Keadilan yang Terluka: Refleksi Hukum di Tengah Krisis Relasi Manusia dan Alam
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Bencana ekologis di Indonesia kerap dipahami sebagai rangkaian peristiwa alam yang datang silih berganti: banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, abrasi pesisir, hingga krisis air bersih. Dalam narasi publik, peristiwa-peristiwa tersebut sering ditempatkan sebagai konsekuensi geografis yang tidak terelakkan. Cara pandang ini terdengar wajar, namun sesungguhnya menyederhanakan persoalan sekaligus menutupi peran manusia dan hukum dalam membentuk kerentanan ekologis,(Minggu, 28 Desember 2025).
Secara filosofis, bencana ekologis tidak berdiri sebagai fenomena alam semata, melainkan sebagai cerminan dari pilihan-pilihan hukum dan kebijakan pembangunan. Ketika kerusakan lingkungan terus dibiarkan, bencana menjadi konsekuensi logis dari sistem hukum yang gagal mengendalikan relasi manusia dengan alam.
Jika ditelaah lebih jauh, bencana ekologis merupakan akumulasi dari kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Alih fungsi kawasan hutan, eksploitasi sumber daya alam berskala besar, serta perencanaan tata ruang yang tidak berbasis ekosistem telah menciptakan kondisi ekologis yang rapuh. Dalam konteks ini, bencana bukanlah anomali, melainkan manifestasi dari kegagalan sistemik.
Krisis Relasi Manusia, Alam, dan Hukum
Bencana ekologis mencerminkan krisis mendalam dalam relasi antara manusia dan alam. Hukum modern, termasuk hukum lingkungan, lahir dari paradigma antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai. Alam direduksi menjadi objek pengelolaan dan sumber keuntungan ekonomi. Selama paradigma ini tidak dikoreksi, hukum berpotensi terus melegitimasi praktik-praktik yang merusak lingkungan.
Pandangan antroposentris tersebut memengaruhi cara hukum memaknai kerusakan lingkungan. Kerusakan baru dianggap relevan ketika menimbulkan kerugian ekonomi, korban jiwa, atau gangguan langsung terhadap aktivitas manusia. Padahal, kerusakan ekologis bersifat gradual, kumulatif, dan sering kali baru dirasakan setelah melewati titik kritis yang sulit dipulihkan.
Dalam perspektif filsafat hukum, bencana ekologis merupakan kegagalan keadilan ekologis. Keadilan tidak lagi cukup dimaknai sebagai relasi antarindividu atau antara warga negara dan negara, melainkan juga sebagai relasi antargenerasi dan relasi manusia dengan alam. Generasi saat ini menikmati manfaat eksploitasi sumber daya alam, sementara generasi mendatang mewarisi risiko dan kerusakan yang tidak pernah mereka pilih.
Secara normatif, Indonesia telah memiliki fondasi hukum yang cukup kuat dalam perlindungan lingkungan hidup. Konstitusi menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, diperkuat dengan berbagai undang-undang sektoral yang mengatur prinsip pencegahan, kehati-hatian, dan pertanggungjawaban. Namun, kekuatan normatif ini sering berhenti pada tataran teks.
Persoalan utama terletak pada karakter hukum lingkungan yang cenderung administratif dan prosedural. Perizinan menjadi pusat pengaturan, sementara pertimbangan ekologis substantif kerap terpinggirkan. Akibatnya, suatu kegiatan dapat dinyatakan sah secara hukum karena memenuhi prosedur, meskipun secara ekologis berpotensi menimbulkan kerusakan serius.
Bencana ekologis juga membuka tabir relasi kuasa dalam penegakan hukum. Pelaku perusakan lingkungan umumnya memiliki sumber daya ekonomi dan akses politik yang kuat, sementara masyarakat terdampak berada dalam posisi tawar yang lemah. Ketimpangan ini tercermin dalam proses hukum yang panjang, mahal, dan sarat beban pembuktian bagi korban.
Dalam banyak kasus, masyarakat terdampak tidak diperlakukan sebagai korban kejahatan lingkungan, melainkan sebagai pihak yang harus menyesuaikan diri dengan risiko pembangunan. Negara hadir melalui bantuan darurat dan rehabilitasi pascabencana, namun kerap absen dalam memastikan pertanggungjawaban hukum atas penyebab struktural bencana tersebut.
Dari sudut pandang pembuktian hukum, perkara lingkungan hidup menghadapi tantangan yang kompleks. Kerusakan lingkungan bersifat tidak langsung, melibatkan banyak aktor, dan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Jika hukum tetap mengandalkan pembuktian kausalitas linear dan kesalahan individual, banyak pelanggaran lingkungan akan terus luput dari jerat hukum.
Oleh karena itu, hukum lingkungan memerlukan pergeseran paradigma. Prinsip kehati-hatian dan pencegahan harus ditempatkan sebagai kewajiban substantif negara, bukan sekadar formalitas administratif. Negara perlu berani menolak aktivitas yang berisiko tinggi terhadap lingkungan, meskipun menjanjikan keuntungan ekonomi jangka pendek.
Keadilan Hukum dalam Bayangan Bencana Ekologis
Keadilan hukum dalam konteks bencana ekologis tidak dapat dipersempit pada mekanisme penyelesaian sengketa. Keadilan harus dipahami sebagai kondisi ketika hukum mampu mencegah kerusakan, melindungi kelompok rentan, serta memastikan bahwa beban risiko lingkungan tidak dipikul secara timpang oleh masyarakat. Dalam kerangka ini, hukum berfungsi bukan hanya sebagai alat pemulihan, tetapi juga sebagai instrumen pengarah pembangunan.
Pertanyaan mendasar yang patut diajukan bukan semata siapa yang bertanggung jawab, melainkan bagaimana hukum memahami perannya sendiri di tengah krisis ekologis yang berulang. Bagaimana mungkin hukum berbicara tentang keadilan jika ia baru hadir setelah ruang hidup rusak dan risiko telah ditanggung masyarakat?
Refleksi ini penting agar hukum tidak berhenti sebagai perangkat normatif, melainkan menjadi kompas etis dalam menentukan arah pembangunan. Hukum harus dipahami sebagai sistem nilai yang membentuk kebijakan, perilaku aparatur negara, dan praktik ekonomi.
Dalam kerangka keadilan ekologis, tata kelola lingkungan yang demokratis menjadi prasyarat utama. Partisipasi publik yang bermakna, akses terhadap informasi lingkungan, serta mekanisme pengawasan yang efektif harus dijamin sebagai bagian dari perlindungan ruang hidup bersama.
Negara juga perlu melakukan refleksi mendasar terhadap paradigma pembangunan yang dianut selama ini. Pembangunan yang mengorbankan lingkungan pada akhirnya menghasilkan biaya sosial, ekonomi, dan hukum yang jauh lebih besar. Bencana ekologis merupakan sinyal bahwa pendekatan eksploitatif telah mencapai batas daya tahannya.
Pada akhirnya, bencana ekologis adalah persoalan hukum, etika, dan keadilan dalam arti yang paling mendasar. Ia menantang hukum untuk tidak bersikap netral terhadap kerusakan lingkungan yang lahir dari praktik pembangunan. Keadilan hukum hanya dapat terwujud jika hukum berani mengambil posisi: melindungi lingkungan, membatasi kekuasaan yang merusak, dan menempatkan keselamatan ekologis sebagai kepentingan publik utama.
Tanpa transformasi peran hukum tersebut, bencana ekologis akan terus hadir bukan sebagai anomali, melainkan sebagai konsekuensi yang berulang.
Referensi
• Rahardjo, S. Hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
• Safitri, M. A. “Keadilan Lingkungan dan HAM dalam Tata Kelola SDA.” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 2014.
• Indrawan, M., Primack, R., & Supriatna, J. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
(Alred)

