Iklan

Kasus Pelanggaran Naker Turun, Pengamat Minta Menaker Buka Diri Soal Laporan OPSI

warta pembaruan
25 Maret 2021 | 3:40 PM WIB Last Updated 2021-03-25T16:00:24Z
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengklaim jumlah kasus pelanggaran norma ketenagakerjaan mengalami penurunan dalam 2 tahun terakhir. Hal ini berdasarkan hasil pengawasan ketenagakerjaan selama 2 tahun terakhir menunjukkan adanya penurunan jumlah perusahaan yang melakukan pelanggaran. Pada tahun 2019 sebanyak 21 ribu perusahaan melakukan pelanggaran, sedangkan tahun 2020 turun menjadi sekitar 11 ribu perusahaan.

Begitupun dengan pelanggaran norma ketenagakerjaan. Pada 2019 terjadi 35 ribu kasus pelanggaran norma ketenagakerjaan. Pada 2020, angka ini turun menjadi 21 ribu. Penurunan serupa juga terjadi pada pelanggaran norma K3. Dari 13 ribu kasus pada 2019 turun menjadi 5 ribu kasus setahun berikutnya.

Menanggapi pernyataan Menaker tersebut, Pengamat Ketenagakerjaan yang juga Sekjen OPSI-KRPI, Timboel Siregar, menyebut masalah hubungan industrial yang paling terburuk adalah pengawasan ketenagakerjaan. Banyak pelanggaran hak normatif yang gagal diselesaikan.

Menurut Timboel, pernyataan Menaker sangat keliru dan seharusnya Ida Fauziyah mau membuka diri menerima laporan langsung soal kinerja pengawasan di tingkat kementerian dan propinsi.

"Kalau Bu Menaker bilang jumlah pelanggaran hak normatif turun, ya karena selama ini pengawas naker tidak mau menangani dan menyerahkannya ke mediator dan selanjutnya agar digugat di PHI," tegas Timboel, kepada Wartapembaruan.co.id, terkait pemberitaan beberapa media yang menyebut kasus pelanggaran norma ketenagakerjaan terus turun, Kamis (25/3/2021).

Dengan dinaikkannya status pengawas ke propinsi, menurut Timboel, malah membuat masalah pengawasan jadi sulit.

Timboel menceritakan, OPSI banyak melaporkan pelanggaran hak normatif ke propinsi dan lantai 7 Kemnaker, tetapi hingga saat ini tidak bisa diselesaikan. "Ada pengawas yang malah meminta pengurus OPSI untuk bekerja sama dengan perusahaan dan kasus distop. Permintaan tersebut kami tolak habis," tutur Timboel.

Timboel menambahkan, pengawas dan mediator sering lempar-lempar kasus pelanggaran hak normatif buruh. Adanya komite pengawasan ketenagakerjaan tidak efektif dan gagal menyelesaikan masalah secara sistemik.

"Saya kira pelanggaran hak normatif buruh akan terus meningkat, apalagi dengan ketentuan baru di PP 35/2021 tentang uang kompensasi yang wajib diberikan ke pekerja PKWT pada saat  jatuh tempo. Akan banyak pengusaha yang menyandera pekerja PKWT dengan tidak mau membayar uang kompensasi. Kalau dituntut untuk dibayar, maka pekerja beresiko tidak diperpanjang lagi," urai Timboel.

Timboel pun pesimis dengan peran pengawas ketenagakerjaan untuk kasus ini. Saat ini saja sudah buruk, apalagi dengan adanya ketentuan baru yang menjadi hak normatif buruh PKWT.

"Ke depan Bu Menaker harus membuat sistem pengawasan mencontoh Ahok yaitu menerapkan instrumen QLUE yang sejak dilaporkan oleh pekerja dan proses penanganan terus dipantau dengan ketentuan waktu yang pasti. Jadi, sejak dilaporkan adanya pelanggaran hak normatif buruh harus sudah dicek proses penanganannya dengan ukuran waktu yang terukur. Hingga proses kunjungan pengawas ke perusahaan juga dipantau QLUE. Bila ada pengawas yang main-main dalam bekerja sampai disuap maka harus diambil tindakan tegas," papar Timboel.

Timboel pun mengingatkan Menaker, untuk harus berani memperbaiki sistem pengawasan ketenagakerjaan dan menghentikan dugaan praktik korup yang selama ini disampaikan SP/SB yang terjadi baik di tingkat kementerian hingga propinsi. "Bila perlu pejabat pengawas yang main-main langsung diganti," pungkas Timboel. (Azwar)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kasus Pelanggaran Naker Turun, Pengamat Minta Menaker Buka Diri Soal Laporan OPSI

Trending Now

Iklan