JAM-Pidum Menyetujui 5 (RJ) Restorative Justice,Salah Satunya Perkara Penggelapan di Yogyakarta
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual untuk menyetujui 5 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Selasa, 17 Juni 2025.
Salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif adalah kasus penggelapan yang dilakukan oleh Tersangka Ali Burham alias Ali bin Nurkholis, yang bekerja di Toko Abon Gulung dan Bolu Susu Rajaklana. Tersangka dituduh menggelapkan uang hasil penjualan toko sebesar Rp8.100.000.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Saksi Korban kemudian meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif diberikan karena telah dilaksanakan proses perdamaian, Tersangka belum pernah dihukum, dan ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun. Selain itu, Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Selain kasus penggelapan, JAM-Pidum juga menyetujui 4 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, yaitu kasus penganiayaan, pencurian, dan penadahan.
1.Tersangka Suprin Posingan alias Ucok dari Kejaksaan Negeri Banggai Laut, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2.Tersangka Muhammad Sarifudin bin Salmani dari Kejaksaan Negeri Paser, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
3.Tersangka Sadam Husin bin Abdullah dari Kejaksaan Negeri Lahat, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) Angka 3, Pasal 363 Ayat (1) Angka 5 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan dan Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
4.Tersangka Tio Hermawan als Tio bin Harianto dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.(Alred)
Kepala Pusat Penerangan Hukum : Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum.
/ Kasubid Kehumasan