Ngopi Bareng di Depan Yamaha Music Berujung PHK, FSPMI Desak MA Menguatkan Putusan PHI Bandung Tanpa Mencari-Cari Alasan
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan bahwa PHK terhadap pengurus PUK SPEE FSPMI PT Yamaha Music Manufacturing Asia (PT YMMA) adalah tindakan yang tidak memiliki dasar hukum, sebagaimana secara tegas telah diputuskan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung Nomor: No. 103/Pdt.Sus-PHI/2025/PN Bdg.
Karena perusahaan memilih untuk melanjutkan perkara ini ke tingkat kasasi, FSPMI-KSPI mendesak Mahkamah Agung (MA) agar menguatkan putusan PHI Bandung tanpa keraguan sedikit pun, mengingat seluruh fakta, bukti, dan pertimbangan hukum telah diperiksa dengan sangat komprehensif oleh Majelis Hakim tingkat pertama.
Kasus ini bermula dari kegiatan sederhana yang dilakukan para pekerja, yakni "ngopi bareng" setelah jam kerja di depan area pabrik. Majelis Hakim menemukan fakta bahwa kegiatan ini dilakukan murni di luar jam kerja, dilakukan di luar pagar perusahaan, berlangsung tertib, tidak disertai orasi atau tindakan lain yang dapat dianggap sebagai aksi unjuk rasa, dan tidak menimbulkan kerusakan maupun gangguan terhadap kegiatan perusahaan.
"Hal ini bahkan ditegaskan sendiri oleh saksi dari pihak perusahaan, yaitu satpam bernama Jaenudin, yang menjelaskan bahwa tidak ada kericuhan ataupun penghalangan aktivitas kerja akibat kegiatan tersebut," ujar Ketua Umum Serikat Pekerja Elektronik Elektrik FSPMI, Abdul Bais.
Latar belakang munculnya kegiatan ngopi bareng ini adalah karena perundingan upah tahun 2024 belum mencapai kesepakatan.
Meski demikian, Majelis Hakim mencatat bahwa perselisihan terkait upah sebenarnya telah berhasil diselesaikan secara resmi melalui mekanisme mediasi di Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi. Bahkan kemudian, kedua pihak menandatangani Perjanjian Bersama pada 3 Desember 2024, yang menjadi dasar terbitnya pengumuman resmi perusahaan tentang kenaikan upah dan rapel pada 4 Desember 2024.
Dengan demikian, sengketa upah sudah tuntas dan tidak relevan lagi dijadikan alasan oleh perusahaan untuk menilai kegiatan ngopi bareng sebagai perbuatan yang melanggar hukum.
"Namun setelah masalah upah selesai, perusahaan justru melaporkan Ketua dan Sekretaris PUK ke kepolisian dengan tuduhan dugaan tindak pidana Pasal 169 KUHP. Dalam berkas perkara, polisi hanya memanggil para pengurus serikat sebagai saksi untuk klarifikasi. Tidak ada proses penyidikan lebih lanjut, tidak ada penetapan tersangka, apalagi putusan pengadilan," tegas Bais.
Meski demikian, perusahaan menggunakan laporan polisi tersebut sebagai dasar untuk menerbitkan surat PHK pada 27 Februari 2025. Perusahaan menyandarkan diri pada Pasal 61 ayat (9) PKB Yamaha tahun 2015–2016 yang memungkinkan PHK dilakukan ketika ada proses perkara pidana berdasarkan pengaduan perusahaan.
Majelis Hakim dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan pasal ini bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi. Regulasi seperti PP 35 Tahun 2021 mengatur bahwa PHK karena dugaan tindak pidana hanya dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang menyatakan pekerja bersalah.
Surat resmi dari Direktur Jenderal HI dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan pada Maret 2025 juga menegaskan bahwa PHK tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan laporan kepolisian. Majelis Hakim akhirnya menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (9) PKB Yamaha memiliki kualitas hukum yang lebih rendah dari aturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga pasal tersebut dinyatakan batal demi hukum dan tidak dapat dijadikan dasar PHK.
Dengan pasal PKB yang digunakan perusahaan terbukti tidak sah, dan dengan status para pengurus serikat yang sejak awal hanya sebagai saksi, Majelis Hakim menyatakan bahwa tindakan PHK terhadap kedua pengurus tersebut tidak memiliki alasan hukum yang dapat dibenarkan.
Presiden FSPMI, Riden Hatam Aziz, menyatakan bahwa putusan PHI Bandung sudah sangat jelas dan tidak menyisakan ruang tafsir.
Menurutnya, seluruh rangkaian fakta dan regulasi menunjukkan bahwa PHK tersebut tidak sah sejak awal. Karena itulah FSPMI mendesak Mahkamah Agung agar tidak ragu untuk menguatkan putusan tersebut.
“Majelis Hakim PHI Bandung telah memutus dengan objektif, menyeluruh, dan berdasarkan bukti yang kuat. Tidak ada dasar bagi MA untuk mengambil putusan berbeda. Yang benar harus ditegakkan,” ujar Riden.
Dijelaskannya, seluruh rangkaian fakta telah menunjukkan PHK ini tidak berdasar. Ia mengingatkan bahwa perjanjian bersama terkait upah telah ditandatangani sebelum laporan polisi dibuat, sehingga alasan disharmonis tidak dapat diterima.
“Serikat dan perusahaan sudah menyelesaikan isu upah melalui kesepakatan damai. Bagaimana mungkin setelah itu disebut disharmonis? Tidak ada dasar logis maupun hukum untuk PHK,” jelasnya.
Ditegaskan, bahwa MA tidak boleh mencari-cari alasan untuk membenarkan PHK yang tidak memiliki dasar hukum. Menurutnya, penggunaan alasan disharmonis sering dijadikan dalih untuk menghindari kewajiban hukum. Padahal dalam kasus ini, fakta menunjukkan bahwa hubungan industrial telah kembali normal setelah tercapainya Perjanjian Bersama terkait kenaikan upah. Karena itu, FSPMI meminta MA benar-benar memutus berdasarkan fakta dan hukum, bukan pertimbangan subjektif yang tidak relevan.
Riden menambahkan bahwa langkah perusahaan mengajukan kasasi tidak boleh mengaburkan substansi perkara. “MA harus berdiri pada kebenaran hukum. Kegiatan ngopi bareng setelah kerja bukan pelanggaran. Tidak ada tindakan pidana. Tidak ada kerusakan. Tidak ada gangguan. Tidak ada alasan hukum untuk PHK,” pungkas Riden Hatam Aziz. (Azwar)
