Perempuan Berdaya, Perempuan Dibela: Ruang Aman untuk Suara yang Selama Ini Dibungkam
Kuala Tungkal, Wartapembaruan.co.id — Kekerasan, pelecehan seksual, seksisme, dan diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi luka sosial yang belum sembuh. Ia hadir tidak hanya di ruang publik, tetapi juga menyelinap di balik pintu rumah, institusi pendidikan, dan relasi yang seharusnya memberi rasa aman.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, PASANG Social Creative Movement menggelar kegiatan bertajuk “Perempuan Berdaya, Perempuan Dibela #BELAT”, sebuah ruang aman yang dirancang khusus bagi perempuan untuk berbagi pengalaman, memperkuat kesadaran, dan membangun solidaritas.
Kegiatan ini menghadirkan Novil Cut Nizar, psikolog, serta Raudhah, aktivis perempuan, sebagai narasumber utama. Acara dibuka dengan pembacaan narasi kasus kekerasan seksual yang menggambarkan perjalanan luka seorang korban sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Narasi tersebut bukan sekadar cerita, melainkan cermin dari ribuan suara perempuan yang selama ini dipaksa bungkam demi “nama baik” dan tekanan sosial.
Narasi pembuka itu mengguncang emosi peserta. Ia mengingatkan bahwa penderitaan korban kerap berlipat bukan hanya karena kekerasan yang dialami, tetapi juga karena lingkungan yang memilih menutup mata, menyalahkan korban, bahkan memaksa mereka diam.
Dalam sesi bedah kasus, Raudhah menegaskan bahwa Indonesia sejatinya telah memiliki regulasi yang berpihak pada korban. Ia menyebut Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai landasan hukum penting.
Namun, menurutnya, hukum kerap berhenti di atas kertas. Lemahnya implementasi dan minimnya sosialisasi membuat korban kebingungan mencari keadilan.
“Yang dibutuhkan korban bukan sekadar janji atau komitmen, tetapi implementasi nyata,” tegas Raudhah.
Ia juga menyoroti urgensi pembentukan dan penguatan Satgas PPKS di setiap institusi agar korban memiliki arah perlindungan yang jelas dan aman.
Sementara itu, Novil Cut Nizar menjelaskan bahwa pelaku kekerasan seksual sering kali berasal dari lingkar terdekat korban—orang yang memiliki relasi kuasa lebih tinggi seperti anggota keluarga atau tenaga pendidik. Kondisi ini menempatkan korban dalam posisi sangat rentan, terutama ketika dukungan keluarga dan lingkungan tidak berpihak.
Diskusi semakin hidup melalui sesi interaktif dan ice breaking. Peserta secara terbuka membahas pandangan tentang perempuan, kodrat, multitasking, hingga hak perempuan untuk mengeluh. Mayoritas peserta sepakat bahwa beban berlapis yang dipikul perempuan bukanlah kodrat semata, melainkan hasil tuntutan sosial dan konstruksi budaya yang timpang.
Pada sesi hukum, narasumber memaparkan berbagai jalur pengaduan dan perlindungan bagi korban, mulai dari UPT Perlindungan Perempuan dan Anak, layanan SAPA 129, aplikasi SINPAN, hingga Rumah Perlindungan Sementara (RPS). Data yang disampaikan juga menyoroti persoalan struktural serius, salah satunya tercatat 175 kasus pernikahan di bawah umur di Kabupaten Tanjung Jabung Barat sepanjang 2025.
Menutup kegiatan, Raudhah menegaskan bahwa perempuan bukan sekadar simbol atau pelengkap pembangunan.
“Perempuan bukan hanya tiang negara, tapi konseptornya,” ujarnya.
Senada, Novil Cut Nizar mengajak masyarakat untuk membangun empati dan berhenti menghakimi korban, karena keberpihakan sosial adalah kunci pemulihan.
Acara ditutup dengan pembacaan narasi puitis yang menggaungkan semangat women support women, sekaligus harapan akan masa depan yang lebih adil dan aman bagi perempuan. Sebab ketika perempuan berdaya, perempuan harus dibela.
Penulis: Sopiyan

