Iklan

Hidup Orang Rimba Makin Tersingkir, Oleh Aktivitas Tambang Batu Bara.

13 April 2024 | 12:17 PM WIB Last Updated 2024-04-13T05:17:30Z


Sarolangun, Wartapembaruan.co.id
~ Orang Rimba hidup makin sulit ketika ruang hidup mereka, berubah menjadi bisnis skala besar, seperti  perkebunan sawit maupun tambang batubara.  Kasus ini seperti terjadi di Batanghari, Jambi.  Sebelumnya, ruang hidup Orang Rimba jadi kebun sawit, PT Sawit Desa Makmur kini bertambah ada tambang batubara juga.

 

- Ada sembilan kelompok Orang Rimba tinggal di konsesi PT Sawit Desa Makmur, yakni, Minang, Nyenong, Ngelembo, Ngelambu, Girang, Menah, Jelitai, Meraman, Nguyup engan lebih 1.000 orang. Konflik dengan SDM membuat mereka tersingkir.

 

- Feri Irawan,  Direktur Perkumpulan Hijau mendesak, Menteri ESDM mencabut semua izin tambang batubara di konsesi PT SDM. Gubernur Jambi Al Haris juga diminta menindaklanjuti surat rekomendasi Gubernur Jambi sebelumnya, Fachrori Umar yang meminta BPN Jambi mengevaluasi izin HGU PT SDM.

 

- Pada 1 April 2024, Perkumpulan Hijau aksi dengan menyegel Kantor Perwakilan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara di Jambi. Mereka juga menyerahkan laporan dampak buruk tambang batubara di Jambi pada tim sespripres saat Presiden Joko Widodo kunjungan ke Jambi, 4 April lalu.  



Pelito,  Orang Rimba dari Kelompok Tumenggung Minang tak tenang sejak tambang batubara masuk wilayah Batin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi  pada 2017. Hutan tempat berburu dan danau tempat mencari ikan terus menyempit bahkan hilang.

Dia dan kelompoknya harus tersingkir, setelah konsesi PT Sawit Desa Makmur (SDM) yang semula ditanami sawit kemudian terkavling-kavling untuk tambang batubara. Ada tujuh tambang batubara yang mendapatkan izin di lokasi HGU perusahaan sawit itu.


- Pepohonan terbabat sampai pinggiran sungai, nyaris tanpa sisa. Air Sungai Serengam dan Sungai Temantan berubah coklat kehitaman, tercemar aktivitas tambang batubara.


“Sekarang jadi batubara hewan buruan itu tidak ado lagi. Labi-labi di sungai jugo dak ado lagi. Sungai sekarang jadi hitam. Kalau dulu sawit masih mending, babi masih ado,” kata Pelito.


Orang Rimba Batin XXIV merasakan dampak lebih buruk. Mereka krisis pangan dan air. Bantuan sembako dari pemerintah setiap bulan jadi pilihan untuk tetap bertahan hidup.


Iyo,  itulah yang buat nyambut hidup. Kalau nak ngandalin dapat buruan, ntah kapan dapat. Sebulan babi sikok bae belum tentu dapat.”


Sedang hutan di seberang Sungai Pawal dulu jadi tempat berburu kini SDM buka untuk perkebunan sawit. Makam dan tanah pranaon—tempat melahirkan—yang sakral bagi orang rimba, ikut terkikis.


Tumenggung Jelitai mengatakan,  dampak konflik berkepanjangan dengan SDM, menyebabkan kelompoknya pindah ke wilayah Sungai Geger, tetapi konflik dengan perkebunan sawit yang lain, PT Adimulia Palmo Lestari. Sebagian menempati pemukiman yang dibangun pemerintah di Padang Kelapo, tetapi banyak tak betah.


“Sekarang kemano kami nak pindah, semua sudah masuk izin PT. Wilayah kami itu sudah tidak ado lagi. Sekarang kami tekepung,” katanya.


Ada sembilan kelompok Orang Rimba tinggal di konsesi SDM, yakni, Minang, Nyenong, Ngelembo, Ngelambu, Girang, Menah, Jelitai, Meraman, Nguyup engan lebih 1.000 orang. Konflik dengan SDM membuat mereka tersingkir.



Berdasarkan peta One Map Indonesia, wilayah yang baru SDM buka merupakan izin tambang batubara PT Bumi Makmur Sejati (BMS). Lebih dari 50% saham dikuasai PT Bukit Tambi, juga mendapatkan izin usaha tambang di konsesi SDM.


Pelito tak seperti rombongan Depati Meruya yang kini bekerja di tambang batubara PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM). Meruya, kelompok Tumenggung Nyenong, masih merasa beruntung meski jadi buruh di tanahnya sendiri.


“Kami senang perusahaan tambang ado di siko. Bagi kami itu membatu ekonomi,” kata Meruya.


Dia dapat bayaran Rp3 juta setiap bulan. Beberapa Orang Rimba dari kelompok lain bagian jaga malam. Mereka bergilir setiap minggu, rata-rata dibayar Rp1,1 juta.

 

Hanya sebagian kecil Orang Rimba bekerja di tambang batubara. Banyak dari mereka kehilangan sumber penghidupan sejak kebun dan wilayah berburu jadi perkebunan sawit SDM.


SDM mendapatkan izin HGU pada 1997 di Kabupaten Batanghari. Namun, perusahaan mulai menanam sawit sejak 1991. Sejak itu,  konflik berkepanjangan melibatkan  sembilan kelompok Orang Rimba di Batanghari.


Pemerintah Batanghari dan Gubernur Jambi berkali-kali meminta BPN cabut izin HGU SDM. Pada 7 September 2020, Gubernur Jambi, Fachrori Umar meminta BPN Jambi mencabut izin SDM karena terbukti terlantar.


Surat Gubernur Jambi itu merupakan tindak lanjut dari surat Bupati Batanghari, Syahirsah yang dikirim 30 Juli 2020. Juga surat dari Kepala Desa Hajran, Sungai Lingkar, Mata Gual, Sungai Lingkar, Koto Boyo, Padang Kelapo dan Sungai Ruan yang mendesak revisi izin HGU SDM. Permintaan itu tak digubris. Sampai sekarang, SDM tetap menguasai izin HGU seluas 14.225 hektar meski tak semua mampu tergarap.


Konflik SDM dan Orang Rimba makin rumit, sejak tambang batubara ikut menggarap lahan di konsesi perusahaan keluarga Senangsyah ini. Sebagian Kelompok Tumenggung Nyenong pindah ke wilayah PT Wana Perintis, menempati lahan 114 hektar yang diberikan pemerintah untuk Orang Rimba pada 2016.


Ada lima kelompok Orang Rimba yang tinggal di sana, Kelompok Tumenggung Nyenong, Ngelembo, Ngelambu, Girang, Tumeggung Minang–penganti mendiang Tumenggung Ngamal. Mereka kerja motong karet tetapi hasil tidak cukup untuk kebutuhan hidup.

 


Pemasok PLTU PLN


Berdasarkan Minerba One Map Indonesia, ada tujuh perusahaan tambang yang mendapatkan izin usaha pertambangan batubara di HGU SDM, yakni PT Tambang Bukit Tambi (TBT), PT Bumi Makmur Sejati (BMS), PT Batu Hitam Sukses (BHS), PT Batu Hitam Jaya (BHJ), PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM, PT Kurnia Alam Investama (KAI) dan PT Alam Semesta Sukses Batubara (ASSB).


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyebut, ada 28 perusahaan tambang di Jambi jadi pasok batubara untuk PLTU PLN, dengan kuota 3,9 juta ton. Rata-rata batubara di Jambi berkalori rendah, antara 2.800-3.400 yang cocok untuk bahan bakar PLTU.


Novaizal, Kepala Bidang Pertambangan Dinas ESDM Jambi mengatakan, batubara dari Jambi dikirim ke Riau, Medan dan Sumatera Barat untuk bahan bakar mesin industri Semen Padang.


Beberapa perusahaan tambang juga memasok kebutuhan batubara di wilayah Jawa,  salah satunya PLTU Suralaya.

 




Penyumbang emisi


Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan , PLN harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Jambi akibat penambangan batubara yang jadi pemasok PLTU PLN.


“PT Krakatau Steel dan PT Petro Kimia,  sebagai pemakai listrik PLTU Suralaya juga harus ikut bertanggung jawab untuk pemulihan lingkungan,” katanya.


Data AEER menyebut,  aktivitas penambangan batubara menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan berat di berbagai tempat, termasuk Jambi.


“PLTU itu paling merusak dan berkepanjangan. Banyak sumber air rusak bahkan tercemar. Butuh waktu lama untuk memulihkannya.”


 

Pius bilang, PLTU juga jadi satu penyumbang emisi gas rumah kaca. Dia mendesak,  pemerintah segera memensiunkan dini PLTU batubara dan mengganti dengan energi ramah lingkungan.


Saat ini,  lebih setengah bauran energi listrik di Indonesia bersumber dari PLTU batubara. Hasil riset Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, emisi polutan udara dari pembangkit listrik batubara di Indonesia naik 110% dalam satu dekade terakhir.



Dalam laporan berjudul “Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia,” itu juga memperkirakan terjadi peningkatan hingga 70% pada 2030 kalau semua pembangkit listrik batubara, termasuk captive, selesai terbangun dan beroperasi.


CREA mengindikasikan, emisi polutan udara dari pembangkit listrik batubara di Indonesia pada 2022 turut bertanggung jawab atas 10.500 kematian akibat polusi udara dan biaya kesehatan US$7,4 miliar.


Indonesia sudah berkomitmen mengurangi emisi karbon untuk menjaga kenaikan suhu global dengan enhanced nationally determined contributions (E-NDC)   jadi 32%, setara 912 juta ton CO2 pada 2030. Angka ini naik 3% dari target sebelumnya. Indonesia berusaha mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060.


Pius bilang, pemerintah bisa memanfaatkan dana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk menghentikan pembukaan kawasan hutan di daerah yang memiliki potensi tambang batubara.


“Kalau pembukaan hutan untuk tambang batubara itu bisa dihentikan, akan mengurangi emisi gas rumah kaca.”


Pemerintah Indonesia menargetkan Folu Net Sink pada 2030, sebagai upaya mengendalikan perubahan iklim. Sektor Folu akan berkontribusi hampir 60% dari target penurunan emisi gas rumah kaca.

 




Cabut izin

 

Feri Irawan,  Direktur Perkumpulan Hijau mendesak, Menteri ESDM mencabut semua izin tambang batubara di konsesi SDM. Tambang batubara, katanya, merusak wilayah adat dan berdampak buruk pada kehidupan Suku Anak Dalam—sebutan umum pemerintah untuk Orang Rimba, Bati 9 dan Suku Talang Mamak.


Pencemaran sungai karena aktivitas tambang batubara di SDM menyebabkan kematian anak-anak Rimba. Pada 2019, lima anggota Kelompok Tumenggung Minang meninggal karena mengkonsumsi air yang diduga tercemar limbah dari tambang batubara.  Dari Kelompok Tumenggung Ngelembo juga jadi korban. Satu orang kelompok Tumenggung Mena, meninggal ditabrak angkutan batubara yang beroperasi di SDM.


Feri menduga, ada kongkalikong antara pejabat Pemerintah Jambi dengan pengusaha tambang batubara di SDM.


“KPK harus menyelediki ini.”

Feri meminta,  Gubernur Jambi Al Haris menindaklanjuti surat rekomendasi Gubernur Jambi sebelumnya, Fachrori Umar yang meminta BPN Jambi mengevaluasi izin HGU SDM.


“Kalau gubernur sekarang diam dan membiarkan masalah ini berlarut, patut kita curigai, ada apa?” kata Feri.


Mantan Direktur Eksekutif Walhi Jambi itu juga mendorong KESDM mengevaluasi semua izin tambang batubara di Jambi.


“Kita juga minta Inspektur Tambang, yang seharusnya mengawasi tambang di Jambi dibubarkan, karena tidak ada gunanya. Mereka hanya datang ke tambang seperti preman.”



Aksi segel, rawan masalah baru

Pada 1 April 2024, Perkumpulan Hijau aksi dengan menyegel Kantor Perwakilan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara di Jambi. Mereka juga menyerahkan laporan dampak buruk tambang batubara di Jambi pada tim sespripres saat Presiden Joko Widodo kunjungan ke Jambi, 4 April lalu.


Kehilangan kekayaan alam membuat Orang Rimba hidup miskin dan krisis pangan. Robert Aritonang Manajer Program KKI Warsi yang mendampingi Orang Rimba sejak 2007 khawatir,  kondisi ini akan memunculkan masalah baru.


“Sekarang kita lihat banyak Orang Rimba datang ke Kota Jambi, mereka minta-minta. Sebagian ada yang masuk ke perkampungan trans. Ini memicu konflik karena mereka dituduh mencuri.”


Menurut dia, konflik yang akan dihadapi Orang Rimba akan makin meningkat karena kehilangan sumber alam. Orang Rimba yang hidup di luar hutan lebih rentan jadi korban pelanggaran HAM.

“Kita sudah sering lihat, bagaimana Orang Rimba bunuh-bunuhan, tembak-tembakan. Itu ke depan akan makin sering karena belum ada solusi.”


Pada 5 April 2024, ketiga kalinya Mongabay kembali mendatangi kantor SDM di Jalan Orang Kayo Hitam, Kelurahan Sulanjana, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi untuk bertemu Lukman, Direktur SDM. Satpam perusahaan meminta saya membuat janji terlebih dahulu.


Padahal 15 Februari 2024, saya sudah meninggalkan nomor telepon agar bisa dihubungi saat Lukman di kantor, tetapi tak pernah ada kabar. Satpam jaga kembali meminta saya meninggalkan nomor telepon agar bisa dihubungi.


“Abang tinggalin nomor telepon, nanti kalau Pak Lukman, ada di kantor saya kabari,” katanya.


Ngolak, Kelompok Tumenggung Nyenong katakan, setelah kebun sawit SDM tergarap tambang batubara, kehidupan makin sulit.


“Dulu, waktu masih sawit banyak babi. Cari ikan gabus di danau-danau kecil juga masih gampang. Sekarang, sebagian sudah ditimbun tanah untuk tambang batubara,” katanya.


Saya tanya juga ke Meruya, bagaimana kalau nanti tambang batubara sudah habis, sedang berburu sulit karena hutan dan danau tidak ada lagi. Meruya terdiam.


Dia hanya menatap orang-orang di sekitarnya, yang juga bingung. Mereka sadar keadaan buruk akan terjadi.


“Macam mano lagi kami nak berburu kalau dio—tambang batubara—nambah terus. Kami jugo nak hidup,” jawab Ngolak.



(Teguh Suprayitno, 10/04/2024)


#kpkri#kementerianesdm#presidenjokowidodo#kementerianatrbpn#walhi.

 


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hidup Orang Rimba Makin Tersingkir, Oleh Aktivitas Tambang Batu Bara.

Trending Now

Iklan