Iklan

Dirjen EBTKE: Biaya Produksi EBT Tenaga Surya Sudah Turun 80 Persen

warta pembaruan
23 Agustus 2022 | 11:24 AM WIB Last Updated 2022-08-23T04:24:35Z


Jakarta, Wartapembaruan.co.id -- Biaya produksi energi baru terbarukan sudah mulai turun. Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Minderal Dadan Kusdiana  mengatakan, dari sisi biaya modal atau Capex untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya turun 80 persen.

Penurunan biaya produksi ini karena adanya perbaikan dari sistem teknologi dan juga efisiensi sehingga biaya pasang per KWh turun sekitar 80 persen.

“Jadi kita sudah bisa mendapatkan energi dari dalam negeri dengan harga yang kompetitif dan semakin bersih. Banyak manfaat yang didapatkan di sisi lain terkait ketahanan energi kalau memanfaatkan dari dalam negeri, apalagi kalau teknologi dari dalam negeri bisa meningkatkan kemandirian energi,” kata Dadan dalam acara KATADATA SAFE 2022 di sesi Energi Crisis: a Threat or Opportunity, Selasa (23/8/2022).

Dadan menambahkan, Kementerian ESDM juga melakukan terobosan agar investor tertarik untuk berinvestasi di sektor energi baru dan terbarukan serta  harga jualnya juga masih terjangkau oleh masyarakat. Salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Energi Baru Terbarukan.

“Perpres EBT ini sudah hampir selesai dalam beberapa hari akan sampai ke Presiden untuk disahkan. Dalam perpres ini, energi baru terbarukan harganya distaging jadi tinggi di awal 10 tahun dengan maksud untuk mempercepat dari sisi balik modal Capex tapi setelah Capex terbayar yang diperlukan hanya untuk operasional saja sehingga harganya bisa turun,” ungkap Dadan.


Dadan menambahkan, perpres ini akan melihat produksi energi baru terbarukan dari sisi investor dan juga masyarakat. Intinya, pemerintah ingin menarik investor untuk berinvestasi di sektor EBT dan harga jualnya juga tidak terlalu mahal sehingga terjangkau oleh masyarakat.

Kata Dadan, transisi energi bisa menjadi solusi dari krisis energi yang saat ini tengah melanda dunia. Menurut dia, negara yang mengalamu krisis energi karena sebagian besarnya energinya berasal dari impor.

Karena itu, kata Dadan, Indonesia harus memulai program transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan.

“Krisis  energi yang terjadi saat ini menjadi kesempatan terbaik untuk menjalankan program transisi energi. Ini bukan program 1-2 tahun tapi jangka panjang dan melibatkan banyak pihak serta pendanaan yang tidak kecil. Ini juga mendorong kami semua untuk memastikan peta jalan transisi energi yang sudah disusun bisa tetap dijalankan,” lanjut Dadan.

Dadan menambahkan, pemerintah akan terus menjamin kebutuhan energi masyarakat. Saat ini, pemerintah tengah menyusun sejumlah opsi agar masyarakat tetap dapat energi yang cukup.

“Ada beberapa opsi yang akan dipilih, yaitu apakah harga akan dinaikkan atau memastikan bahwa yang mendapatkan subsidi energi adalah kelompok masyarakat yang tepat. Kombinasi itu yang sedang dimatangkan. Masyarakat tidak perlu khawatir karena pemerintah memastikan masyarakat akan tetap mendapatkan BBM yang cukup,” ungkap Dadan.

Menurut Dadan, saat ini, produksi migas dalam negeri mencapai 615 ribu barel per hari sedangkan kebutuhannya sudah hampir tiga kali lipat. Karena itu, sisa dari kekurangan itu diimpor dalam bentuk crude dan juga produk.

“Kalau impor kita beli dengan harga internasional dan di dalam negeri harga kita patok (subsidi-red) tujuannya agar masyarakat mendapatkan energi yang cukup terjangkau. Dua konteks ini yang terus kita jaga yaitu membeli dengan harga internasional dan kemampuan masyarakat untuk membeli bahan bakar tersebut,” pungkas Dadan.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dirjen EBTKE: Biaya Produksi EBT Tenaga Surya Sudah Turun 80 Persen

Trending Now

Iklan