Oleh : Fikriansyah mahasiswa hukum universitas Nahdlatul ulama Indonesia
OPINI, Wartapembruan.co.id - Dua dekade lebih sejak Reformasi 1998, Indonesia telah mengalami transformasi politik yang signifikan. Transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi menjadi tonggak sejarah yang membuka jalan bagi tumbuhnya partisipasi publik, kebebasan berpendapat, dan penyelenggaraan pemilu yang relatif jujur dan adil. Namun, capaian demokrasi tersebut bukanlah garis akhir, melainkan titik awal dari perjuangan panjang mewujudkan demokrasi konstitusional yang substantif. Dalam konteks ini, reformasi sistem politik dan penguatan lembaga negara menjadi kebutuhan mendesak untuk memperkuat fondasi demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga berkeadilan, transparan, dan akuntabel.
Demokrasi Konstitusional: Konsep dan Tantangan
Demokrasi konstitusional mengacu pada sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dibatasi oleh konstitusi, yang menjamin hak-hak dasar warga negara dan mengatur hubungan antarlembaga negara secara seimbang. Dalam sistem ini, demokrasi tidak hanya diukur dari pelaksanaan pemilu, tetapi juga dari keberadaan rule of law, pemisahan kekuasaan, dan sistem checks and balances yang efektif.
Sayangnya, dalam praktiknya, demokrasi di Indonesia kerap tersandera oleh persoalan oligarki politik, lemahnya akuntabilitas lembaga publik, dan kerentanan institusi demokrasi terhadap kooptasi kekuasaan. Reformasi yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade belum sepenuhnya mengikis pola patronase dan dominasi elite dalam proses pengambilan keputusan. Ini menunjukkan bahwa demokratisasi tidak hanya soal membuka keran kebebasan, tetapi juga tentang membangun arsitektur politik yang sehat dan institusi negara yang tangguh
Reformasi Sistem Politik: Menata Ulang Arah Demokrasi
Salah satu pilar utama reformasi demokrasi adalah pembenahan sistem politik. Sistem politik yang sehat mensyaratkan adanya partai politik yang demokratis, sistem pemilu yang adil dan representatif, serta mekanisme keterlibatan publik yang inklusif.
Pertama, partai politik sebagai pilar demokrasi mesti menjalani reformasi internal yang serius. Praktik politik transaksional, oligarki partai, dan minimnya kaderisasi menjadi tantangan utama. Banyak partai dikuasai oleh segelintir elite yang menjadikan partai sebagai kendaraan elektoral semata, tanpa visi ideologis dan komitmen pada pendidikan politik warga. Reformasi harus diarahkan pada peningkatan transparansi pengelolaan keuangan partai, demokratisasi struktur internal, dan penguatan fungsi partai sebagai alat artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat.
Kedua, sistem pemilu juga perlu dievaluasi secara menyeluruh. Sistem proporsional terbuka yang saat ini digunakan memang memberi ruang kepada pemilih untuk memilih kandidat, tetapi pada saat yang sama menimbulkan persaingan intra-partai yang tidak sehat dan biaya politik yang sangat tinggi. Akibatnya, calon legislatif cenderung mengandalkan logistik dan popularitas instan dibanding gagasan atau rekam jejak. Diskursus mengenai kemungkinan kembali ke sistem proporsional tertutup atau semi terbuka perlu dikaji secara objektif, dengan mempertimbangkan kualitas representasi dan stabilitas politik.
Ketiga, penguatan mekanisme partisipasi publik sangat penting agar demokrasi tidak hanya menjadi domain elite politik. Keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi, pengawasan anggaran, dan perumusan kebijakan publik harus difasilitasi melalui instrumen demokrasi deliberatif seperti forum konsultasi publik, town hall meeting, dan digital democracy. Hal ini akan mendorong tumbuhnya budaya politik partisipatif dan meningkatkan legitimasi kebijakan publik.
Penguatan Lembaga Negara: Menjaga Keseimbangan Kekuasaan
Selain reformasi sistem politik, penguatan lembaga negara merupakan prasyarat penting bagi tegaknya demokrasi konstitusional. Konstitusi Indonesia telah menata sistem ketatanegaraan dengan prinsip pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun dalam praktiknya, relasi antarlembaga ini kerap tidak seimbang, dengan kecenderungan dominasi cabang eksekutif.
Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan berbagai lembaga independen lainnya dirancang untuk menjaga integritas sistem demokrasi. Namun belakangan, banyak lembaga tersebut menghadapi tekanan politik dan pelemahan institusional. Contoh nyata adalah revisi UU KPK yang dinilai menggerus independensi dan daya gebrak lembaga antirasuah tersebut. Penguatan lembaga negara harus mencakup:
1. Jaminan independensi: Lembaga yudisial dan lembaga pengawas harus dilindungi dari intervensi politik, baik melalui pengangkatan personel maupun perumusan regulasi.
2. Penguatan kapasitas kelembagaan: Reformasi birokrasi dan alokasi anggaran yang memadai sangat penting agar lembaga negara dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan profesional.
3. Akuntabilitas publik: Selain independen, lembaga negara juga harus akuntabel. Ini bisa dicapai melalui pelaporan kinerja berkala, audit independen, dan keterbukaan informasi kepada publik.
Jalan Menuju Demokrasi Substantif
Indonesia tidak kekurangan aturan dan institusi dalam menegakkan demokrasi. Yang kerap menjadi persoalan adalah implementasi, komitmen politik, dan konsistensi dalam menegakkan prinsip-prinsip konstitusional. Demokrasi konstitusional menuntut lebih dari sekadar keberadaan lembaga demokrasi secara formal; ia menuntut adanya semangat demokratis dalam tata kelola kekuasaan.
Ke depan, penguatan pendidikan kewarganegaraan dan budaya hukum menjadi kunci. Warga negara perlu memahami hak dan kewajibannya, serta dilatih untuk bersikap kritis terhadap kekuasaan. Budaya politik yang permisif terhadap korupsi dan politik uang harus diubah melalui pendidikan, media, dan teladan dari elite politik.
Krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara hanya dapat dipulihkan dengan langkah-langkah konkret: penegakan hukum yang adil, pelayanan publik yang berkualitas, dan kepemimpinan politik yang berintegritas. Momen Pemilu dan Pilkada menjadi peluang penting untuk mengoreksi arah demokrasi dan memilih pemimpin yang memiliki komitmen terhadap reformasi institusional.
Penutup
Reformasi sistem politik dan penguatan lembaga negara bukan sekadar agenda teknokratis, melainkan perjuangan moral dan politik untuk memastikan bahwa demokrasi tidak berhenti pada prosedur, tetapi benar-benar menjamin keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan rakyat. Jalan menuju demokrasi konstitusional masih panjang dan berliku, tetapi dengan komitmen kolektif dari seluruh elemen bangsa, kita dapat mewujudkan sistem pemerintahan yang tidak hanya demokratis, tetapi juga beradab dan berkeadilan.
Oleh : Fikriansyah mahasiswa hukum universitas Nahdlatul ulama Indonesia
NIM. 24200007