Jakarta, Wartapembaruan.co.id -- Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menilai keberhasilan pemerintah RI meloloskan resolusi “Violence Against Women Migrant Workers" di PBB merupakan langkah maju sebagai bentuk komitmen pemerintah RI di kancah internasional untuk melindungi buruh migran perempuan di masa pandemi COVID-19.
Meski demikian, SBMI melihat komitmen
tersebut belum dibarengi dengan peran perlindungan yang nyata dari pemerintah
sebagai penyelenggara negara, khususnya Perwakilan RI dalam melindungi Buruh
Migran Indonesia (BMI) dari dampak COVID-19.
Pada Jumat (12/11) lalu, Kementerian
Luar Negeri RI mempublikasikan keberhasilan Pemerintah RI meloloskan resolusi
“Violence Against Women Migrant Workers" di PBB melalui laman kemlu.go.id
. Resolusi ini merupakan resolusi dua tahunan bekerja sama dengan Filipina
yang didukung oleh 50 negara dan telah disahkan secara konsensus oleh
seluruh anggota PBB.
Pada tahun 2021 resolusi difokuskan
pada perlindungan terhadap buruh migran perempuan di masa pandemi COVID-19,
termasuk memastikan komitmen negara melindungi hak-hak kesehatan mereka, serta
akses terhadap pelayanan kesehatan dan vaksin COVID-19.
Pengesahan resolusi ini disebut
memperkuat pengakuan global atas kepemimpinan Indonesia di forum internasional,
terutama di bidang perlindungan buruh migran.
Namun faktanya, berdasarkan data studi
SBMI tentang “Respons dan Tanggung Jawab Perwakilan RI dalam Melindungi Buruh
Migran Indonesia dari Dampak Pandemi COVID-19” di 4 negara tujuan BMI
(Malaysia, Singapura, Hongkong dan Arab Saudi), secara umum respons perwakilan
RI masih belum memadai dan belum sesuai dengan kebutuhan BMI yang terdampak
pandemi Covid-19. Pemerintah masih belum maksimal dalam melindungi buruh migran
perempuan dari berbagai pelanggaran dan kekerasan yang kasusnya meningkat
selama pandemi Covid-19.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto mengatakan,
dalam upaya memberikan perlindungan terhadap buruh migran yang terdampak
pandemi COVID-19, pemerintah – khususnya Perwakilan RI di negara tujuan BMI
masih belum menjalankan kewajibannya sebagaimana dimandatkan oleh sejumlah
Undang-Undang.
“Pemerintah telah gagal menjalankan
amanat Undang-Undang sehingga mengakibatkan buruh migran Indonesia
khususnya perempuan rentan mengalami kekerasan, terlanggar haknya, termasuk
terkait ketenagakerjaan, sosial, keterbatasan informasi, serta kesulitan akses
kesehatan,“ tegas Hariyanto.
Peringatan Hari
Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yang jatuh pada
tanggal 25 November ini harus menjadi momentum refleksi Pemerintah Indonesia
untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan pelindungan
BMI, yang mayoritas perempuan, dari dampak pandemi Covid 19.
Sebagai bagian dari Kampanye 16 Hari
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, SBMI menuntut:
1.Pemerintah RI memastikan komitmen
pada instrumen HAM dan kebijakan di tingkat internasional maupun regional,
diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional yang implementatif dan konkrit untuk
pelindungan BMI. Pelindungan harus diberikan kepada semua BMI
terlepas status keimigrasian mereka;
- Pemerintah RI harus mengimplementasikan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia, termasuk segera menerbitkan berbagai aturan
turunan yang dimandatkan dalam UU tersebut,
di antaranya Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan
Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan dan Peraturan Pemerintah tentang
Pengawasan Pelaksanaan Pelindungan PMI, dengan melibatkan masyarakat
sipil, lembaga HAM dan lembaga oversights di Indonesia;
- Pemerintah RI
harus segera membuat perjanjian tertulis dengan negara tujuan untuk memastikan
perlindungan hak-hak BMI, khususnya tentang:
a. Hak BMI atas
informasi dan untuk menggunakan alat komunikasi agar BMI dapat mengakses
informasi terkait Covid-19 serta dapat melakukan pengaduan secara online.
b. Jaminan kebutuhan dasar BMI berupa
tempat tinggal, makanan dan alat kebersihan dapat terintegrasi dalam
undang-undang buruh lokal di negara tujuan sebagaimana mandat Pasal 31 UU Nomor
18 Tahun 2017;
c. Semua BMI dapat menjadi peserta program
asuransi yang berlaku di negara tujuan untuk memastikan pertanggungan risiko
dampak COVID-19 yang tidak di-cover Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia
dapat tercover asuransi di negara tujuan;
d. Asuransi kesehatan di Singapura, skema
pembayaran bersama (co-payment) antara pemberi kerja dengan BMI harus diubah
menjadi kewajiban pemberi kerja dalam hal akses layanan kesehatan, dan
penambahan cakupan asuransi kesehatan akibat COVID-19;
Kementerian Ketenagakerjaan harus segera merevisi Permenaker No 18 Tahun 2018 Tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia, untuk memastikan adanya pertanggungan risiko terkait dampak Covid-19 pada tahap sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja;
5. KBRI/KJRI harus menyampaikan informasi perkembangan COVID-19 di negara tujuan secara berkala melalui media kreatif yang mudah dipahami BMI, termasuk kebijakan soal vaksinasi di negara tujuan dan prosedur kepulangan pada masa pandemi dari bandara di negara tujuan hingga pemulangan ke kampung halaman BMI;
6. Seluruh perwakilan
RI secara periodik mengumumkan agensi (Mitra Usaha) yang resmi/berlisensi dan
agensi (Mitra Usaha) yang tidak resmi/tidak berlisensi serta calon Pemberi
Kerja bermasalah, sebagaimana diamanatkan UU No. 18 Tahun 2017 (Pasal 10);
Pemerintah Pusat (Kemenlu) dan Perwakilan RI di negara tujuan harus memastikan keterlibatan Serikat Buruh Migran dan organisasi komunitas BMI di luar negeri dalam penanganan dampak COVID-19;
Setiap Perwakilan RI harus membuat rencana kontijensi untuk memetakan masalah kedaruratan COVID-19 sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelindungan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri;
Perwakilan RI harus memastikan layanan yang cepat, profesional, sensitif gender, berempati kepada korban yang terakses serta menyediakan layanan khusus terkait pengaduan kekerasan fisik, psikologis dan kekerasan seksual yang dialami oleh BMI, termasuk shelter dan layanan pemulihan yang memadai;
Sanksi yang tegas harus diberikan kepada para staf perwakilan yang melakukan tindakan tidak profesional, tidak etis, dan tidak berempati terhadap korban, termasuk melontarkan kata-kata merendahkan kepada BMI yang menyampaikan pengaduan;
Perwakilan Pemerintah RI dan pemerintah negara tujuan harus melakukan pengawasan secara berkala dan intensif terhadap agensi dan para pemberi kerja untuk memastikan hak-hak BMI terpenuhi, termasuk memastikan BMI tidak mengalami kekerasan dan pelanggaran, baik yang dilakukan pemberi kerja maupun agensi;
Pemerintah RI harus segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga, Konvensi ILO Nomor 188 tentang Pekerjaan di Sektor Perikanan, serta mendorong negara-negara penempatan untuk meratifikasi Konvensi-Konvensi tersebut.