Listrik Padam Berhari-hari Pasca Banjir di Aceh: Pelanggaran Hak Rakyat dan Kegagalan Negara
Pidie Jaya, Aceh, Wartapembaruan.co.id - Saya, Dedi Saputra, Ketua Aliansi Solidaritas Pemuda Pidie Jaya, menegaskan bahwa padamnya listrik secara meluas dan berkepanjangan di Aceh pasca bencana banjir merupakan bukti nyata kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya terhadap rakyat. Kondisi ini tidak dapat lagi dibenarkan sebagai gangguan teknis semata, melainkan telah menjelma menjadi pelanggaran hak dasar warga negara atas pelayanan publik yang layak.
Banjir adalah peristiwa alam, namun lumpuhnya sistem kelistrikan adalah akibat langsung dari kelalaian struktural, perencanaan yang buruk, serta lemahnya pengawasan pemerintah dan lembaga legislatif terhadap penyelenggara layanan publik, khususnya PLN. Setiap bencana, rakyat Aceh selalu dipaksa membayar mahal akibat sistem yang tidak pernah dibenahi secara serius.
Dalih pemadaman demi keselamatan justru memperlihatkan ketidaksiapan negara dalam membangun infrastruktur kelistrikan yang adaptif terhadap risiko bencana dan perubahan iklim. Gardu listrik yang dibangun di kawasan rawan banjir, ketiadaan jaringan cadangan, serta lambannya pemulihan menunjukkan kelalaian yang bersifat sistemik dan berulang.
Padamnya listrik berhari-hari telah melumpuhkan:
Layanan kesehatan dan keselamatan pasien
Distribusi air bersih dan sanitasi
Aktivitas ekonomi rakyat kecil dan UMKM
Proses pendidikan dan keamanan lingkungan
Ini menegaskan bahwa negara telah membiarkan rakyat berada dalam kondisi darurat tanpa perlindungan yang memadai.
RUJUKAN HUKUM DAN KEWAJIBAN NEGARA
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas kesejahteraan, lingkungan yang baik, dan pelayanan publik yang layak. Padamnya listrik berkepanjangan jelas bertentangan dengan amanat konstitusi.
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan negara dan BUMN memberikan pelayanan yang berkualitas, berkesinambungan, dan bertanggung jawab. Kegagalan berulang ini merupakan indikasi maladministrasi serius.
UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menegaskan bahwa penyediaan tenaga listrik harus menjamin keandalan, keselamatan, dan kontinuitas pelayanan. Fakta di lapangan menunjukkan kewajiban ini diabaikan.
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mewajibkan negara memastikan keberlanjutan pelayanan dasar pascabencana. Padamnya listrik tanpa skema darurat adalah bentuk pengabaian tanggung jawab hukum.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menegaskan kewajiban Pemerintah Aceh dan DPR Aceh/DPRK dalam pengawasan dan perlindungan kepentingan rakyat Aceh. Bungkamnya lembaga legislatif adalah pengkhianatan fungsi pengawasan.
TUNTUTAN TEGAS ALIANSI SOLIDARITAS PEMUDA PIDIE JAYA
PLN Wilayah Aceh wajib memberikan pertanggungjawaban terbuka kepada publik, bukan sekadar klarifikasi normatif.
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus segera melakukan audit independen terhadap seluruh infrastruktur kelistrikan di wilayah rawan banjir.
DPR Aceh dan DPRK Pidie Jaya segera memanggil PLN dan eksekutif daerah dalam rapat terbuka, bukan memilih diam dan menjadi penonton penderitaan rakyat.
Relokasi dan penguatan gardu listrik di wilayah rawan banjir harus menjadi kebijakan prioritas dengan tenggat waktu yang jelas.
Penyediaan listrik darurat untuk fasilitas vital (rumah sakit, puskesmas, air bersih, pusat evakuasi) adalah kewajiban hukum, bukan belas kasihan.
Evaluasi dan pencopotan pimpinan PLN di Aceh patut dipertimbangkan apabila kegagalan sistemik ini terus berulang tanpa perbaikan nyata.
Kami menegaskan, tidak ada alasan hukum maupun moral untuk membiarkan rakyat hidup dalam gelap pascabencana. Jika negara terus abai, maka Aliansi Solidaritas Pemuda Pidie Jaya siap mengambil langkah advokasi konstitusional, termasuk pelaporan ke Ombudsman RI, Kementerian ESDM, Komnas HAM, serta mobilisasi tekanan publik secara terbuka.
Listrik adalah hak, bukan privilese. Negara wajib hadir, bukan bersembunyi di balik bencana.

