BREAKING NEWS
 

Dari Jalanan ke Pengadilan: Mengapa Sengketa Penagihan Utang Tidak Boleh Diselesaikan dengan Kekerasan


Jakarta, Wartapembaruan.co.id
- Sabtu, 20 Desember 2025. Meningkatnya konflik dalam praktik penagihan utang menunjukkan satu persoalan mendasar: penyimpangan penyelesaian sengketa keperdataan ke ruang publik dengan cara-cara kekerasan. Padahal, hukum secara tegas telah menetapkan batas kewenangan para pihak serta menyediakan mekanisme penyelesaian yang sah, beradab, dan berkeadilan melalui pengadilan.

Dalam beberapa waktu terakhir, publik disuguhi berbagai peristiwa penagihan utang yang berujung pada tindakan anarkis—mulai dari penghadangan kendaraan di jalan, perampasan paksa objek jaminan, hingga aksi main hakim sendiri yang memicu korban jiwa. Salah satu peristiwa yang menyita perhatian luas adalah meninggalnya seorang penagih utang di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, yang diduga dipicu oleh eskalasi konflik saat proses penagihan berlangsung. Kasus tersebut menegaskan bahwa penagihan utang yang keluar dari koridor hukum bukan hanya melahirkan sengketa perdata, tetapi juga persoalan ketertiban umum dan pidana.

Fenomena ini memperlihatkan dua persoalan yang saling terkait. Di satu sisi, masih terdapat praktik penagihan oleh sebagian debt collector yang melampaui batas kewenangan hukum, seperti intimidasi, ancaman, dan pemaksaan pengambilan objek jaminan di ruang publik. Di sisi lain, respons masyarakat terhadap praktik tersebut kerap diwujudkan dalam bentuk kekerasan dan tindakan main hakim sendiri, yang justru memperpanjang rantai pelanggaran hukum.

Penagihan Utang dalam Bingkai Hukum

Dalam sistem hukum Indonesia, hubungan antara kreditur dan debitur merupakan hubungan hukum keperdataan. Ketika debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan, kondisi tersebut dikualifikasikan sebagai wanprestasi. Konsekuensi hukumnya adalah timbulnya hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, atau pelaksanaan eksekusi atas jaminan—semuanya melalui mekanisme hukum yang telah ditentukan.

Penagihan utang tidak dapat dijadikan dalih untuk melakukan tindakan melawan hukum. Hukum tidak memberikan legitimasi kepada siapa pun, termasuk kreditur atau pihak yang mewakilinya, untuk memaksakan kehendak dengan cara-cara yang mengancam keselamatan orang lain dan ketertiban umum. Oleh karena itu, batas kewenangan debt collector sebagai pihak yang melakukan penagihan atas nama kreditur diatur secara tegas.

Debt collector dilarang menggunakan ancaman, kekerasan fisik maupun psikis, serta tidak dibenarkan melakukan perampasan paksa terhadap objek jaminan, terlebih jika dilakukan di ruang publik tanpa dasar hukum yang sah. Ketika penagihan dilakukan dengan cara-cara tersebut, perbuatan itu tidak lagi berada dalam ranah perdata, melainkan berpotensi masuk ke ranah pidana.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor 2/PUU-XIX/2021 telah memberikan penegasan konstitusional bahwa parate eksekusi tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh kreditur apabila terdapat keberatan dari debitur mengenai adanya wanprestasi.

Mahkamah juga menegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia hanya dapat dilakukan apabila terdapat kesepakatan mengenai terjadinya wanprestasi dan kesediaan debitur untuk menyerahkan objek jaminan secara sukarela. Apabila kesepakatan tersebut tidak tercapai, penyelesaian sengketa wajib ditempuh melalui jalur hukum, termasuk melalui pengadilan.

Pengadilan sebagai Jalan Beradab

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pengadilan menempati posisi sentral dalam penyelesaian sengketa penagihan utang dan eksekusi jaminan fidusia. Ketika terjadi perbedaan pandangan antara kreditur dan debitur, pengadilan merupakan forum konstitusional yang diberi kewenangan untuk menilai, memeriksa, dan memutus sengketa secara objektif.

Peran pengadilan mencakup tiga fungsi utama. Pertama, menilai apakah benar telah terjadi wanprestasi sebagaimana didalilkan oleh kreditur. Kedua, memeriksa keberatan debitur, baik terkait substansi wanprestasi maupun tata cara eksekusi. Ketiga, menjaga keseimbangan antara hak kreditur untuk memperoleh pelunasan piutangnya dan kewajiban negara dalam memberikan perlindungan hukum kepada debitur sebagai warga negara.

Lebih dari itu, pengadilan berfungsi sebagai instrumen pencegahan konflik sosial. Ketika sengketa dialihkan dari jalanan ke ruang sidang, potensi benturan fisik, tindakan main hakim sendiri, dan kekerasan dapat diminimalkan. Sebab, praktik main hakim sendiri kerap melahirkan persoalan hukum baru, di mana pihak yang semula merasa dirugikan justru berubah posisi menjadi pelaku tindak pidana.

Penting dipahami bahwa baik penagih utang maupun masyarakat sama-sama terikat oleh hukum. Penagih yang melakukan intimidasi, perampasan, atau kekerasan jelas melanggar hukum. Sebaliknya, masyarakat yang merespons dengan pengeroyokan, perusakan, atau pembakaran atas nama perlawanan terhadap ketidakadilan juga tidak memperoleh pembenaran hukum.

Instrumen Hukum yang Tersedia

Negara telah menyediakan mekanisme hukum yang memadai. Untuk sengketa utang piutang yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan bernilai tidak lebih dari Rp500 juta, kreditur dapat menempuh gugatan sederhana sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019. Mekanisme ini memungkinkan pemeriksaan perkara secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan, dengan jangka waktu penyelesaian paling lama 25 hari kerja sejak sidang pertama.

Sementara itu, terhadap utang piutang yang dituangkan dalam akta notariil berkekuatan eksekutorial—seperti grosse akta pengakuan utang—kreditur dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri tanpa perlu mengajukan gugatan. Skema ini menegaskan bahwa pengadilan merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melaksanakan eksekusi secara sah.

Menegakkan Kesadaran Hukum

Pencegahan konflik penagihan utang yang berujung pada kekerasan mensyaratkan peningkatan kesadaran hukum semua pihak. Bagi pelaku usaha, kepatuhan terhadap mekanisme hukum bukan sekadar kewajiban normatif, melainkan prasyarat untuk menjaga legitimasi usaha dan kepercayaan publik. Bagi masyarakat, pengendalian diri dan kepercayaan pada jalur hukum merupakan kunci agar ketidakadilan tidak dibalas dengan pelanggaran hukum baru.

Dalam konteks inilah pengadilan hadir sebagai solusi konstitusional yang beradab. Pengadilan tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan hak asasi warga negara, sekaligus menjadi penyangga agar konflik sosial tidak diselesaikan melalui kekerasan.


(Alred)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image