BREAKING NEWS

SMPA Kecam Ucapan Bupati Aceh Besar: “Pernyataan Bernada Feodal dan Merendahkan Masyarakat”


Banda Aceh, Wartapembaruan.co.id
— Solidaritas Mahasiswa Pemuda Aceh (SMPA) mengecam keras pernyataan Bupati Aceh Besar, Syech Muharram, yang dinilai bernada arogan dan mencerminkan pola pikir feodal dalam pemerintahan.

Dalam sebuah kesempatan, Bupati Syech Muharram mengatakan, “Kapus atau laporkan ke saya kalau ada tenaga kesehatan yang nakal, akan saya pindahkan ke Leupung dan Pulo Aceh.”

Pernyataan tersebut langsung menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk SMPA yang menilai bahwa ucapan itu bukan sekadar kekeliruan, tetapi menunjukkan rendahnya kepekaan sosial dan etika seorang pejabat publik.

“Ucapan seorang kepala daerah seharusnya lahir dari kesadaran etik, bukan dari arogansi jabatan. Ancaman seperti ini menunjukkan bahwa kekuasaan di Aceh Besar belum dijalankan dalam semangat pelayanan publik,” tegas Koordinator SMPA, Rizki Aulia Zulfareza, dalam pernyataannya, Sabtu (18/10/2025).

Menurut Rizki, pernyataan Bupati Aceh Besar mencerminkan degradasi moral dan kegagalan memahami esensi reformasi birokrasi. Ia menegaskan bahwa dalam sistem pemerintahan modern, mutasi bukanlah hukuman, melainkan instrumen pembinaan dan optimalisasi pelayanan publik.

“Menjadikan mutasi sebagai ancaman adalah pelanggaran terhadap prinsip merit system dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN,” ujarnya.

Selain itu, SMPA menilai pernyataan tersebut juga menunjukkan ketidakpekaan terhadap masyarakat Leupung dan Pulo Aceh, karena mengasosiasikan wilayah tersebut sebagai tempat “pembuangan” merupakan bentuk perendahan martabat warga daerah terpencil.

“Leupung dan Pulo Aceh bukan tempat hukuman, melainkan bagian dari wajah Aceh yang justru menunggu perhatian dan cinta kebijakan. Menganggap daerah terpencil sebagai tempat pembuangan berarti gagal memahami makna kepemimpinan beradab,” lanjut Rizki.

Dari sudut pandang akademik, SMPA menilai bahwa ucapan Bupati Aceh Besar menggambarkan ketidakmatangan politik dan etika pemerintahan. Seorang pemimpin publik, kata Rizki, wajib menggunakan bahasa yang membangun, bukan menakut-nakuti.

“Komunikasi pejabat publik adalah bagian dari legitimasi moral kekuasaan. Ketika kepala daerah berbicara dengan nada ancaman, sesungguhnya ia sedang meruntuhkan wibawa moralnya sendiri,” tambahnya.

Dalam pernyataan sikap resminya, Solidaritas Mahasiswa Pemuda Aceh menyampaikan empat poin utama:

  1. Mengecam keras ucapan Bupati Aceh Besar yang bersifat tidak mendidik, diskriminatif, dan merendahkan martabat tenaga kesehatan serta masyarakat Leupung dan Pulo Aceh.
  2. Menuntut Bupati Aceh Besar untuk menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada masyarakat dan ASN atas pernyataan tersebut.
  3. Mendorong DPRK Aceh Besar untuk memanggil Bupati dan meminta klarifikasi publik, karena hal ini bukan sekadar kesalahan bahasa, tetapi pelanggaran etika pemerintahan.
  4. Menyerukan seluruh pejabat publik di Aceh agar berhenti memperlakukan rakyat dan aparatur sebagai objek kekuasaan, sebab esensi kepemimpinan adalah pelayanan, bukan penguasaan.

SMPA menegaskan bahwa gaya kepemimpinan seperti ini berbahaya bagi masa depan birokrasi Aceh, karena menciptakan budaya takut dan tunduk, bukan budaya kinerja dan tanggung jawab.

“Jika pejabat publik masih bermental feodal, maka yang rusak bukan hanya citra pemerintah, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap negara,” tegas Rizki menutup pernyataannya.

Ia juga mengajak seluruh mahasiswa, pemuda, dan masyarakat sipil Aceh untuk mengawal perilaku pejabat publik dan menegakkan etika pemerintahan yang berkeadilan.

“Kritik bukan bentuk kebencian, tapi wujud cinta terhadap daerah agar Aceh tidak tenggelam dalam feodalisme baru yang berbungkus demokrasi,” pungkas Rizki.


Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image