Hingga hari ini, belum ada satu pun pejabat yang mengajak dialog publik tentang simbol, identitas, dan arah budaya bangsa secara menyeluruh. Yang terjadi justru pelarangan, pembubaran, dan penghakiman.
Dan rakyat? Mereka diam. Tapi di dalam diam itu, simbol-simbol baru sedang tumbuh—bukan dari istana, tapi dari luka, dari kekecewaan, dari jiwa yang mencari makna.
Intinya mari kita fokus pada alam nyata bukan pada alam tidak nyata.
Wallahu A'lam Bish Shawab