BREAKING NEWS

Bayangan Kekuasaan di Lampung, Pelajaran dari Rasputin hingga Dinasti Ming


Lampung, Wartapembaruan.co.id
- Isu dugaan campur tangan Kepala Inspektorat Provinsi Lampung dalam penempatan pejabat penjabat kembali membuka satu bab lama dalam sejarah politik, yakni bayangan kekuasaan yang bekerja bukan melalui jalur formal, tetapi melalui pengaruh personal dan jaringan loyalitas. 

Apa yang hari ini menjadi percakapan di koridor birokrasi Lampung, sesungguhnya adalah pola klasik yang berulang dari Rusia hingga Asia Timur selama ratusan tahun.

Dalam narasi yang berkembang, sejumlah sumber internal menggambarkan adanya pejabat-pejabat tertentu yang berperan lebih dari sekadar menjalankan tugas struktural. Mereka disebut ikut mengatur ritme organisasi, mempengaruhi keputusan teknis, hingga memunculkan ketegangan bagi pejabat yang secara formal memimpin OPD. 

Jika gambaran ini benar, Lampung sedang berhadapan dengan fenomena yang dalam sejarah dikenal sebagai shadow leadership, kepemimpinan informal yang kuat namun tidak terlihat dalam struktur resmi.

Fenomena ini pernah terjadi di Kekaisaran Rusia awal abad ke-20, ketika seorang tokoh tanpa jabatan negara, Grigori Rasputin, memiliki pengaruh besar terhadap Tsarina Alexandra. Rasputin tidak memiliki otoritas formal, namun ia mampu menentukan siapa yang dipromosikan, siapa yang disingkirkan, bahkan memengaruhi arah kebijakan. 

Birokrasi saat itu kerap berjalan bukan dari perintah struktur, melainkan dari bisikan figur yang tak tercatat dalam hierarki pemerintahan.

Pola serupa juga ditemukan dalam sejarah Asia Timur. Pada masa Dinasti Ming dan Qing di Tiongkok, sejumlah kasim istana yang tidak memegang jabatan administratif justru tumbuh menjadi kekuatan dominan di pusat pemerintahan. 

Tokoh seperti Wei Zhongxian menguasai mutasi pejabat, mengendalikan kementerian, dan menjalankan kekuasaan yang menggeser peran pejabat sipil. Sebagian kementerian dipimpin oleh pejabat formal yang sekadar “memegang stempel”, sementara keputusan strategis ditentukan oleh aktor lain yang bekerja di balik layar.

Jepang pun memiliki kisah serupa. Selama berabad-abad, Kaisar memegang legitimasi simbolik, tetapi pemerintahan nyata berada di tangan para Shogun. 

Negara memiliki dua pusat kekuasaan, yang formal dan yang efektif. Dalam banyak kasus, pejabat resmi kehilangan otoritas, sementara kendali operasional berada pada figur yang tidak tampil di permukaan. 

Inilah bentuk kekuasaan bayangan yang bertahan lama dalam sejarah negeri tersebut.

Contoh yang lebih modern dapat dilihat pada Korea Selatan era Park Chung-hee, ketika lembaga intelijen KCIA, meski bertugas sebagai pengawas, justru menjadi kekuatan yang mengendalikan birokrasi dan perputaran jabatan. 

Lembaga pengawasan berubah menjadi pusat kekuasaan informal, sementara pejabat struktural kerap berjalan di bawah arahan yang tidak tercantum dalam aturan.

Jika pola-pola ini muncul dalam birokrasi mana pun, termasuk jika benar terjadi di Lampung, sejarah memberi peringatan yang jelas bahwa ketika figur informal mengendalikan struktur formal, maka birokrasi menjadi rapuh, kompetensi dikorbankan, dan pelayanan publik terancam. 

Ketika pejabat formal tidak memegang kendali, organisasi kehilangan arah. Dan ketika loyalitas menggantikan merit, konflik kepentingan tumbuh subur.

Tentu, Pemerintah Provinsi Lampung telah memberikan bantahan resmi. Kepala BKD Lampung menyatakan bahwa seluruh proses profiling ASN, mutasi, hingga manajemen talenta adalah bagian dari Sistem Merit. Pemerintah menolak adanya intervensi Inspektorat dalam proses mutasi dan menegaskan bahwa Lampung bahkan menjadi pilot project BKN, sebuah status yang menggambarkan komitmen pada transparansi dan profesionalisme.

Namun sejarah mengingatkan kita bahwa kekuasaan bayangan tidak selalu hadir dalam dokumen resmi atau konferensi pers. Ia bekerja diam-diam melalui loyalis, ketergantungan, dan struktur informal yang tumbuh di luar hierarki. Karena itu jarak antara narasi formal dan pengalaman di lapangan sering kali lebih luas daripada yang tampak.

Pertanyaannya kini sederhana namun fundamental. 

Apakah birokrasi Lampung sedang dipimpin oleh struktur resmi, atau oleh jaringan tak terlihat yang mengatur dari balik layar?

Pelajaran dari Rusia, Dinasti Ming, hingga Jepang menunjukkan bahwa ketika pusat kekuasaan beralih ke figur yang tidak bertanggung jawab secara formal, maka integritas birokrasi menjadi taruhannya. Lampung perlu memastikan bahwa sejarah tidak mengulang dirinya dalam skala lokal.

Meritokrasi tidak cukup diumumkan, ia harus dirasakan. Dan dalam birokrasi, kepemimpinan sejati bukan diukur dari jabatan, tetapi dari siapa yang sesungguhnya membuat keputusan. (*)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image