BREAKING NEWS

Kasus Sopian Faqih: Kuasa Hukum Sebut Reaksi Spontan, Bukan Pembunuhan Berencana


Jakarta, Wartapembaruan.co.id
  – Sidang perkara pidana yang menjerat Sopian Faqih als Peke bin Kujen kembali digelar di Pengadilan Negeri. Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi meringankan, kuasa hukum menghadirkan saksi Adecart yang berada langsung di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Saksi menyampaikan bahwa peristiwa bermula saat terdakwa mengetahui secara langsung hubungan terlarang antara istrinya dan korban. “Terdakwa langsung kehilangan kendali emosinya, lalu spontan mengambil golok yang ada di rumahnya dan membacok korban. Tidak ada jeda waktu yang menunjukkan adanya perencanaan,” ungkap saksi di persidangan.

Jihan Azka Savitri ketua team penasehat hukum terdakwa ( Jihan Azka Lawfirm) menegaskan, fakta ini membantah unsur opzet yang terencana sebagaimana dipersyaratkan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

“Pasal 340 mengharuskan adanya rencana matang, persiapan alat, dan tenggang waktu yang cukup antara niat dan perbuatan. Di sini semua terjadi spontan, dipicu ledakan emosi akibat provokasi moral yang berat. Unsur perencanaan jelas tidak terpenuhi,” ujar pengacara terdakwa itu dalan keterangannya, Jum'at (15/8/2025)

Menurut Jihan Azka, pasal yang lebih relevan adalah Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian, yang ancamannya jauh lebih ringan dibanding pembunuhan berencana.

Unsur Pasal 351 ayat (3) KUHP:

1. Perbuatan penganiayaan – adanya tindakan kekerasan yang menimbulkan rasa sakit atau luka.

2. Dilakukan dengan kesengajaan terhadap tubuh orang lain – ada kesadaran melakukan kekerasan, walau bukan dengan maksud membunuh.

3. Akibatnya orang tersebut meninggal dunia – kematian korban menjadi konsekuensi dari penganiayaan, bukan tujuan awal pelaku.

Tim pembela juga mengangkat aspek kondisi kejiwaan terdakwa. Menurut KUHP, keadaan jiwa yang tertekan hebat dan tiba-tiba karena provokasi dapat masuk dalam kategori overmacht (Pasal 48 KUHP) atau emotionele drang (daya paksa psikis).

“Overmacht bukan hanya soal paksaan fisik, tapi juga tekanan psikis yang luar biasa. Dalam kasus ini, terdakwa berada pada kondisi psikologis yang sangat terpukul, sehingga akal sehatnya terganggu sesaat. Putusan MA No. 42K/Kr/1969 dan doktrin Moeljatno mengakui daya paksa psikis sebagai alasan penghapus pidana,” terang Jihan Azka.

Pihak pembela berharap majelis hakim mempertimbangkan semua aspek: fakta persidangan, kondisi psikologis terdakwa, serta doktrin hukum yang berlaku, agar putusan benar-benar adil dan proporsional. Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembuktian lanjutan.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image