BREAKING NEWS
 

Taktik Licik Kapitalisme Mengunci Nasib Buruh


oleh : Hadi Irfandi

OPINI, Wartapembaruan.co.id - Kapitalisme memprioritaskan peningkatan pendapatan jauh lebih tinggi daripada keselamatan manusia. Hal ini kembali terlihat secara nyata pada kondisi buruh perempuan di pabrik sarden Muncar. Di tengah narasi pertumbuhan industri perikanan dan murahnya produk konsumsi, terdapat praktik kerja yang telah lama se wenang-wenang. Fakta-fakta yang muncul menunjukkan bahwa masalah ini bukan peristiwa sesaat, melainkan namun benang merah dari sistem yang membiarkan ketimpangan berlangsung dalam jangka panjang.

Di pabrik sarden di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, buruh perempuan bekerja selama 10 hingga 13 jam per hari dengan upah di bawah UMK. Kondisi kerja jauh dari standar keselamatan: lantai pabrik kerap basah dan berminyak, sehingga kecelakaan seperti terpeleset, keseleo, hingga patah tulang terjadi berulang dan nyaris dianggap hal biasa. Alat Pelindung Diri tidak memadai, bahkan terdapat kasus jari terputus akibat tangan ikut terpotong saat memotong ikan dalam kondisi kelelahan dan mati rasa. 

Situasi ini diperparah oleh fakta bahwa banyak buruh tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, meskipun telah bekerja bertahun-tahun. Ironisnya, mayoritas pekerja adalah perempuan berusia 45 hingga 75 tahun. Kondisi ini berlangsung puluhan tahun di pabrik yang sama, dengan catatan kecelakaan kerja berulang, jam kerja berlebihan, dan pelanggaran upah yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas (https://x.com/i/status/2002960638927335744, 22/12/2025).

Jika praktik seperti ini terus berlangsung lama tanpa perubahan berarti, maka masalahnya tidak bisa lagi dianggap sekadar kesalahan oknum atau pengusaha tertentu. Namun biangnya adalah sistem yang membuat pelanggaran semacam ini terasa biasa dan bisa ditoleransi. Dalam praktik ekonomi kapitalistik, kelancaran produksi lebih diutamakan dibanding keselamatan buruh. Efisiensi biayanya sering diterjemahkan sebagai pemangkasan bahkan peniadaan anggaran jaminan kesehatan buruh, atau penanganan medis mereka yang sifatnya hanya "sekali jalan". Kita kembali disuguhkan kasus betapa belum cukup tegasnya pengaturan regulasi negara untuk memastikan hak-hak buruh benar-benar dijalankan.

Ketika Ketidakpedulian Menjadi Mekanisme Sistem

Budaya ketidakpedulian terhadap kondisi buruh bukan penyimpangan, melainkan bagian dari aturan main sistem kapitalistik yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi. Selama proses kerja menghasilkan output dan tidak mengganggu stabilitas pasar, penderitaan buruh cenderung tidak dianggap sebagai masalah struktural. Jam kerja panjang disebut sebagai kebutuhan industri, upah rendah dianggap konsekuensi daya saing, dan kecelakaan kerja diperlakukan sebagai risiko pribadi.

Dalam konteks ini, buruh dengan posisi sosial dan ekonomi lemahlah yang menjadi sasaran empuk. Perempuan, usia lanjut, dan pekerja yang tidak memiliki daya tawar cenderung diterima karena dianggap patuh, tidak gemar berserikat, dan tidak berani menyampaikan protes. Ketakutan kehilangan pekerjaan menjadi alat kontrol yang ampuh. Sistem ini tidak membutuhkan kekerasan terbuka, karena tekanan ekonomi sudah cukup untuk membungkam suara buruh.

Bahaya dari sistem ini tidak terbatas pada satu sektor atau wilayah. Ketika eksploitasi dianggap normal di satu industri, ia akan bergeser bagi sektor lain. Ini dikenal dengan istilah "The Butterfly Effect". Kita semua berpotensi berada dalam mimpi buruk serupa ketika perlindungan tenaga kerja dilemahkan atas nama efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Ketika standar keselamatan dan kesejahteraan ditarik ulur, yang terancam bukan hanya buruh pabrik sarden, tetapi seluruh kelas pekerja.

Semua hal tadi seharusnya dibaca sebagai penindasan yang dilakukan terhadap rakyat oleh mereka yang penghasilannya jauh diatas upah minimum.

Bagaimana Altenatif Islam?

Islam sebaga prinsip ideologi memandang kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari amanah dan ibadah. Tenaga kerja tidak diposisikan sebagai komoditas, tetapi sebagai manusia yang memiliki hak, kehormatan, dan tanggung jawab.

Firman Allah Swt.

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu" (TQS al-Maidah [5]: 1).

Buruh atau pekerja berkewajiban menunaikan jasa dan tanggung jawab kerja sesuai kesepakatan dengan pihak majikan atau perusahaan. Sebaliknya, majikan atau perusahaan diharamkan mengurangi hak pekerja, mengubah perjanjian kerja secara sepihak, maupun menunda pembayaran upah yang menjadi hak buruh.

Adapun besaran upah ditetapkan berdasarkan jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, tingkat keahlian, waktu kerja, serta kondisi dan lokasi pekerjaan. Bahkan untuk jenis pekerjaan yang sama, perbedaan waktu dan kondisi kerja dapat menjadi dasar perbedaan upah. Sebagai contoh, pekerja yang menggali sumur di lapisan tanah keras selayaknya menerima upah lebih besar dibandingkan pekerjaan serupa di tanah yang lebih lunak, karena tingkat kesulitan dan risiko yang berbeda. 

Dalam Islam, upah tidak disandarkan pada standar hidup minimum masyarakat, seperti yang dipraktikkan oleh kapitalisme di seluruh dunia (The Iron's Wage Law). Karena akan mengunci ruang gerak buruh sehingga mereka tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya.

Sedangkan kebutuhan dasar rakyat—pangan, sandang, perumahan, pendidikan, jaminan kesehatan pekerja, dan keamanan—menjadi urusan negara alias bukan dibebankan kepada pemberi kerja. Semua itu dipenuhi secara cuma-cuma kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang suku, agama, ras, dan wilayah tinggal mereka. Lebih lanjut, negara berkewajiban memastikan tetapnya nafkah bagi penduduk yang telah memasuki masa pensiun maupun mereka yang tidak lagi mampu produktif.

Penutup

Perubahan hakiki, apalagi perubahan nasib kaum muslimin tidak pernah lahir dari rahim sistem jahiliyah itu sendiri. Dahulu Rasulullah ï·º tidak pernah mencoba merombak sistem Quraisy dengan mengikuti pola kekuasaan mereka.

Hal itu harusnya menjadi petunjuk bagi kita bahwa produk aturan dari kapitalis tidak dapat diterapkan begitu saja pada populasi Muslim. Memaksakan sistem yang rapuh ini berarti tidak hanya menciptakan krisis sosial yang berulang dan menutup mata kepada kematian para pekerja namun juga lebih parah dari itu mengingat Islam telah punya seperangkat buku panduan menyeluruh yang cocok untuk masyarakat Muslim itu sendiri, bahkan dunia. Singkatnya, tragedi kemanusiaan seperti yang terjadi di Muncar akan terus berulang apabila masih menggunakan fondasi ideologis yang sama bobroknya. 

Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh serta aktif mengisi media online dengan tulisannya seputar Dakwah Ideologis. "Dari membaca, revolusi berkobar" adalah mottonya.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image