Koalisi Pemuda Aceh Dorong Hak Angket DPR soal Lambannya Penetapan Bencana Nasional, Surati Parlemen dengan Stempel Darah
Aceh Timur, Wartapembaruan.co.id — Koalisi Pemuda Aceh secara resmi telah mengirimkan surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mendesak penggunaan hak angket DPR atas kebijakan Presiden Republik Indonesia yang hingga saat ini belum menetapkan status bencana nasional terhadap bencana besar yang melanda Provinsi Aceh.
Surat tersebut disampaikan sebagai peringatan moral dan politik kepada negara, menyusul jatuhnya korban jiwa, penderitaan pengungsi, serta keterlambatan negara dalam merespons krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Aceh. Koalisi Pemuda Aceh menilai bahwa sikap pasif negara dalam situasi ini tidak hanya memperpanjang penderitaan rakyat, tetapi juga mencerminkan kegagalan tanggung jawab konstitusional.
Koalisi Pemuda Aceh menegaskan bahwa skala bencana di Aceh telah memenuhi indikator substantif sebagai bencana nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Berdasarkan Data Posko Tanggap Darurat Aceh per 23 Desember 2025, tercatat 2.017.542 jiwa terdampak di 18 kabupaten/kota, 202 kecamatan, dan 3.543 desa. Jumlah korban meninggal dunia mencapai 502 orang, sementara 31 orang masih dinyatakan hilang. Selain itu, lebih dari 374.000 jiwa masih hidup sebagai pengungsi di 2.174 titik, dengan kondisi yang jauh dari standar hidup layak serta tanpa kepastian relokasi.
Lebih jauh, dari sisi infrastruktur dan ekonomi, bencana ini telah menyebabkan kerusakan yang bersifat masif dan sistemik. Sedikitnya 1.098 titik jalan, 492 jembatan, dan 124.545 unit rumah mengalami kerusakan. Pada saat yang sama, puluhan ribu hektare lahan pertanian dan tambak yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan masyarakat Aceh turut hancur. Kondisi tersebut memperluas dampak bencana dari sekadar krisis kemanusiaan menjadi krisis ekonomi dan sosial struktural. Hingga kini, belum terdapat peta pemulihan dan rekonstruksi yang transparan, terukur, serta terintegrasi dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Menanggapi situasi tersebut, Nanda Rizki, perwakilan Koalisi Pemuda Aceh, menegaskan bahwa DPR RI tidak boleh bersikap pasif.
“Jika DPR tidak menggunakan hak angket dalam situasi ini, maka parlemen secara sadar membiarkan krisis kemanusiaan berlangsung. Hak angket bukan pilihan politik, melainkan kewajiban konstitusional,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa absennya penetapan bencana nasional bukan lagi persoalan administratif semata.
“Ketika lebih dari dua juta rakyat Aceh terdampak, ratusan nyawa melayang, dan ratusan ribu orang hidup dalam pengungsian tanpa kepastian, maka tidak adanya penetapan bencana nasional adalah bentuk kelalaian politik dan pengingkaran terhadap tanggung jawab konstitusional negara,” lanjut Nanda Rizki.
Menurutnya, hak angket DPR merupakan instrumen konstitusional yang sah untuk membuka pertanggungjawaban negara sebagai konsekuensi logis dari prinsip negara demokrasi.
“Surat yang kami kirimkan dengan ‘stempel darah’ adalah simbol peringatan. Jika parlemen memilih diam, maka DPR ikut menanggung beban moral atas krisis kemanusiaan ini. Hak angket harus digunakan untuk memastikan negara benar-benar hadir bagi rakyat Aceh,” ujar Nanda Rizki.
Koalisi Pemuda Aceh selanjutnya menegaskan bahwa penetapan status bencana nasional merupakan prasyarat fundamental untuk memastikan kehadiran negara secara penuh dalam situasi krisis kemanusiaan berskala luas. Status tersebut tidak sekadar menjadi label administratif, melainkan instrumen hukum dan politik untuk mempercepat mobilisasi sumber daya nasional, memperkuat koordinasi lintas kementerian dan lembaga, serta menjamin pemenuhan hak-hak dasar korban bencana secara menyeluruh dan berkelanjutan. Tanpa penetapan tersebut, penanganan bencana di Aceh berpotensi terus terfragmentasi, lamban, dan tidak sebanding dengan skala penderitaan rakyat.
Lebih lanjut, Koalisi Pemuda Aceh menilai bahwa penetapan bencana nasional juga penting untuk membuka ruang kerja sama dan bantuan kemanusiaan internasional secara sah, terkoordinasi, dan akuntabel. Mengingat luasnya wilayah terdampak, besarnya jumlah korban, serta kerusakan sosial-ekonomi yang bersifat struktural, keterlibatan komunitas internasional merupakan bagian dari tanggung jawab negara dalam menjamin keselamatan dan pemulihan warganya.
Menanggapi isu tersebut, Nanda Rizki menegaskan:
“Bantuan luar negeri harus dilihat sebagai bentuk solidaritas dan kemanusiaan universal, bukan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara. Ketika negara menghadapi krisis kemanusiaan berskala besar dan kapasitas nasional terbukti tidak memadai, membuka ruang bantuan internasional justru merupakan wujud tanggung jawab negara dalam melindungi keselamatan rakyatnya.”
Dalam surat yang dikirimkan kepada DPR RI, Koalisi Pemuda Aceh secara eksplisit menyampaikan tuntutan dan rekomendasi kebijakan agar parlemen menggunakan hak angket sebagai alat tekanan politik konstitusional guna mendorong koreksi kebijakan pemerintah. Koalisi mendesak DPR RI untuk memanggil Presiden Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta kementerian dan lembaga terkait dalam forum resmi DPR RI guna memberikan keterangan terbuka mengenai dasar pengambilan kebijakan, pola koordinasi penanganan bencana, serta alasan tidak ditetapkannya status bencana nasional hingga saat ini.
Koalisi Pemuda Aceh menegaskan bahwa tekanan politik melalui hak angket DPR bukanlah bentuk konfrontasi kekuasaan, melainkan mekanisme koreksi dalam negara demokratis ketika kebijakan pemerintah menjauh dari prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab konstitusional. Dalam konteks ini, parlemen dihadapkan pada pilihan historis: menjalankan fungsi pengawasan secara tegas demi kepentingan rakyat Aceh, atau membiarkan krisis kemanusiaan ini berlanjut tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Koalisi Pemuda Aceh menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa surat dengan “stempel darah” ini adalah batas terakhir peringatan. Jika negara tetap abai, maka penderitaan rakyat Aceh akan menjadi dakwaan moral yang tak terhapuskan dalam sejarah republik.

