BREAKING NEWS

Pemerhati Hukum Bandingkan OTT Noel dan Abdul Wahid: Publik Diminta Jernih Baca Fakta

Abdul Wahid (kiri) dan Immanuel Ebenezer.

PEKANBARU Wartapembaruan.co.id
— Pemerhati dan pegiat sosial, hukum, politik, budaya, dan ekonomi, Rinaldi, S.Sos., S.H., meminta publik tidak menyamakan kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel dan OTT terhadap Gubernur Riau (Berhalangan Sementara) Abdul Wahid. 

Menurut dia, dua peristiwa itu memiliki perbedaan mendasar dari sisi bukti, prosedur, hingga konsistensi narasi, sehingga tidak dapat dipukul rata sebagai kasus korupsi yang serupa.

“Banyak orang langsung berkesimpulan bahwa dua OTT ini sama saja. Padahal struktur bukti, unsur hukum, dan kualitas prosedurnya berbeda jauh,” ujar Rinaldi, Jumat, 14 November 2025.

Ia menilai, kecenderungan publik menyamakan dua perkara karena melihatnya dari permukaan—yakni sama-sama OTT—tanpa menelaah detail substansi hukumnya. 

Akibatnya, muncul generalisasi bahwa setiap pejabat yang ditangkap KPK pasti bersalah, meski unsur delik belum diuji.

OTT Noel: Bukti Melimpah, Narasi Konsisten

Rinaldi menyebut OTT terhadap Noel sebagai contoh operasi penindakan yang memenuhi standar hukum. 

KPK memaparkan bukti fisik berupa uang tunai, kendaraan, rekening dan buku tabungan, catatan transaksi, hingga percakapan elektronik terkait dugaan pemerasan dalam proses sertifikasi K3.

“Dalam konteks tertangkap tangan menurut KUHAP, OTT Noel ini sangat jelas. Ada transaksi berjalan, ada barang bukti, ada kesesuaian narasi dari awal sampai akhir,” ujarnya.

Ia menilai tidak ada perbedaan informasi yang disampaikan KPK sejak hari pertama. 

Selain itu, kasus tersebut tidak menimbulkan kegaduhan administratif maupun politik sehingga publik dapat fokus pada proses hukum.

OTT Abdul Wahid: Kejanggalan Narasi dan Minim Bukti

Berbeda dengan Noel, Rinaldi menilai OTT terhadap Abdul Wahid menyisakan banyak pertanyaan. 

Mulai dari perubahan narasi lokasi penangkapan—yang disebut berganti dari kafe menjadi barbershop—hingga ketiadaan uang atau transaksi yang ditemukan saat penangkapan.

“Yang disampaikan baru dugaan permintaan fee lima persen. Itu berbeda dengan penerimaan. Padahal unsur penerimaan sangat penting dalam pasal-pasal tipikor,” katanya.

Ia menambahkan, ketiadaan barang bukti fisik membuat konstruksi hukum dalam kasus ini berpotensi lemah jika diuji melalui praperadilan.

Rinaldi juga menyoroti dinamika administratif pasca-OTT, termasuk hilangnya foto Abdul Wahid dari laman PPID Pemprov Riau dan penggunaan istilah “nonaktif” meski belum berstatus terdakwa. 

Tindakan Pelaksana Harian (Plh.) yang mengambil keputusan strategis seperti mutasi pejabat dinilainya melampaui kewenangan.

“Ketika langkah administratif melampaui aturan, publik patut bertanya apakah penegakan hukum berdiri di ruang netral atau ada tarik-menarik politik,” kata Rinaldi.

Fondasi Berbeda, Dampak Berbeda

Menempatkan dua OTT itu berdampingan, Rinaldi melihat timpangnya kualitas penegakan hukum yang terjadi. 

OTT Noel dinilai kokoh dengan unsur lengkap, sementara OTT Abdul Wahid disebut berjalan dengan narasi berubah-ubah dan minim bukti fisik.

“Keadilan bukan hanya menghukum yang bersalah, tetapi memastikan prosedur dijalankan dengan benar. Publik harus tetap jernih membaca fakta, bukan menyamakan dua kasus yang berbeda bobot hukumnya,” ujar Rinaldi. ***Q ya

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image