Forum Publik Bahas Krisis Ekologis Akibat Ekspansi Industri, Pemerintah Daerah Jambi Tidak Hadir
Jambi, Wartapembaruan.co.id — Dialog publik bertajuk “Penerapan Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Ditinjau dari Aspek Hukum dan Sosial Ekologis” diselenggarakan pada Senin (24/11) di Aula FISIP Universitas Jambi. Kegiatan yang diinisiasi oleh Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) OASE ini mendapat dukungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi, sebagai respons atas meningkatnya problematika kebijakan industri dan dampaknya terhadap ruang hidup masyarakat.
Meskipun undangan resmi telah dilayangkan kepada perwakilan pemerintah daerah, pihak pemerintah tidak hadir dalam forum tersebut dan dinilai enggan membuka ruang dialog langsung bersama publik dan mahasiswa. Absennya pihak pemerintah menjadi sorotan kritis peserta forum karena dianggap mencerminkan lemahnya komitmen negara dalam mendengar persoalan masyarakat tingkat tapak.
Dialog publik menghadirkan tiga narasumber: Ginda Harahap dari WALHI Jambi, Adeb Davega Prasna, S.H., M.H. selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi, serta Diomiri, S.Pd. dari Barisan Perjuangan Rakyat. Acara dipandu oleh Bojes Fadhlur Rasyid Siregar sebagai moderator dan dibuka oleh Resti Adelia Putri selaku Ketua Pelaksana.
Ketua Umum MAPALA OASE, Yuke Vani Sinaga, dalam sambutannya menekankan pentingnya komitmen akademisi dan masyarakat sipil dalam membangun ruang diskusi yang kritis dan kolaboratif. Ia menegaskan bahwa isu lingkungan tidak boleh hanya berhenti pada slogan, melainkan harus diwujudkan melalui agenda penguatan partisipasi publik dan tata kelola industri yang berkeadilan.
“Kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian terhadap krisis lingkungan yang kian mendesak, khususnya dampak industri batu bara terhadap kerusakan ekologis dan kehidupan sosial masyarakat. Perubahan dimulai dari ruang diskusi dan partisipasi publik yang kita bentuk hari ini,” ujarnya.
Sementara itu, Raden Arya Satria, selaku Dewan Perwakilan Anggota MAPALA OASE, menilai forum ini merupakan ruang strategis mempertemukan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi lingkungan untuk merumuskan gagasan perubahan kebijakan industri di Jambi. Menurutnya, absennya pemerintah menjadi kritik penting mengenai minimnya keterbukaan negara terhadap aspirasi publik.
Ketua Pelaksana, Resti Adelia Putri, juga mengungkapkan bahwa panitia telah mengupayakan surat audiensi resmi sebelum penyelenggaraan acara, namun tidak memperoleh kepastian dari pemerintah.
“Audiensi selalu ditunda dengan alasan administrasi. Ini menunjukkan sulitnya mahasiswa dan masyarakat mengakses ruang dialog formal dengan pemerintah,” ungkapnya.
Dari perspektif hukum tata negara, Adeb Davega Prasna menyoroti perlunya penerapan prinsip good governance dalam penyusunan kebijakan industri. Ia menegaskan bahwa tata kelola industri harus berada dalam kerangka negara hukum yang menjunjung transparansi perizinan, kepatuhan regulasi, hingga penyusunan rencana tata ruang berbasis kelestarian lingkungan.
Perwakilan WALHI Jambi, Ginda Harahap, memaparkan kondisi faktual mengenai peningkatan tekanan ekologis yang muncul akibat ekspansi industri. Ia menegaskan bahwa kebijakan industri tidak dapat dilepaskan dari analisis sosial-ekologis karena masyarakat lokal menjadi pihak paling terdampak atas kerusakan lingkungan dan konflik agraria.
Narasumber dari Barisan Perjuangan Rakyat, Diomiri, S.Pd., menyuarakan tuntutan masyarakat terdampak—termasuk petani dan pedagang—yang merasa tidak memperoleh kepastian sikap dari pemerintah meski telah melakukan audiensi dan aksi publik berulang kali. Menurutnya, masyarakat membutuhkan ruang dialog yang inklusif dan keputusan yang berbasis keadilan.
Forum yang dihadiri mayoritas mahasiswa ini juga mencetuskan gagasan mengenai urgensi revisi tata ruang berbasis lingkungan, penguatan pengawasan independen terhadap aktivitas industri, serta penanganan ketimpangan politik kebijakan.
Walaupun tanpa kehadiran pemerintah, dialog publik berlangsung kritis dan produktif. Panitia berharap Pemerintah Daerah Jambi lebih terbuka terhadap ruang dialog publik ke depan, mengingat isu sosial-ekologis semakin terkait dengan pemenuhan hak dasar masyarakat.
Acara ditutup dengan seruan memperkuat kolaborasi antara kampus, masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi lingkungan untuk mendorong kebijakan industri yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.
