BREAKING NEWS
 

Menentukan Batas Persiapan dan Permulaan Pelaksanaan dalam Percobaan KUHP Nasional


Jakarta, Wartapembaruan.co.id
- Pemahaman yang presisi mengenai batas antara perbuatan persiapan dan permulaan pelaksanaan merupakan kunci utama untuk menjamin kepastian hukum serta mencegah penyimpangan paling berbahaya dalam hukum pidana: pemidanaan atas niat semata,(Jumat, 26 Desember 2025) 

Pendahuluan

Konsep percobaan (poging) menempati posisi strategis dalam hukum pidana modern karena berada di wilayah paling sensitif antara kebebasan kehendak individu dan kewenangan negara untuk menghukum. Percobaan bukan sekadar instrumen represif, melainkan mekanisme selektif yang menentukan kapan kehendak jahat telah menjelma menjadi ancaman nyata terhadap kepentingan hukum (rechtsgoed).

Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembentuk undang-undang secara sadar melakukan reposisi konseptual terhadap percobaan. KUHP Nasional tidak lagi bertumpu pada dikotomi kolonial kejahatan–pelanggaran, melainkan menata ulang batas pertanggungjawaban pidana berbasis tahapan perbuatan.

Titik tekan pembaruan tersebut terletak pada penegasan normatif antara niat, persiapan, dan permulaan pelaksanaan, khususnya untuk mencegah kriminalisasi dini yang berpotensi melanggar asas legalitas dan proporsionalitas.

Konsep Percobaan dalam KUHP Nasional

Pasal 17 KUHP Nasional menetapkan tiga syarat kumulatif percobaan:

• Adanya niat melakukan tindak pidana;l.

• Telah dimulainya permulaan pelaksanaan.

• Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak sendiri.

Berbeda dari KUHP lama, KUHP Nasional menghapus pembatasan percobaan hanya pada “kejahatan”, sehingga secara konseptual memperluas cakupan percobaan pada seluruh tindak pidana. Namun perlu ditegaskan, perluasan ini tidak berarti perluasan kriminalisasi, karena batas krusial tetap diletakkan pada permulaan pelaksanaan.

Perbuatan Persiapan: Zona Non-Penal

Perbuatan persiapan (voorbereidingshandelingen) adalah tindakan pendahuluan yang bertujuan menciptakan kondisi atau sarana untuk melakukan tindak pidana, namun belum menyentuh inti perbuatan pidana itu sendiri.

Pasal 15 ayat (1) KUHP Nasional secara eksplisit menguraikan bentuk persiapan, antara lain:

• memperoleh atau menyiapkan alat.

• mengumpulkan informasi.

• menyusun perencanaan.

• atau tindakan serupa yang menciptakan kondisi bagi terjadinya tindak pidana.

Norma ini menegaskan prinsip klasik hukum pidana: negara tidak menghukum potensi, melainkan ancaman nyata. Selama perbuatan masih berada pada tahap persiapan, ruang pengunduran diri masih sepenuhnya terbuka.

Pasal 16 KUHP Nasional memperkuat pendekatan non-represif ini dengan menyatakan bahwa persiapan tidak dipidana jika pelaku menghentikan atau mencegah terciptanya kondisi tindak pidana.

Namun demikian, KUHP Nasional tetap membuka pengecualian terbatas. Pasal 15 ayat (2) mengatur bahwa persiapan dapat dipidana apabila secara tegas ditentukan oleh undang-undang, khususnya pada tindak pidana dengan karakter early danger seperti terorisme atau kejahatan terhadap keamanan negara.

Permulaan Pelaksanaan: Ambang Intervensi Negara

Permulaan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen) merupakan garis batas yuridis antara kebebasan individu dan legitimasi pemidanaan.

KUHP Nasional mengadopsi pendekatan objektif-formil yang diperkaya, sebagaimana tercermin dalam Pasal 17 ayat (2), “Permulaan pelaksanaan terjadi jika perbuatan yang dilakukan ditujukan untuk terjadinya tindak pidana dan secara langsung berpotensi menimbulkan tindak pidana yang dituju.”

Dengan demikian, dua indikator utama harus terpenuhi:

• Perbuatan merupakan bagian dari rumusan delik.

• Perbuatan memiliki hubungan kausal langsung dengan terwujudnya delik. 

Contoh konkret pada tindak pidana pencurian:

• Persiapan: membeli alat, mengamati lokasi, menyusun rencana.

• Permulaan pelaksanaan: memanjat pagar, merusak kunci, mencongkel jendela.

Pada tahap ini, actus reus telah hadir, dan kepentingan hukum korban telah berada dalam ancaman nyata.

Pengunduran Diri Sukarela dan Batasnya

Pasal 18 KUHP Nasional mempertahankan doktrin klasik vrijwillige terugtred. Percobaan tidak dipidana apabila pelaku, setelah memulai pelaksanaan, secara sukarela menghentikan perbuatannya atau mencegah terjadinya akibat.

Esensi doktrin ini bukanlah kemurahan hati negara, melainkan insentif kebijakan pidana untuk mendorong pelaku menghentikan kejahatan sebelum dampak terjadi.

Sebaliknya, percobaan tetap dipidana apabila kegagalan terjadi karena:

• penghalang fisik.

• kerusakan alat.

• intervensi pihak ketiga.

• atau karakteristik khusus objek sasaran.

Penilaian “kehendak sendiri” memang bersifat subjektif, namun harus dibuktikan secara objektif melalui fakta persidangan.

Penutup

KUHP Nasional melalui Pasal 15–18 telah menata ulang konsep percobaan secara lebih rasional, proporsional, dan modern. Penegasan batas antara persiapan dan permulaan pelaksanaan bukan sekadar teknis dogmatik, melainkan jaminan konstitusional terhadap kebebasan individu.

Hukum pidana kembali ditempatkan sebagai ultimum remedium:

tidak menghukum niat,

tidak mengkriminalisasi potensi,

namun bertindak tegas ketika ancaman telah nyata.

Kejelasan normatif ini diharapkan mampu menekan subjektivitas penegakan hukum serta menjaga marwah hukum pidana sebagai instrumen keadilan, bukan alat represi.

Jika Anda menghendaki:

• versi opini yudisial (lebih normatif).

• versi jurnal akademik, atau

• versi artikel populer hukum

saya dapat menyesuaikan gaya dan kedalaman analisisnya.

 

(Alred).

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image