Kades Badang Diduga Halangi Pendaftaran Tanah Ulayat: Masyarakat Hukum Adat Desak Copot Mawardi
Tanjung Jabung Barat, Wartapembaruan.co.id – Gelombang kekecewaan masyarakat Desa Badang, Kabupaten Tanjab Barat, Provinsi Jambi, kian memuncak. Kepala Desa Badang, Mawardi, diduga tidak menghormati keberadaan dan hak-hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) Imam Hasan, Selasa 09/09/2025.
Padahal, langkah hukum untuk memperjuangkan tanah ulayat sudah berada di jalur resmi sesuai Permen ATR/BPN RI No. 14 Tahun 2024 tentang Pendaftaran Tanah Ulayat. Namun, alih-alih mendukung perjuangan warganya, Kades justru menerbitkan surat pernyataan resmi yang menolak dengan alasan “tanah sengketa”.
Pada 20 Mei 2025, Kepala Kantah ATR/BPN Tanjab Barat, Idian Huspida, SH, MH, turun langsung ke lokasi bersama jajarannya. Mereka meninjau lapangan, mengumpulkan data, sekaligus menyerahkan surat balasan resmi kepada kuasa KAMHA (Kelompok Anggota Masyarakat Hukum Adat), Dedi Ariyanto, M.Si.
Isi balasan jelas: lengkapi berkas persyaratan pendaftaran tanah ulayat. Selama tiga bulan, masyarakat bekerja keras menyiapkan berkas hingga tahap akhir, termasuk sporadik, lalu menyerahkannya ke kantor desa untuk diketahui Kades.
Namun, bukannya dukungan, justru penolakan resmi keluar dari Mawardi.
Penolakan itu menimbulkan kecurigaan publik. Warga menilai sikap Kades seolah menghalangi perjuangan mereka, bahkan diduga ada “skenario di balik layar” untuk mematahkan langkah masyarakat adat.
“Kades seharusnya berterima kasih karena masyarakat memperjuangkan hak ulayat yang sudah puluhan tahun dirampas PT. Dasa Anugrah Sejati (DAS), anak usaha PT. Asian Agri. Bukan malah mengkhianati perjuangan dengan dalih tanah sengketa,” tegas salah satu tokoh adat.
Kekecewaan berujung pada mosi tidak percaya terhadap Mawardi. Masyarakat menilai Kades tidak berpihak pada rakyat, bahkan terkesan menutup ruang perjuangan.
Warga kini mulai mendorong wacana penggantian Kepala Desa. Mereka menginginkan pemimpin baru yang berani, jujur, dan tidak tunduk pada intervensi maupun intimidasi pihak manapun.
“Kami butuh pemimpin yang setia pada masyarakat, yang berpegang pada pepatah: Terendam samo basah, tejemur samo kering. Bukan pemimpin yang berpaling dari warganya,” tegas perwakilan KAMHA.
Konflik tanah ulayat di Desa Badang sudah berlangsung puluhan tahun. Bila Kades justru menjadi penghalang, dikhawatirkan gejolak sosial akan makin membesar.
Publik kini menanti sikap tegas Pemkab Tanjab Barat, Pemprov Jambi, hingga Kementerian ATR/BPN: apakah membiarkan Kades Mawardi bertahan, atau mendengar aspirasi rakyat yang menuntut kepemimpinan baru?
Karena bagi masyarakat adat, perjuangan ini bukan sekadar tanah, tetapi martabat dan hak hidup yang tak boleh dikhianati.
(Tim Investigasi)