Membaca Tragedi Sumatera Dengan Kacamata ‘Green Criminology’
Oleh Dr. Bagus Sudarmanto, S.Sos., M Si.
OPINI, Waetapembaruan.co.id - Banjir bandang dan longsor yang berulang di berbagai wilayah Sumatera diklasifikasikan sebagai bencana hidrometeorologis – bencana yang dipicu oleh interaksi unsur cuaca dan air. Istilah ini terdengar netral dan ilmiah, namun problematis karena secara implisit menempatkan peristiwa tersebut sebagai akibat semata faktor alam.
Cara pandang ini menjadi semakin bermasalah ketika dihadapkan pada skala dampaknya, di mana lebih dari 1.006 orang lebih meninggal dunia, ratusan lainnya masih dinyatakan hilang, dan lebih dari 654.642 penduduk terpaksa mengungsi. Ketika tragedi sebesar ini disederhanakan sebagai “bencana alam”, dimensi tanggung jawab manusia dalam proses kerusakan lingkungan cenderung menguap, sementara korban terus menanggung beban sosial, ekonomi, dan ekologisnya.
Di sinilah perspektif green criminology – sebuah aliran pemikiran kritis dalam kriminologi sejak akhir 1980-an -- menjadi relevan dan penting. Pendekatan ini memandang kerusakan lingkungan bukan sebagai musibah semata, melainkan sebagai hasil dari tindakan, keputusan, dan kelalaian manusia. Kerusakan lingkungan yang terjadi dipahami sebagai environmental harm, yakni bentuk kerugian ekologis dan sosial melalui aktivitas ilegal maupun legal. Dengan lensa ini, banjir dan longsor di Sumatera tidak dapat dilepaskan dari deforestasi (baca: penggundulan hutan), degradasi (kemerosotan fungsi) daerah aliran sungai, ekspansi perkebunan dan pertambangan, serta kebijakan tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Hutan yang gundul kehilangan kemampuan menyerap dan menahan air, sungai mengalami sedimentasi dan penyempitan, sementara tanah menjadi semakin rapuh. Tatkala hujan ekstrem datang -- kini kian sering akibat perubahan iklim global -- bencana pun menjadi keniscayaan. Artinya, yang dihadapi masyarakat bukan sekadar fenomena cuaca, melainkan risiko ekologis yang diproduksi secara struktural dan berlangsung lama.
Negara dalam Posisi Ambigu
Secara normatif, Indonesia memiliki kerangka hukum lingkungan yang relatif kuat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan prinsip pencegahan, kehati-hatian, serta tanggung jawab negara dalam melindungi lingkungan hidup. Namun dalam praktik pembangunan, perlindungan lingkungan kerap kalah oleh logika pertumbuhan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam.
Sejumlah kajian green criminology menyebut kondisi semacam ini sebagai state–corporate crime, yakni situasi ketika kebijakan negara, pemberian izin, atau lemahnya pengawasan justru membuka ruang bagi terjadinya kerusakan lingkungan oleh aktor korporasi. Dalam konteks Sumatera, pemberian izin usaha di wilayah hulu dan kawasan rawan bencana tanpa analisis risiko ekologis yang memadai berpotensi memindahkan beban kerusakan kepada masyarakat lokal. Ketika dampak ekologis ditanggung warga, sementara manfaat ekonomi terkonsentrasi pada segelintir aktor, negara tidak lagi sekadar gagal melindungi, melainkan ikut memproduksi risiko. Kondisi semacam ini merupakan bentuk kekerasan struktural terhadap lingkungan dan manusia sekaligus. Mengutip Hall (2013), korban dalam kejahatan lingkungan bukan hanya manusia yang kehilangan rumah dan nyawa, tetapi juga sungai, hutan, tanah, dan satwa yang mengalami kerusakan sistemik. Berbagai studi menunjukkan bahwa kelompok miskin, masyarakat adat, dan komunitas pinggiran hampir selalu menjadi pihak yang paling terdampak.
Belajar dari Kasus Global
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa bencana ekologis semakin dipahami sebagai kegagalan tata kelola, bukan sekadar kecelakaan. Tragedi tumpahan minyak Deepwater Horizon di Amerika Serikat pada 2010, misalnya, memperlihatkan bagaimana kelalaian korporasi yang dipadu lemahnya pengawasan negara dapat dikategorikan sebagai corporate environmental crime (kejahatan lingkungan oleh korporasi). Sebelas pekerja tewas, jutaan barel minyak mencemari Teluk Meksiko, merusak ekosistem laut, dan menghancurkan mata pencaharian komunitas pesisir — sebuah bentuk victimization yang nyata dan luas.
Sebaliknya, skandal emisi Volkswagen pada 2015 menunjukkan wajah lain kejahatan lingkungan. Manipulasi teknologi yang meningkatkan polusi udara tidak menimbulkan korban tewas secara langsung, tetapi menghasilkan korban yang bersifat struktural dan difus (dampaknya menyebar luas, senyap, tidak terlihat, dan dirasakan masyarakat dalam jangka Panjang). Masyarakat perkotaan dan lingkungan hidup menjadi invisible victims -- korban yang dampaknya tidak segera terlihat, namun akumulasinya serius dan merugikan.
Dari Penanganan ke Pencegahan
Selama bencana di Sumatera terus dipahami sebagai musibah alam semata, respons negara akan cenderung reaktif dalam bentuk bantuan darurat, relokasi, dan rekonstruksi. Green criminology justru mendorong pergeseran ke arah pencegahan struktural.
Pertama, integrasi analisis risiko ekologis secara ketat dalam seluruh kebijakan perizinan, terutama di wilayah hulu dan kawasan rawan bencana. Kedua, penegakan hukum lingkungan yang tegas terhadap korporasi, termasuk kewajiban pemulihan ekologis, bukan sekadar sanksi administratif. Ketiga, transparansi data konsesi dan dokumen AMDAL agar publik dan media dapat menjalankan fungsi kontrol. Keempat, pengakuan dan perlindungan peran masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga ekosistem, bukan sebagai hambatan pembangunan.
Melihat bencana Sumatera melalui kacamata green criminology membantu kita keluar dari narasi nasib dan takdir. Bencana bukan semata peristiwa alam, melainkan cermin dari pilihan kebijakan dan relasi kuasa. Selama kerusakan ekologis terus dianggap sebagai harga yang wajar dari pembangunan, bencana akan berulang dan hampir selalu menimpa mereka yang paling lemah.
Penulis, Dewan Redaksi keadilan.id, Dosen, dan Pengurus Harian PWI Jaya

