Implementasi Perpres JKN Nomor 59 Tahun 2024
Penulis: Dr. drs. apt. ChazaliH.Situmorang,M.Sc, CIRB, FISQua (Ketua DJSN 2010-2015/Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS/Ketua Umum LPA Lafkespri)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan memang telah diterbitkan, namun belum sepenuhnya selesai diimplementasikan. Perpres ini mengatur tentang Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang menggantikan kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan, serta kaitannya dengan manfaat, tariff dan iuran.
Langsung saja kita kutip Pasal 103B, berbunyi sebagai berikut: Pasal 103B *(1) Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46A dilaksanakan secara menyeluruh untuk rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 30 Juni 2025*.
(2) Dalam jangka waktu sebelum tanggal 30 Juni 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sesuai dengan kemampuan rumah sakit.
(3) Dalam hal rumah sakit telah menerapkan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar dalam jangka waktu sebelum tanggal 30 Juni 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembayaran tarif oleh BPJS Kesehatan dilakukan sesuai tarif kelas rawat inap rumah sakit yang menjadi hak Peserta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan evaluasi dengan mempertimbangkan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan.
(5) Dalam masa penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri melakukan pembinaan terhadap Fasilitas Kesehatan.
(6) Evaluasi fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Menteri dengan berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(7) Hasil evaluasi dan koordinasi fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar penetapan Manfaat, tarif dan Iuran.
(8) Penetapan Manfaat, tarif, dan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan paling lambat tanggal 1 Juli 2025.
Sampai artikel ini ditulis, ternyata Pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan BPJS Kesehatan yang diamanatkan oleh Perpres JKN 59/2024, belum dapat merumuskan perintah Pasal 46A, dan 103B, terkait dengan fasilitas rumah sakit pelayanan rawat inap kelas standar yang harus tuntas paling lambat 30 Juni 2025, dan dilanjutkan paling lambat 1 Juli 2025 sudah ditetapkan manfaat, tariff dan iuran sesuai dengan pelayanan rawat inap kelas standar.
Dalam Kedua proses perumusan Pasal 103 B, DJSN sesuai dengan amanat UU SJSN Nomor 40/2004, sebagai lembaga yang ditugaskan untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi semua yang terkait dengan kebijakan Sistem Jaminan Sosial otomatis wajib terlibat dan sebagai mandatory dalam berbagai produk regulasi turunan UU SJSN dan UU BPJS.
Awal masalah rawat inap kelas standar dalam penyusunan Perpres JKN pertama kali tahun 2013,(Perpres JKN Nomor 12 Tahun 2013) Kemenkes mengalami kesulitan untuk memasukkan nomenklatur kelas standar dalam pelayanan rawat inap di Rumah Sakit.
UU SJSN memerintahkan pada Pasal 23 ayat (4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah pelayanan eksisiting rawat inap Rumah Sakit, tidak dikenal kelas standar, yang dikenal dan diatur dengan Permenkes adalah rawat inap kelas I, II, dan III.
Maka Perpres JKN walaupun sudah berubah beberapa kali, definisi kelas standar tidak dikenal dan tidak dirumuskan. Perpres menggunakan 3 katagori kelas untuk JKN yaitu kelas I, II, dan III. Hal ini tentu tidak sesuai dengan amanat Pasal 23 ayat (4) dan (5).
Saya sebagai Ketua DJSN saat itu, mempertanyakan kepada Menteri Kesehatan saat itu, jawabannya saya ingat betul, “Pak Chazali, kita tidak cukup waktu untuk merumuskan, karena 1 Januari 2014 JKN harus sudah diluncurkan”.
Saya dapat memahami, dengan asumsi rumusam kelas standar akan ada pada perubahan Perpres JKN berikutnya. Ternyata, ya sampai hari ini, urusan kelas standar masih belum selesai, sudah 10 tahun lebih umur JKN.
Apa implikasinya?
Karena kebijakan Pemerintah memberlakukan 3 kelas ( I, II, dan III) pada Perpres JKN yang pertama, tentu terkaitlah dengan penyusunan besarnya iuran yang harus dicantumkan dalam Perpres JKN. Dalam Perpres JKN pertama itu, tim penyusun Perpres belum bisa mencantumkan berapa besaran iuran untuk peserta yang menginap di kelas I, II dan III.
Besaran iuran harus ada dalam Perpres JKN sebelum JKN diluncurkan 1 Januari 2014. Pada 27 Desember 2013, terbitlah Perpres JKN Perubahan Nomor 111/2013. Didalamnya sudah mencantumkan besaran iuran kelas I Rp. 59.500, kelas II Rp. 42.500.- dan kelas III Rp. 25.600.-
Karena terjadinya cluster besaran iuran berdasarkan segmen rawat inap yang terbagi 3 kelas, jelas tidak sesuai dengan filosofi dan prinsip Jaminan Kesehatan dalam UU SJSN, pada Pasal 19, ayat (1) Jaminan Kesehatan diselenggaranakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi social dan prinsip ekuitas. Secara umum ekuitas itu dimaknai sebagai konsep keadilan, kesetaraan dan keseimbangan.
Selama 10 tahun terakhir ini, persoalan iuran dengan sistem 3 kelas untuk perawatan rawat inap ( tidak ada menerapkan kelas standar) menimbulkan berbagai persoalan bagi peserta. Karena prinsip ekuitas tidak dapat diterapkan.
Bagi BPJS Kesehatan juga menimbulkan persoalan tersendiri. Dengan 3 katagori pembayaran iuran sangat sulit untuk mendapatkan nilai keekonomian yang pasti. Rentang yang lebar besaran biaya antara kelas I dan II, dan III, sering tidak sejalan dengan hak pelayanan rawat inap yang mereka dapatkan.
Misalnya hak peserta kelas I, ternyata penuh, ditawarkan ke kelas II, mereka komplain. Apalagi ke kelas III walaupun temporary. Jika tidak mau waiting list. Atau naik kelas dengan menambah ( mandiri) bayaran selisih kelas.
Bagi peserta PBI yang jumlahnya sangat banyak mungkin saat ini sekitar 90 juta peserta, mendapatkan hak rawat inap kelas III, tidak boleh naik kelas. Padahal ratio jumlah tempat tidur untuk kelas III tidak seimbang dengan peserta kelas III (PBI). Akibatnya jika ada tindakan medis yang memerlukan rawat inap ya maaf harus menunggu (waiting list).
Persoalan-persoalan seperti ini sampai hari ini belum dapat diselesaikan, dan belum ada kebijakan yang solutif. Karena akar persoalan tidak diselesaikan yaitu memastikan rawat inap kelas standar, dan besaran iuran harus single payer sesuai dengan kelas standar.
Harus ada ketegasan bahwa peserta JKN itu hak rawat inapnya kelas standar jika ada segmen masyarakat merasa tidak “menyenangkan” dengan kelas standar yang minta naik kelas, bayar selisih tariff kelas yang diatasnya secara mandiri atau menggunakan private assurance.
Pemerintah dalam hal ini semua sector terkait Kemenkes, BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan, DJSN, menyadari persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari kebijakan Perpres JKN yang mengabaikan kelas standard an single payer besaran iuran.
Terbitlah Perpres JKN Nomor 59 Tahun 2024, yang mencoba menyelesaikan persoalan secara konprehensif. Isi Kepres JKN itu mencoba menjelaskan “pelayanan dasar kesehatan” yang menjadi hak peserta, apa itu rawat inap kelas standar, dan ruang lingkupnya. Merumuskan manfaat, dan menetapkan besaran tariff dan iuran yang menyesuaikan dengan katagori baru rawat inap kelas standar.
Perpres JKN No.59/2024, pada pasal 1 angka 4b, menyebutkan:
_“Kelas Rawat Inap Standar adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh Peserta.”_
Perpres JKN No. 59/2024, sudah bagus dan menjawab apa yang dimaksud dengan kelas standar pada Pasal 1 angka 4b tersebut. Tetapi perumusan makna kelas standar dimaksud adalah kelas standar minimum menyesatkan dan membingungkan.
Sebab harus dipahami kalau UU sudah menyebutkan kelas standar, rumuskanlah sesuai lingkup kelas standar, tidak boleh diberikan embel-embel lain minimum atau maksimum atau apapun namanya.
Secara umum makna Standar dapat diartikan sebagai spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode, yang disusun berdasarkan konsensus berbagai pihak, dengan mempertimbangkan keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman dan perkembangan masa kini.
Singkatnya, standar adalah aturan atau ukuran yang ditetapkan untuk mencapai keseragaman, kualitas, dan efisiensi dalam berbagai bidang. *Kaca kuncinya adalah aturan atau ukuran yang seragam, berkualitas, dan efisiensi.*
Apakah sama maknanya dengan standar minimum? Standar minimum adalah persyaratan terendah yang ditetapkan sebagai acuan untuk memastikan kualitas, keamanan, atau kinerja dalam suatu bidang.
Dalam jaminan kesehatan hak peserta adalah mendapatkan kebutuhan dasar kesehatan. Kebutuhan dasar kesehatan bukan dimaksudkan sebagai kebutuhan minimal tetapi adalah kebutuhan essensial.
Dalam Pasal 1 angka 4a, kebutuhan dasar kesehatan dimaknai kebutuhan essensial menyangkut pelayanan kesehatan perorangan guna pemeliharaan kesehatan, penghilangan gangguan kesehatan, dan penyelamatan nyawa sesuai dengan pola epidemiologi dan siklus hidup.
Kata kunci pelayanan kesehatan dalam schema JKN tidak mengenal pelayanan standar minimum, tetapi pelayanan dasar kesehatan yang dimaknai pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan essensial peserta JKN.
Dengan penjelasan di atas, sebaiknya perumusan yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 4b Perpres JKN Nomor 59/2024 tentang “kelas rawat inap standar adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh Peserta” perlu dikoreksi, karena mereduksi hak Peserta.
Kita menyoroti relevansi pelayanan rawat inap kelas standar, dengan lingkup kelas standar yang dielaborasi dalam Pasal 46A. Penetapan kelas standar dengan 12 kriteria pada ayat (1) sudah bagus, tetapi belum spesifik, demikian juga penetapan yang masuk dalam katagori dikecualikan sudah dicantumkan walaupun belum spesifik dalam implementasinya.
Karena belum spesifik dalam implementatif bentuk dan perapan kriteria rawat inap kelas standar, maka pada ayat (3) ketentuan lebih lanjut bentuk kriteria dan penerapan Kelas Rawat Inap Standar diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Jadi bottleneck kenapa pada akhir Juni 2025, penerapan pelayanan rawat inap kelas standar di rumah sakit belum dapat dilaksanakan, factor utamanya adalah tidak selesainya Kemenkes melaksanakan perintah ayat (3) Pasal 46A Perpres JKN 59/2024.
Belum terbitnya Permenkes tentang Bentuk dan Penetapan rawat inap kelas standar di Rumah Sakit, tentu terkait langsung dengan menentukan tariff, dan besaran iuran yang harus menyesuaikan kelas standar. Akibatnya pada 1 Juli 2025 juga belum dapat ditetapkan tariff dan iuran peserta.
Tim yang menyusun Draft Permenkes dimaksud, sudah bekerja keras untuk mengejar tenggat waktu. Tapi Kemenkes sebagai tim leader penyusunan belum berhasil menerapkan konsep perumusan kesepakatan dengan pendekatan ICO. Bagaimana semua in put (I) yang masuk, diformulasikan dengan baik, di convergensikan (C) dan dijadikan Out put (O) yang clear dan clean.
Hilangkan egosektoral, hilangkan kepentingan personal, hilangkan kepentingan bisnis. Lakukan pendekatan professional, garis lurus dengan kepentingan yang diamanatkan dalam UU SJSN terkait dengan Jaminan Kesehatan, pasti ada jalan keluar.
Tetapi jika dilandasi cara kerja, cara fikir, yang tidak benar dan tidak focus, walaupun sudah disiapkan Perpres JKN yang merubah Perpres JKN 59/2024 untuk diundurkan jangka waktu penyelesaian kelas standar, tariff dan iuran 6 bulan kedepan, sudah diduga tidak akan selesai.
Di sisi lain, cadangan asset netto DJS BPJS Kesehatan semakin tergerus, dan akan terancam mengalami deficit DJS periode Kedua. Dan akan menjadi kado terpenting bagi Direksi BPJS Kesehatan yang baru. (Azwar)
Cibubur 9 Juli 2025