BREAKING NEWS
 

Pengamat Bongkar Dugaan “Greenwashing”: RTH PT SAS Dinilai Hanya Manuver Mengaburkan Agenda Stokfile dan TUKS Batubara


Jambi, Wartapembaruan.co.id
  – Rencana PT SAS membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan yang sama dengan stokfile dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) batubara memicu sorotan tajam. Pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Dr. Noviardi Ferzi, menilai langkah tersebut bukan sekadar tidak masuk akal secara ekologis, tetapi juga sarat indikasi manuver komunikasi untuk mengaburkan agenda utama ekspansi fasilitas batubara perusahaan.

Dalam analisisnya, Noviardi menegaskan bahwa menghadirkan RTH di tengah aktivitas penimbunan dan bongkar muat batubara merupakan kontradiksi terang-benderang. “RTH adalah ruang hidup sehat, bebas polusi, dan menjadi penyangga ekologi. Bagaimana itu bisa dipadukan dengan debu batubara, kebisingan alat berat, dan potensi pencemaran air? Ini bukan solusi, ini kosmetik hijau,” tegasnya.

Lebih jauh ia mengingatkan bahwa publik harus mewaspadai narasi “ramah lingkungan” yang dibungkus rapi oleh korporasi. Menurutnya, proyek RTH justru terkesan sebagai greenwashing—langkah pemolesan citra untuk meredam penolakan sosial, sementara perencanaan stokfile dan TUKS terus berjalan tanpa transparansi yang memadai. “Jika perusahaan sibuk menanam pohon simbolis tetapi enggan membuka dokumen AMDAL secara terang, itu tanda bahwa ada isu besar yang ingin dialihkan dari pantauan publik,” kritik Noviardi.

Ia juga menilai rencana tersebut memperlihatkan potret ketidakteraturan tata ruang yang lebih serius. Bila PT SAS benar-benar memiliki komitmen terhadap lingkungan, lanjutnya, yang harus dilakukan bukan memaksa ruang hijau hidup berdampingan dengan industri ekstraktif, melainkan memindahkan aktivitas batubara ke kawasan industri yang sesuai. “Tidak ada literatur lingkungan yang membenarkan fungsi optimal RTH di tengah kawasan polutif. Ini bukan restorasi ekologi—ini hanya repackaging ruang agar tampak manis di permukaan,” ujarnya.

Selain itu, Dr. Ferzi menyoroti pola yang kerap terjadi dalam proyek-proyek industri besar: penggunaan ruang hijau sebagai ‘pemanis’ untuk mencairkan resistensi masyarakat ketika perusahaan ingin memperluas operasi yang berpotensi berdampak buruk. “Publik harus kritis. Pertanyaannya bukan tentang seberapa hijau RTH itu, tetapi apakah TUKS ini sesuai tata ruang, apakah kajian dampaknya komprehensif, dan apakah masyarakat dilibatkan secara penuh,” jelasnya.

Ia menegaskan, jika RTH dipaksakan hadir di area batubara, yang lahir bukanlah ruang hijau, melainkan ironi tata kelola lingkungan. “RTH yang seharusnya meningkatkan kualitas udara justru ditempatkan di kawasan yang setiap hari berpotensi menjadi sumber polusi. Pada akhirnya, RTH itu tidak pernah benar-benar hijau—ia hanya menjadi simbol pengaburan persoalan lingkungan yang jauh lebih serius,” pungkasnya.

Berita ini menegaskan pesan penting: publik diminta waspada agar ruang hijau tidak berubah menjadi kedok atas ekspansi industri yang berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image