Iklan

Akankah Indonesia Menjadi Beberapa Negara Baru?

warta pembaruan
06 Januari 2021 | 9:56 PM WIB Last Updated 2021-01-08T04:36:19Z


Oleh: Abdullah Hehamahua (Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK)

Wartapembaruan.co.id - “Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan. Hal itu hanya dapat diraih dengan pengertian.” (Einstein).

Benny Wenda, 1 Desember 2020, mengumumkan kemerdekaan Papua Barat. Menkopolhukam mengatakan, Wendi membentuk negara dalam ilusi. Faktanya, OPM punya pasukan bersenjata. Namun, HTI yang hanya berwacana tentang khilafah, tanpa pasukan militer dan kegiatan kriminal, dibubarkan. Pada waktu yang sama, kita mengakui khilafah katholik dengan menempatkan dubes di Vatican.

Tragedi terbaru, polisi membunuh enam orang warga sipil di KM 50 tol Jakarta - Cikampek, 7 Desember 2020. Fenomenal, 30 Desember 2020, beberapa hari setelah HRS ditangkap, FPI dibubarkan. Semua kegiatan diharamkan, termasuk atributnya. Namun, sebelum dan sampai sekarang, keturunan PKI yang mengkampanyekan ajaran komunis, diberi karpet merah. Bahkan, mereka menjadi anggota DPR. Padahal, pasal 107a, UU No 27/1999 berbunyi, “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Apakah fenomena di atas merupakan indikator akan terjadi konflik yang mengakibatkan Indonesia menjadi beberapa negara baru.?

Brrikut, Mereka yang Pernah Menyatakan Mau Merdeka. Daerah atau organisasi yang pernah atau tetap mau melepaskan diri dari Indonesia adalah:
(1) Republik Maluku Selatan (RMS), tahun 1950;
(2) Gerakan Riau Merdeka (1950-an) di mana tahun 2006 memeringati ulang tahun dengan tokohnya, Tabrani;
(3) Organisasi Papua Merdeka (OPM), 1965. Bahkan, tahun 2018, mereka mengirim surat terbuka ke presiden Jokowi;
(4) Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dideklarasikan tahun 1976;
(5) Dua puluh ribuan mahasiswa gabungan di Makassar (1999) menuntut dibentuknya negara Sulawesi Merdeka;
(6) Muncul wacana agar pulau Kalimantan membentuk negara sendiri (2000) meliputi Sabah, Sarawak, dan Brunei;
(7) Seruan Bali membebaskan diri dari NKRI muncul sejak orba dan mencuat kembali, tahun 2012;
(8) Wacana Minahasa ingin memisahkan diri (2006) dan mencuat kembali, tahun 2017;
(9) Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) ingin memisahkan diri (2013) karena disahkannya UU Desa yang dianggap melemahkan eksistensi nagari di Sumatera Barat;
(10) Masyarakat Jogya (2012) memisahkan diri jika pemerintah mengabaikan tuntutan keistimewaan Jogjakarta.
Inilah Penyebab Mereka Mau Melepaskan Diri
Organisasi Papua Merdeka (OPM) Menjelang Sidang Umum MPR 1999, wakil pemuda Irian Jaya, meminta saya mempertemukan Tokoh-Tokoh Adat Irian Jaya dengan Presiden Habibi.

Dialog panjang dengannya, saya temukan kesimpulan: “Masyarakat asli Irian Jaya tidak hidup layak sebagai rakyat Indonesia.” Mereka bilang, sewaktu dijajah Belanda, setiap bayi baru lahir, langsung diurus pemerintah. Mau sekolah, otomatis ditangani pemerintah. Sewaktu berada dalam negara Indonesia, bayi yang baru lahir, diurus sendiri oleh orang tuanya. Mau sekolah, juga tanggung jawab sendiri. “Rakyat Irian Jaya hanya dapat ilmu panjat pohon kelapa dari pemerintah Indonesia,” katanya.

Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yoboisembut menyebutkan, ada dua motif terjadi konflik berlatar belakang separatisme di Papua: (1) Gerakan yang direkayasa pejabat sipil setempat; (2) Gerakan separatisme yang memang ingin memperjuangkan nasib bangsa Papua sendiri sebagaimana tertuang dalam deklarasi Negara Federasi Papua, 19 Oktober 1961.

“Road map” terbitan LIPI menyebutkan, penyebab lahirnya OPM karena: (a) peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia; (b) tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua; (c) proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas; (d) siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas; (e) kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan.

Temuan LIPI di atas tercermin dari data BPS tahun 2020: Papua dan Papua Barat tercatat sebagai provinsi termiskin. Orang miskin di Papua, 27,53% dan Papua Barat, 22,17%; Ada 3,65% pengangguran di Papua dan 6,24% di Papua Barat; Di Papua, 39,44% anak-anak usia SMA/SMU, tidak sekolah; Papua Barat, angkanya sebanyak 19,49%; 15,01 penduduk Papua, tidak punya jaminan kesehatan. Papua Barat, angka itu mencapai 24,83%; Di Papua, 16,95% rumah tangga, tidak punya rumah sendiri. Papua Barat, angka itu mencapai, 28,01%; Di Papua, 38,26% rumah, tidak ada WC. Papua Barat, 24,56%; Di Papua, 3,69% rumah tangga yang menggunakan air leding dan 29,15% menggunakan air sumur. Papua Barat, rumah tangga yang menggunakan air leding, 5,37% dan 28,65% menggunakan air sumur; Di Papua, 26,17% rumah tangga belum menggunakan listrik. Papua Barat, hanya 5,05%; Di Papua, 33,9% rumah tangga yang masak menggunakan minyak tanah dan 63,5% masih memakai kayu bakar. Papua Barat, ada 70,47% dan 23,79%. Data-data BPS tahun 2020 saja, Papua dan Papua Barat terkategori sebagai provinsi termiskin, apalagi masa orba. Maknanya, muncul OPM merupakan suatu keniscayaan.

Benny Giyai, rohaniwan dan intelektual Papua mengatakan, orang Papua merasa diperlakukan bukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai objek operasi militer. Bahkan, menurutnya, untuk memenangkan PEPERA, pemerintah Indonesia memutar balikan perjanjian New York yang menetapkan, “one man one vote” diganti dengan sistem perwakilan. Anggota musyawarah sejumlah 1025, ditentukan pemerintah Indonesia, bukan pilihan rakyat Papua. Apalagi, menurutnya, pelaksanaan Pepera disertai intimidasi rakyat dan pejuang Papua yang merdeka.

Robin Osborne mencatat, operasi militer (1977 - 1978) adalah operasi militer paling buruk. Disebutkan, di daerah selatan Jayapura yang dikenal sebagai daerah Markas OPM, diterjunkan 10.000 tentara setelah daerah itu dibombardir dari udara oleh dua pesawat Bronco. Agus Sumule ketika merumuskan perlunya Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dijamin pembentukannya dalam UU Otonomi Khusus untuk Papua, mengatakan 1.189 terbunuh, 13 orang hilang, dan 80 orang diperkosa. Faktanya, Pengadilan HAM dan KKR yang diwajibkan UU untuk meminta pertanggung-jawaban mereka yang terlibat, belum terwujud di Papua.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dipimpin Hasan Tiro. Tujuannya, memerdekakan Aceh dari penjajahan Jawa. Menurut mereka, selain pejabat pemerintahan didominasi orang Jawa, pengolahan, serta distribusi hasil dan potensi sumber daya alam daerah juga dikuasai orang Jawa. Contohnya, tahun 1971, di Lhoksumawe, ibukota Aceh Utara, ditemukan cadangan gas alam dalam jumlah besar. Tahun 1974 mulai dibangun pabrik LNG dan 3 tahun kemudian, sudah dipasarkan secara komersial. Aceh lalu menjadi Kawasan, industri yang strategis. Namun, kondisi fisik daerah di sekitar kawasan industri tidak berubah. Tidak heran, sampai saat ini Aceh menjadi provinsi ketujuh termiskin di Indonesia.

Faktor lain, masyarakat Aceh merasa ditipu, khususnya oleh Presiden Soekarno. Sebab, ketika meminta bantuan untuk membeli pesawat terbang, Soekarno berjanji akan memberi status daerah khusus bagi Aceh. Faktanya, sekalipun sumbangan masyarakat Aceh sebanyak 20 kg emas dan 120.000 dollar Singapura yang digunakan untuk membeli dua pesawat Dakota, tetapi Soekarno ingkar janji. Bahkan, PM pertama NKRI, M. Natsir sampai meletakan jabatannya karena PNI dan PKI menghalangi pengesahan UU Pemerintahan Daerah, termasuk status khusus Aceh.

Pada masa orde baru, sama seperti Papua dan Papua Barat, pemerintah pusat menganak-tirikan pembangunan Aceh. Hal ini dibuktikan dengan 40% orang miskin serta 49,23% penduduk berusia 16 - 18 tahun waktu itu, tidak sekolah. Penyebabnya, Golkar selalu kalah dalam Pemilu di wilayah ini. Wajar kalau GAM dideklarasikan (4 Desember 1976) dan Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) yang menurut Forum Peduli Aceh 1999, jumlah korban: Terbunuh 1.321 kasus; Hilang 1.958 kasus; Penyiksaan 3.430 kasus; Pemerkosaan 128 kasus; dan pembakaran 597 kasus.

Reformasi tidak mengubah wajah Aceh secara signifikan. Hal ini tercermin dari data-data BPS (2020): Penduduk miskin mencapai 14,99 %, peringkat ketujuh provinsi termiskin di Indonesia (10 provinsi termiskin di Indonesia: Papua, Papua Barat, NTT, Maluku, Gorontalo, Bengkulu, Aceh, NTB, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Selatan); Pengangguran 5,42%. Anak-anak usia SMA/SMU, 17,02%, tidak sekolah; Penduduk dari usia 10 tahun ke atas yang buta huruf (2016) sebanyak 2,03%; Rumah tangga yang belum mengakses air minum bersih tahun 2019, sebanyak 29,84%; Di Aceh tahun 2017: 31,67% rumah tangga yang belum punya rumah sendiri, 12,81% rumah tidak punya WC; Masih ada 4,03% rumah tangga yang menggunakan minyak tanah dan 2,77% menggunakan kayu bakar; Lama waktunya warga Aceh bersekolah hanya 8,71 tahun (2014). Maknanya, mayoritas penduduk Aceh tidak tamat SMP. Data BPS (2019-2020) saja menunjukkan kondisi Aceh seperti itu, apalagi masa orba. Maknanya, masyarakat Aceh bisa meniru Papua Barat, memisahkan diri, jika pemerintah tetap represif terhadap mereka yang berbeda pendapat. Pembunuhan 6 anggota FPI, penahanan HRS, ulama dan aktivis KAMI, serta pembubaran HTI dan FPI bisa menjadi pemicu. Apalagi, pengadilan HAM yang fair, transparan, dan akuntabel terhadap korban DOM belum dilaksanakan.


FPI Pengusaha geram terhadap FPI karena sering merazia kelab malam, panti pijat, tempat perjudian, dan rumah bordil miliknya. Pengusaha menolak aksi-aksi FPI ini karena mengganggu bisnisnya. Mereka, termasuk presiden, mengatakan, jangan campurkan agama dengan politik, ekonomi, dan pemerintahan.

Mungkin ideologi pengusaha adalah kapitalisme, liberalisme, dan komunisme.? Namun, presiden biasa bilang, “saya Pancasilais.” Pancasila yang mana.? Pancasila versi RUU HIP dan RUU BIP atau yang 18 Agustus 1945. Jika Pancasila 18 Agustus 1945, maknanya, presiden dan konco-konconya, ketika kuliah, nilai mata kuliah Pancasilanya, C, atau bahkan D. Sebab, jika nilainya B, apalagi A, mereka akan mengetahui bahwa, sila pertama yang menjadi kausa prima terhadap 4 sila lainnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila itu ditegaskan dalam UUD 45, pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Maknanya, secara konstitusional negara harus dilola berdasarkan ajaran agama. Tidak ada agama yang membenarkan perjudian dan perzinahan.

Kesalahan FPI, mereka bertindak yang bukan “job”nya. Job siapa.? Pertama, Pemda yang memberi ijin, baik usaha kelab malam, panti pijat, perjudian, maupun rumah bordil. Kedua, kepolisian yang bertugas mengawasi keamanan dan ketertiban masyarakat. Konon, sebelum beraksi, FPI melapor dan meminta pihak-pihak terkait agar menertibkan kemungkaran tersebut. Mengapa polisi tidak bertindak.? Tanyakan ke rumput yang bergoyang. Satu hal pasti, tidak ada petinggi FPI yang korupsi, menjadi bandar narkoba, atau memiliki kelab malam, panti pijat, dan rumah bordil.

Menariknya, FPI selalu muncul di kawasan bencana alam, mengevakuasi mayat dan korban. Kok FPI disamakan dengan OPM dan GAM.? OPM dan GAM diajak dialog, FPI tidak. Ribuan nyawa menjadi korban dalam konflik OPM dan GAM sementara FPI, enam orang anggotanya dibunuh secara sadis oleh polisi. Solusi Cerdas.

Segera laksanakan pengadilan HAM bagi mereka yang terlibat dalam pembunuhan warga sipil di Papua, Aceh, dan KM50 tol Jakarta - Cikampek.

Perlu perwakilan KPK di Papua, Papua Barat, dan Aceh guna mencegah KKN dengan membangun pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Khusus Papua dan Papua Barat, Pemerintah pusat menyekolahkan anak-anak korban konflik, bila perlu sampai S3. Syaratnya, selesai kuliah, mereka harus kembali berkhidmat di daerah asalnya.

Untuk Aceh, “First graduate” keturunan korban DOM dilibatkan di kementerian dan Lembaga negara tingkat pusat. Belajarlah dari SBY – JK yang mau “sowan” ke tokoh-tokoh GAM. Jika tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat diterima presiden serta bendera bintang kejora dibiarkan berkibar di depan istana, mengapa tidak bisa berdialog dengan FPI.

Sadarlah, Pancasila dan UUD 45 adalah hasil pengorbanan tokoh, ulama, dan pimpinan umat Islam. Jika empat tokoh Islam di Panitia 9 tidak mencoret 7 perkataan itu, anda sekarang tidak menjadi presiden, menteri, kepala daerah, anggota legislative dan yudikatif.

Jika pimpinan Masyumi, M.Natsir tidak mengajukan Mosi Integral, anda sekarang tidak mengenal apa itu NKRI. Apalagi, UU Minerba, Covid 19, dan Cipta Kerja merupakan pemicu terjadi konflik horizontal dan vertikal yang mengakibatkan Indonesia menjadi beberapa negara baru (Azwar).

Depok, 4 Januari 2021
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Akankah Indonesia Menjadi Beberapa Negara Baru?

Trending Now

Iklan