Iklan

Mismatch Katastropik dan JKN

warta pembaruan
22 Mei 2025 | 10:24 PM WIB Last Updated 2025-05-22T15:24:18Z


Oleh: Dr., drs., apt., Chazali H Situmorang, M.Sc, CIRB (Ketua DJSN 2010-2015/Dosen FISIP UNAS)


Pengantar,

_Artiikel ditulis 8 tahun lalu, sebagai upaya untuk mencari sumber dana untuk pembiayaan JKN, melalui  formula lain sebagai solusi alternative yang lebih dapat dijamin keberlangsungannya karena tidak bersumber dari APBN yaitu dengan menarik uang premi setiap bungkus rokok yang dijual  perusahaan rokok diluar cukai rokok. Memang tidak mudah meyakinkan pemerintah (Kemenkeu). Tidak ada salahnya dikaji lagi untuk menghadapi potensi defisit JKN tahun 2026.

JOPINI, Wartapembaruan.co.id - Dalam artikel saya terdahulu, dengan judul *"BPJS Kesehatan diambang batas”*, untuk mengatasi _bleeding_ atau _mismatch_ atau defisit atau gagal bayar ke faskes oleh BPJS Kesehatan, mengajukan alternative solusi yaitu diberlakukannya sharing cost dengan Pemerintah Kab./Kota, melalui pemotongan APBN yang dialokasikan sebagai sumber APBD Pemda Kab./Kota. 

Artikel yang saya viralkan di medsos mendapat respons yang cukup banyak dengan berbagai komentar dan masukan yang semuanya baik dan konstruktif.

Salah satu yang memberikan respons adalah sahabat dan  senior saya anggota DJSN periode I , mantan Anggota DPR-RI yang turut menyusun UU SJSN yaitu Laksamana Pertama (Pur) drg. Moeryono Aladin. Kami berkesempatan bertemu dan mendiskusikan berbagai Langkah dan upaya untuk mencari solusi agar keberlangsungan BPJS Kesehatan memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada rakyat Indonesia jangan terganggu karena persoalan pembiayaan yang tidak seimbang antara premi yang diterima dengan besarnya biaya pelayanan kesehatan (mismatch).

Akibat mismatch inilah yan menyebabkan posisi BPJS Kesehatan menjadi “terpojok”. Manajemen BPJS Kesehatan kesulitan melakukan pembayaran atas tagihan faskes yang menurut UU SJSN, tidak boleh lebih dari 15 hari sejak tagihan masuk ke Manajemen BPJS Kesehatan. 

Disisi lain, BPJS Kesehatan bukanlah pihak yang diberikan wewenang untuk menentukan besarnya premi yang dibayar peserta, dan juga bukan pihak yang menentukan besarnya tarif biaya pelayanan kesehatan di faskes primer dan sekunder (kapitasi dan Ina CBGs). Secara the facto BPJS Kesehatan sebagai “payers” kepada faskes, atas pelayanan kesehatan yang dilakukan faskes kepada peserta.

Padahal perintah UU SJSN dan UU BPJS, tugas dan kewajiban BPJS Kesehatan sangat luas dan komprehensif, tetapi direduksi melalui berbagai PP, Perpres, dan Permenkes yang ada , dan diantaranya tidak ada diperintahkan dalam norma UU SJSN dan UU BPJS.  

Menurut kajian Social Security Development Institute (SSDI), ada 4 variabel terjadi mismatch dalam pembiayaan JKN, pertama; besarnya iuran yang tidak sesuai dengan nilai keekonomian, kedua ; tingginya tingkat peserta Advers Selection, ketiga ; peserta yang menunggak iuran, dan keempat; belum maksimalnya cakupan PPU (Peserta Penerima Upah), terutama masih adanya BUMN yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Penyakit Katastropik

Kecenderungan masyarakat yang menjadi peserta JKN adalah mereka yang sudah “penyakitan” (advers Selection) suatu hal yang tidak dapat dielakkan. Kondisi tersebut sudah diperhitungkan dan tidak akan menjadi masalah jika diimbangi dengan cakupan kepesertaan yang besar dan  iuran yang sesuai. 

Persoalan mismatch timbul karena penyimpangan dari estimasi yang djperhitungkan diatas. Keadaan semakin diperberat karena umumnya peserta _advers selecton_  adalah mereka penderita penyakit katastropik  yaitu penyakit berbiaya tinggi seperti kanker, gagal ginjal, jantung coroner, hypertensi. Tidak kurang 25% dari penyakit yang dibiayai JKN adalah penyakit katastropik dengan besar biaya 14-15 triliun dari total biaya JKN yang besarnya sekitar Rp. 60 triliun pertahun. 

Kalau dicermati lebih teliti, ternyata penyakit katastropik sebagian besar diakibatkan rokok baik perokok aktif maupun pasif. Merokok bukan perilaku yang dilarang dan cukai tembakau merupakan salah satu sumber APBN yang angkanya cukup besar lebih dari 125 triliun.

Pilihan  solusi atasi mismatch

Selain dari _sharing cost_ dengan Pemda Kab./Kota untuk mengatasi _mismatch_ atau defisit atau bleeding atau gagal bayar pada faskes, juga dari hasil diskusi dengan pengamat jaminan social dan teman-teman yang peduli JKN ada formula lain sebagai solusi alternative yang lebih dapat dijamin keberlangsungannya karena tidak bersumber dari APBN yaitu dengan menarik uang premi setiap bungkus rokok yang dijual  perusahaan rokok diluar cukai rokok.

Jika diasumsikan omzet penjualan rokok pertahun sebesar Rp. 285 triliun, dikenakan premi 10% maka akan didapatkan dana sebesar Rp. 28,5 triliun.  Uang sejumlah tersebut cukup bahkan berlebih untuk membayar tagihan biaya penyakit katastropik sekitar tidak kurang dari 15 triliun. Dan cadangan  premi dapat di duganakan untuk antisipasi  meningkatnya biaya pengobatan penyakit katastropik tahun-tahun berikutnya.  Jadi kesinambungannya terjaga.

Caranya bagaimana ?

Prinsip utama yang harus menjadi rujukan adalah harus jelas dasar hukumnya, jelas sumber dananya, dan merupakan domain pemerintah untuk melaksanakannya. 

Ada 3 UU yang dapat digunakan yaitu UU SJSN (Nomor 40 Tahun 2004), UU BPJS ( Nomor 24 Tahun 2011) dan UU Perasuransian (Nomor 40 Tahun 2014).  Dan dengan dasar UU tersebut, dapat diatur pelaksanaannya melalui Peraturan Presiden. 

UU BPJS mengamanatkan bahwa Pemerintah  berkewajiban untuk menambal biaya pelayanan kesehatan JKN jika dana di BPJS Kesehatan tidak cukup. Jadi Pemerintah “WAJIB” mengatasinya. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut Pemerintah dengan payung hukum UU Perasuransian (Nomor 40 tahun 2014) dapat menunjuk BUMN yang bergerak dalam usaha asuransi jiwa dan kesehatan untuk ditugaskan menarik premi dari harga  penjulan perusahaan rokok.  Agar terkontrol perusahaan rokok harus dapat menunjukkan bukti setoran preminya pada BUMN Asuransi Jiwa dan Kesehatan yang  ditunjuk  sebagai prasyarat untuk membayar cukai rokok. Hitungan menjadi jelas dan transparan. 

Atas persetujuan pemerintah (Menkeu), perusahaan Asuransi BUMN yang ditunjuk membayarkan  tagihan yang diajukan BPJS Kesehatan atas klaim  penyakit katastropik setelah melalui tim verifikasi yang ditetapkan Perusahaan Asuransi BUMN tsb. 

Dengan demikian pihak BPJS Kesehatan tidak lagi mengalami _mismatch,_ bahkan dapat menggunakan dana iuran yang diperoleh  untuk penyakit katastropik yang telah  diatasi Pemerintah, digunakan untuk memperbaiki mutu pelayanan dan struktur biaya paket Ina CBGs, yang berimplikasi akan semakin banyaknya rumah sakit swasta tertarik untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan., 

Nilai manfaat

Nilai manfaat utama adalah Pemerintah tidak perlu lagi mengkais-kais dana APBN untuk menambal akibat mismatchnya dana yankes dalam JKN. Apalagi saat ini hutang Pemerintah sudah membengkak  sebesar 3.700 triliun. Jangan sampai untuk mengatasi _mismatch_ Pemerintah menjadi panik dan memotong gaji PNS.  Nilai manfaat kedua, dari dana premi penjualan rokok disamping untuk menambal _mismatch_ juga dapat digunakan untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan di faskes dan juga perbaikan struktur biaya paket Ina-CBGs dan peningkatan remunerasi tenaga medis. Nilai manfaat ketiga, menekan perokok untuk mengurangi  merokok karena harga rokok semakin mahal. Apalagi kalau bisa berhenti merokok, sehingga menjadi sehat dan berkurangnya penyakit katastropik akibat rokok. dan yang keempat, sumber dana yang diperoleh dari premi pelaku usaha rokok, diluar pajak dan cukai tembakau. 

Ada beberapa catatan penting, jika program penanganan _mismatch_ melalui sumber dana premi pelaku usaha rokok  akan dilaksanakan. Pertama; dana premi harus dikelola oleh perusahaan asuransi jiwa dan kesehatan BUMN dengan mengacu UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Kedua; lembaga Asuransi dimaksud membayar premi atas permintaan / pengajuan BPJS Kesehatan sesuai kriteria penyakit katastropik dengan proses verifikasi setelah mendapatkan persetujuan kementerian keuangan. 

Sudah saatnya Pemerintah mendengarkan dan tidak ada salahnya mengadopsi berbagai saran dan masukan dari berbagai pihak, termasuk dari para peduli pelayanan dan jaminan kesehatan, peserta JKN, dan kelompok masyarakat lainnya  dalam turut mencari solusi atas kesulitan dana untuk JKN yang dihadapi Pemerintah. (Azwar)


Cibubur, 3 Agustus 2017

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mismatch Katastropik dan JKN

Trending Now

Iklan