Kesepakatan PLN EPI–Mubadala: Siapa Untung, Siapa Rugi di Aceh?
Aceh, Wartapembaruan.co.id -- Perjanjian PLN EPI–Mubadala Energy adalah tonggak penting bagi ketahanan energi nasional, tetapi dari sisi ekonomi politik, tantangan utamanya adalah memastikan peran PT. Pembangunan Aceh (PEMA) tidak sekadar formalitas. Aceh harus memperoleh manfaat nyata—baik dalam bentuk pendapatan daerah, lapangan kerja, maupun penguatan kapasitas lokal. Jika tidak, maka perjanjian ini berisiko memperdalam jurang antara pusat dan daerah, serta memperkuat dominasi korporasi asing atas sumber daya Aceh.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Malikussaleh, Al Chaidar Abdurrahman Puteh menyatakan perjanjian PLN EPI dengan Mubadala Energy adalah langkah strategis untuk memperkuat ketahanan energi nasional, khususnya di Aceh dan Sumatera Utara.
“Namun, dari sisi ekonomi-politik (ekpol), peran PEMA (PT Pembangunan Aceh) menjadi krusial dalam memastikan bahwa manfaat lokal tidak tersisih oleh kepentingan pusat maupun korporasi asing,” kata Chaidar, Jumat (5/12/2025).
Ia memaparkan, PLN EPI dan Mubadala Energy menandatangani Heads of Agreement (HoA) untuk pasokan gas dari blok Andaman, dengan cadangan lebih dari 2 triliun kaki kubik (TCF). Tujuan utamanya adalah untuk menjamin pasokan energi domestik untuk Aceh dan Sumatera Utara, sekaligus mengurangi ketergantungan pada LNG impor.
“Kesepakatan ini juga dikaitkan dengan agenda transisi energi bersih, karena gas dianggap lebih ramah dibanding batubara,” ungkapnya.
Namun, jika dilihat dari dimensi ekonomi politik, lanjutnya, kesepakatan ini memiliki beberapa sisi yang harus dipahami oleh publik.
“Perjanjian ini jelas memperkuat posisi pusat (PLN dan SKK Migas) dalam mengendalikan pasokan energi. Namun, dari sisi Aceh, dengan status daerah istimewa dan adanya PEMA, berpotensi merasa terpinggirkan bila tidak dilibatkan secara substantif,” ungkapnya lagi.
Ia menegaskan bahwa PEMA seharusnya menjadi jembatan kepentingan lokal, memastikan tenaga kerja, distribusi manfaat, dan royalti masuk ke Aceh.
“Jika PEMA hanya dijadikan “penonton” atau sekadar simbol, maka perjanjian ini bisa memperkuat ketimpangan antara pusat dan daerah,” kata Chaidar.
Dari sisi keterlibatan korporasi asing, dalam kasus ini Mubadala Energy, ia menyatakan keberadaan korporasi asal Abu Dhabi ini akan membuka Aceh ke jaringan energi global. Hal ini bisa membuka peluang investasi, tetapi juga menimbulkan risiko ketergantungan pada modal asing.
“Energi selalu terkait dengan legitimasi politik. Bila masyarakat Aceh melihat bahwa hasil gas hanya menguntungkan pusat dan asing, maka akan muncul sentimen ketidakadilan. Sebaliknya, bila PEMA mampu mengartikulasikan kepentingan lokal, perjanjian ini bisa menjadi modal legitimasi politik bagi pemerintah Aceh,” paparnya.
Ia menyampaikan, berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Aceh memang memiliki kewenangan khusus dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk energi. Namun, kewenangan itu tidak otomatis berarti Aceh bisa melakukan kerja sama energi langsung tanpa melalui PLN atau subholding-nya (PLN EPI).
“UUPA memberi ruang bagi Aceh untuk mengatur, mengelola, dan mendapatkan manfaat lebih besar dari migas dan energi, tetapi tetap dalam kerangka hukum nasional dan koordinasi dengan pemerintah pusat,” ucapnya.
Secara hukum yang berlaku di Indonesia, ia menyatakan Aceh tidak bisa melakukan kerja sama energi langsung dengan pihak luar tanpa melewati PLN EPI. Hal ini karena PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) adalah subholding resmi PLN yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola pasokan energi primer (gas, batubara, dll.) bagi kebutuhan listrik nasional. Semua kontrak pasokan energi untuk pembangkit listrik harus melalui PLN EPI sebagai entitas yang memiliki mandat legal.
“Seharusnya PLN EPI bermitra dulu dengan PEMA (Perusahaan Daerah Aceh) sebagai representasi otonomi khusus Aceh, baru kemudian membuka ruang bagi investor. Kalau tidak, posisi Aceh hanya sebagai “konsumen” yang dipaksa membeli listrik dari PLN EPI dengan harga yang ditentukan pusat, padahal UUPA memberi hak khusus untuk mengelola sumber daya energi,” ucapnya lagi.
Chaidar menegaskan, dengan tetap mempertahankan skema yang ada saat ini, maka PEMA tidak diberi posisi strategis. Meski UUPA memberi kewenangan, dalam praktik kontrak energi, PEMA hanya bisa membeli listrik dari PLN EPI, bukan menjadi mitra utama.
“Karena PEMA membeli dari PLN EPI, margin keuntungan PLN EPI otomatis membebani masyarakat Aceh. Dan dari sisi otonomi daerah, yang terjadi adalah reduksi atas kewenangan daerah. UUPA menjanjikan kemandirian energi, tapi aturan ketenagalistrikan nasional menutup ruang itu,” pungkasnya.

